Legenda Telaga Warna

(Cerita Rakyat Daerah Jawa Barat)

Alkisah, pada zaman dahulu kala di sekitar daerah Pucak, Bogor, Jawa Barat, terdapat sebuah kerajaan. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang prabu yang konon sangat arif dan bijaksana. Tak heran apabila negeri itu menjadi makmur, tenteram, dan sejahtera. Namun, dibalik kemakmuran dan kesejahteraan tersebut sebenarnya Sang Prabu sedang gundah gulana. Hal ini disebabkan karena telah sekian lama berumah tangga, tetapi belum juga dikaruniai momongan. Penasihat kerajaan pernah menyarankannya mengangkat anak agar kesedihannya sedikit terobati. Tetapi Sang Prabu tidak menyetujuinya, "Buatku, anak kandung akan lebih baik daripada anak angkat."

Apabila Sang Prabu dapat menyembunyikan perasaannya karena harus menjadi seorang pemimpin yang baik di mata rakyat, tidak demikian halnya dengan Sang Permaisuri. Dia sering duduk termenung sambil sesekali menitikkan air mata apabila istana sedang sepi. Lama-kelamaan Sang Prabu menjadi iba dan memutuskan pergi ke Hutan untuk bertapa dan memohon doa pada Yang Maha Kuasa agar dikaruniai momongan. Beberapa bulan kemudian barulah keinginan Sang Prabu dikabulkan. Permaisuri pun mulai hamil. Rakyat segera menyambutnya dengan gembira. Mereka berbondong-bondong datang ke istana sambil membawa hantaran berupa hasil bumi dari sawah dan ladang.

Setelah sembilan bulan mengandung, Permaisuri melahirkan seorang bayi perempuan. Bayi itu tumbuh dengan cepat dan beberapa belas tahun kemudian telah menjadi seorang remaja yang cantik jelita. Namun sayangnya, karena diberi kasih sayang berlebihan, Sang Gadis tumbuh menjadi seorang anak manja. Dia bahkan sering berkata kasar apabila keinginannya tidak langsung dipatuhi dan dipenuhi.

Ketika Sang Puteri akan merayakan ulang tahunnya yang ke-17, secara spontan para penduduk negeri pergi ke istana dengan membawa berbagai macam hadiah yang indah. Kewalahan menerimah hadiah yang begitu banyak, Sang Prabu lalu menyuruh para pembantunya membawa dan menyimpannya ke dalam salah satu ruangan di istana. Sang Prabu hanya mengambil beberapa hadiah berupa emas dan permata untuk dilebur menjadi sebuah kalung bagi putri tercintanya.

Saat hari ulang tahun tiba, para penduduk negeri berkumpul di alun-alun istana untuk merayakannya. Sang Prabu dan Permaisuri menyambut mereka dengan suka cita. Dan, ketika Sang Puteri yang cantik jelita muncul, semua orang pun menyambutnya dengan gembira. Bahkan, tidak sedikit diantara mereka yang mengagumi dan jatuh hati pada kecantikan paras Sang Putri.

Melihat puteri tercintanya telah muncul, Sang Prabu segera berdiri dari kurisnya sambil menggenggam sebuah kalung indah. "Puteriku tercinta, pada hari ulang tahunmu ini aku akan memberimu sebuah kalung yang sangat indah. Kalung ini adalah pemberian dari rakyat di seluruh negeri yang merasa sangat gembira karena melihatmu telah tumbuh dewasa. Pakailah kalun ini, Nak," kata Sang Prabu.

Sang Puteri lalu mengambil kalung itu dari tangan ayahandanya. Tetapi setelah dilihat beberapa saat, dia lalu melemparnya hingga jatuh berserakan di lantai hingga . "Kalung itu jelek! Aku tak mau memakainya," kata Sang Putri ketus.

Kejadian itu sangat mengejutkan semua orang. Suasana yang tadinya riuh rendah sontak menjadi sunyi. Di tengah keheningan tersebut, tiba-tiba terdengarlah suara tangisan Sang Permaisuri yang kemudian diikuti oleh para perempuan yang hadir di sana. Anehnya, ketika air mata para perempuan mulai menetes dan jatuh ke tanah, tiba-tiba muncullah sebuah mata air di halaman istana. Mata air itu semakin lama semakin besar dan membentuk sebuah telaga yang menenggelamkan istana beserta seluruh isinya.

Oleh masyarakat sekitar, telaga itu diberi nama Telaga Warna karena apabila hari sedang cerah airnya terkesan berwarna-warni. Warna air telaga sebenarnya berasal dari bayangan hutan, tanaman, bunga-bunga, dan langit di sekitarnya. Tetapi, pada zaman dahulu warna itu diyakini berasal dari pecahan emas dan permata milik Sang Puteri yang tersebar di dasar telaga.

Diceritakan kembali oleh gufron
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive