Sistem Pewarisan pada Masyarakat Melayu-Bengkulu

Untuk membentuk sebuah keluarga seseorang harus melalui bebeapa proses mulai dari peminangan sampai perkawinan. Dengan perkawinan berarti sebuah keluarga terbentuk. Fungsi keluarga tidak hanya sebagai penerusan keturunan, tetapi juga sebagai kesatuan ekonomi. Sebuah keluarga, dalam perjalanannya, bisa langgeng (sampai kakek-kakek dan nenek-nenek), dan bisa juga putus di tengah jalan (cerai). Selain itu, sebuah keluarga bisa mempunyai keturunan, dan bisa juga tidak. Lepas dari masalah itu, yang jelas sebuah keluarga pada saatnya akan dihadapkan pada persoalan harta-benda yang dimilikinya. Dalam hal ini adalah pewarisan. Sistem pewarisan antara masyarakat yang satu dan lainnya bisa saja berbeda. Hal itu bergantung pada hukum dan atau budaya yang diacunya. Masyarakat Melayu yang tinggal di Provinsi Bengkulu adalah orang-orang yang sebagian besar beragama Islam, sehingga unsur-unsur kebudayaannya pun banyak dipengaruhi oleh ajaran Islam (melalui proses akulturasi). Salah satu wujud dari akulturasi itu adalah sistem pewarisan yang ditumbuh-kembangkan oleh masyarakat Melayu-Bengkulu yang mengacu kepada hukum Faraidh[1].

Masyarakat Melayu-Bengkulu (masyarakat Melayu yang tinggal di Provinsi Bengkulu) membedakan harta-waris ke dalam tiga kategori, yakni: (1) reto tuo (harta tua atau harta pusaka), (2) harta yang merupakan hasil jerih-payah suami-isteri, dan (3) harta yang dibawa oleh masing-masing (suami dan isteri). Sistem pewarisan ketiga harta-waris tersebut adalah sebagai berikut.

Harta-waris yang disebut sebagai reto tuo adalah warisan yang berasal dari peninggalan orang tua yang diberikan (diturunkan) kepada salah seorang anaknya. Untuk itu, jika yang menerima warisan ini meninggal, maka akan jatuh ke salah seorang anaknya. Demikian seterusnya.

Harta-waris yang berasal dari hasil jerih payah suami istri, jika salah seorang di antara suami-isteri itu meninggal, maka yang masih hidup berhak mengatur keseluruhannya. Harta tersebut baru dapat diwarisi oleh anak-anaknya bila kedua orang tuanya sudah meninggal.

Harta-waris yang dibawa oleh masing-masing (suami-isteri) atau pemberian keluarga masing-masing ketika perkawinan, jika salah satu atau keduanya meninggal, maka harta-waris tersebut akan jatuh (diwariskan) kepada anak-anaknya berdasarkan hukum Faraidh (Islam). Namun, jika terjadi perceraian harta-waris ini akan kembali ke pihak masing-masing (dari suami kembali ke suami dan dari isteri kembali ke isteri).

Hukum-waris yang digunakan memang mengacu kesana (Faraidh), namun demikian tidak terlalu mendetail karena ketentuan adat masih berlaku, yaitu sepikulan[2] untuk bagian laki-laki dan segendongan[3] untuk bagian perempuan. Makna dari “sepikulan dan segendongan”, adalah laki-laki akan mendapat harta warisan yang jumlahnya dua kali lipat dari perempuan. Jika dengan cara ini ada yang protes, maka pewaris bersepakat untuk menyerahkan persoalannya ke Mahkamah Syariah Pengadilan Agama setempat kemudian dilegalisir oleh Pengadilan Negeri setempat.

Sebagai catatan, bila harta-waris belum terbagi, sementara yang mewarisi sudah meninggal semua, maka yang berhak memelihara (sementara) adalah anak tertua, baik laki-laki atau perempuan, anak yang dipercayakan atas kesepakatan bersama atau anak yang masih menunggu rumah tuo, yakni rumah peninggalan orang tua. Namun apabila hubungan antara mertua dan menantu yang tertua sangat erat, tidak jarang menantu tersebut secara langsung dipercayakan memelihara warisan yang belum terbagi itu.

Sebagai catatan pula, jika suami meninggal, sementara anak belum dewasa maka harta pusaka pihak suami yang didapat dari orang tua dan bukan penghasilan sendiri, sebelum dibagi kepada ahli warisnya, dipercayakan pemeliharaannya kepada isteri yang memelihara anak-anak dari almarhum suaminya. Bila keduanya meninggal maka yang memelihara harta warisan biasanya dipercayakan kepada paman atau bibi dari pihak bapak yang menanggung kehidupan para anak yatim-piatu itu.

Sumber:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1979. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Bengkulu. Bengkulu: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

[1] Hukum Faraidh adalah hukum yang mengatur tentang pembagian harta warisan berdasarkan Al Quran, Hadis dan beberapa ijtihad Sahabat Nabi.

[2] Sepikulan adalah ukuran jumlah barang yang dibawa dengan alat pikulan. Dengan alat ini seseorang dapat membawa dua buah barang dengan cara sebagaian dikaitkan pada ujung pikulan yang satu, sedangkan sebagian lainnya dikaitkan pada ujung pikulan yang lain.

[3] Segendongan adalah ukuran jumlah barang yang dibawa dengan kain (selendang) yang diletakkan pada bagian punggung si penggendong.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive