Agus Djaya

Agus Djaya atau Raden Agoes Djajasoeminta adalah seorang pelukis asal Banten yang namanya terkenal hingga ke mancanegara. Agus Djaya lahir di Pandeglang pada tanggal 1 April 1913. Ayahnya adalah seorang keturunan bangsawan Banten yang pernah menjadi kepala agen sebuah bank1. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila dia mampu memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anaknya. Agus Djaya misalnya, semasa kecil dapat bersekolah di H.I.S Pandeglang. Waktu itu cita-citanya adalah menjadi seorang dokter karena banyak dari anggota keluarga yang berprofesi sebagai dokter. Namun, karena ada darah seni kuat yang diturunkan dari Sang Ibu dan ditambah dengan pengarahan dari guru gambarnya, Suwanda Mihardja, maka secara perlahan Agus Djaya mulai meminati dunia seni, khususnya seni rupa2.

Setelah lulus dari H.I.S Pandeglang Agus Djaya melanjutkan ke MULO di Bandung hingga lulus pada tahun 1923. Kemudian, hijrah ke Bogor untuk melanjutkan pendidikan di MLS (Middelbare Landbouw School/Sekolah Menengah Pertanian) (1923-1924), namun tidak sampai tamat. Selanjutnya, hijrah lagi ke daerah Lembang, Bandung, untuk bersekolah H.I.K pada tahun 1927. Dan, sesuai dengan minatnya di bidang seni rupa, Agus Djaya pun pergi ke Jakarta untuk mengikuti pendidikan seni lalu ke Amsterdam, Belanda, untuk belajar di Akademi Rijks (Academy of Fine Arts)3. Selama berada di daratan Eropa tersebut Agus Djaya sempat berkenalan dengan beberapa seniman besar dunia, di antaranya: Pablo Picaso di Vallauris, Perancis Selatan; Salvador Dali di Madrid, Spayol; dan Ossip Zadkine, pematung Perancis asal Polandia.

Sekembalinya dari Belanda, Agus Djaya mulai menularkan ilmunya dengan memberi pelajaran menggambar serta beberapa mata pelajaran lain pada murid sekolah hingga tahun 1934. Empat tahun kemudian, bersama dengan Sudjojono, Otto Djaja, Harijadi, Hendra Gunawan, Basoeki Resobowo, Affandi, dan beberapa seniman lain, Agus Djaya mendirikan Persagi atau (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia). Adapun tujuannya adalah untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda melalui karya seni rupa dari para seniman terdidik dan kritis. Selain itu, menurut Gito Waluyo4, pendirian Persagi juga merupakan sarana untuk melawan berkembangnya aliran "Mooi Indie", sebuah ejekan ala Sudjojono bagi karya seni rupa bertema gambaran keindahan alam Negeri Belanda yang mulai mendominasi sejak mereka menduduki negeri ini.

Ketika pemerintahan Belanda diganti oleh Jepang, Persagi akhirnya dibubarkan pada tahun 1942. Namun karir Agus Djaya sebagai seorang pelukis bukannya menurun, tetapi malah semakin meningkat. Dia menjadi terkenal karena sering ikut berpameran bersama dengan Affandi, Hendra, Kartono, dan pelukis lainnya. Bahkan, atas rekomendasi Bung Karno, dia sempat mendapat jabatan sebagai Kepala Bagian Kesenian pada Keimin Bunka Sidosho, Pusat Kebudayaan Jepang di Jakarta dari tahun 1942-1945.

Setelah Jepang menyerah pada Perang Dunia II dan menarik kembali pasukannya, Belanda rupanya ingin kembali lagi menguasai Indonesia sehingga terjadilah Perang Kemerdekaan (1945-1949). Pada masa itu Agus Djaya masuk ke dalam kesatuan Tentara Nasional Indonesia untuk ikut mempertahankan kemerdekaan. Pangkat tertingginya adalah Kolonel dengan tugas sebagai intel dan F.P (Perispan Lapangan).

Usai Perang Kemerdekaan, bersama sang adik yang juga seorang pelukis Agus Djaya kembali aktif di dunia seni rupa dengan mengadakan sejumlah pameran di luar negeri (Belanda, Perancis, dan Monaco) selama sekitar dua tahun. Sekembalinya dari luar negeri, Agus Djaya mencoba peruntungannya di Jakarta dengan membuka sebuah art shop dan galeri. Tetapi, entah mengapa, popularitasnya malah menjadi meredup sehingga dia memutuskan untuk hijrah bersama sang isteri ke Kuta, Bali. Di sana dia mendirikan sebuah studio sekaligus galeri lukisan di tepi Pantai Kuta.

Sekitar sebelas tahun kemudian atau tepatnya pada tahun 1981 Agus Djaya kembali pulang ke Jakarta. Dan, setelah beberapa waktu menjalani masa tuanya, ia pun akhirnya tutup usia di Pamulang, Banten, pada tanggal 24 April 1994. Agus Djaya meninggalkan segudang karya yang didokumentasikan dalam sebuah buku berjudul "Agus Djaya dan Sejarah Seni Lukis Indonesia" serta berbagai macam tanda jasa baik dalam bidang seni maupun kemiliteran. Karya-karya lukisannya di antaranya adalah: Man Playing Flute (1942), Krishna & Radha (1948), Portrait of Balinese Beauty (1952), Dancers (1953), Gadis Bali (1955), Wiwaha (1965), Kuda Lumping (1965), Dancer (1958-1959), Balinese Girl (1962), Medicijnman (1971), Tarung 1971, Melasti (1971), Wanita (1971), A Cock Fight (1972), Sesembah (1973), Man with Cockerel (1974), Kuda Kepang (1975), Tari Bali (1976), Dogs in Full Moon (1976), Wanita Dusun (1983), Traditional Dance Performance (1984), dan lain sebagainya5. (gufron)

Foto: https://pandjipainting.files.wordpress.com/2011/07/agusjaya1.jpg
Sumber:
1. "Agus Djaja", diakses dari http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/708/Agus-Djaja, tanggal 20 Juni 2015.
2. "Mengenal Agus Djaja Suminta", diakses dari https://senirupasmasa.wordpress.com/2012/ 09/19/mengenal-agus-djaja-suminta/, tanggal 21 Juni 2015.
3. "Agus Djaja Suminta", diakses dari http://mikkesusanto.jogjanews.com/agus-djaja-suminta.html, tanggal 21 Juni 2015.
4. Gito Waluyo. 2009. "Banten, Agus Djaja-Toto Djaja, dan Perupa urban. Diakses dari https://sahabatgallery.wordpress.com/2009/07/27/banten-agus-djaja-toto-djaja-dan-perupa-urban/, tanggal 22 Juni 2015.
5. "Agus Djaya (Indonesian 1913-1990)", diakses dari http://www.artnet.com/artists/agus-djaya/past-auction-results, tanggal 22 Juni 2015.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive