Kelurahan Beji (Pemalang, Jawa Tengah)

Letak dan Keadaan Alam
Beji adalah sebuah kelurahan yang secara administratif termasuk dalam Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang. Kelurahan yang merupakan ibukota Kecamatan.Taman ini letaknya 3 kilometer dari ibukota kabupaten (Pemalang) ke arah timur. Dari ibukota provinsi (Semarang) jaraknya 120 kilometer ke arah barat. Sedangkan, dari ibukota negara (Jakarta) jaraknya 235 kilometer ke arah timur. Kelurahan yang luasnya 335,122 hektar ini sebelah utara berbatasan dengan Desa Kabunan; sebelah selatan berbatasan dengan Desa Taman dan Pedurungan; sebelah barat berbatasan dengan Desa Wanarejan Utara; dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Kedungbanjar dan Serang.

Daerahnya merupakan dataran rendah dengan ketinggian 6 meter dari permukaan air laut. Curah hujan pada setiap tahunnya rata-rata 0,22 milimeter. Sedangkan, suhu udaranya berkisar 23--27° Celcius (Laporan Monografi, 2006: 1) Di tengah wilayahnya membujur jalan provinsi yang ke arah barat-timur. Jalan tersebut membelah kelurahan Beji menjadi dua bagian, yaitu Beji-Lor (Beji-Utara) dan Beji-Kidul (Beji-Selatan).

Letaknya yang cukup strategis (tidak jauh dari ibukota kabupaten dan dilalui oleh jalur Pantura), membuat kelurahan tersebut relatif mudah dicapai, baik dengan menggunakan kendaraan pribadi maupun jasa angkutan umum. Dari Semarang dapat menggunakan berbagi jenis angkutan umum, seperti: kereta api, bus (ekonomi, patas, eksekutif), dan travel. Demikian juga dari Jakarta. Jika satu dan lain hal seseorang harus turun di Pemalang, maka orang tersebut dapat menggunakan becak, ojeg, atau angkutan kota (angkot). Apabila menggunakan becak maka ongkos yang dikeluarkan Rp5.000,00. Kemudian, jika menggunakan ojeg harus mengeluarkan uang sejumlah Rp7.500,00. Sedangkan, jika menggunakan angkot (angkutan perkotaan) cukup hanya mengeluarkan uang sejumlah Rp2.000,00.

Arti kata “Beji” tidak banyak yang mengetahui, bahkan dapat dikatakan generasi mudanya tidak mengetahui secara persis kenapa daerahnya bernama “Beji”. Beji, menurut salah seorang tetua masyarakat Beji, berarti “ tengah”. Maksudnya suatu daerah yang berada di tengah-tengah. Berdasarkan legenda yang ada di kalangan masyarakat Beji, konon daerah ini dahulu memiliki blumbang (semacam sumur). Akan tetapi, kini blumbang itu tidak lagi berada di Beji tetapi di desa tetangganya, yaitu Desa Taman yang berada di sebelah selatannya. Berpindahnya blumbang tersebut ke Desa Taman adalah sebagai akibat dari kekalahan Mbah Menu dalam adu kesaktian melawan Mbah Taman. Konon, suatu ketika Mbah Taman berkunjung ke rumah Mbah Menu. Ketika Mbah Taman berada di depan rumahnya, pintu rumah membuka dengan sendirinya. Ini artinya Mbah Menu sengaja memamerkan kesaktiannya. Singkat ceritera Mbah Taman disuguhi ikan bakar. Kemudian, makanlah mereka berdua. Mbah Taman sadar bahwa terbukanya pintu dengan sendirinya tadi adalah sebuah tantangan untuk adu kesaktian. Oleh karena itu, ketika ikan bakar telah dimakan dagingnya, ia menaruh tulang-belulangnya (duri-durinya) ke dalam tempat cuci tangan. Dan, yang terjadi adalah tulang-belulang itu bergerak-gerak (hidup) sebagaimana layaknya seekor ikan. Melihat apa yang dipertunjukkan oleh Mbah Taman, Mbah Menu masih ingin menguji kesaktiannya. Untuk itu, ia mempersilahkan Mbah Taman membawa pulang blumbang yang ada di belakang rumahnya. Dan, ternyata Mbah Taman dapat membawa ke rumahnya. Oleh karena itu, walaupun blumbang tersebut berada di Desa Taman, namun namanya tetap saja “blumbang beji” dan bukan “blumbang taman”. Sebagai catatan, sampai sekarang blumbang tersebut masih dipercayai memiliki kekuatan magis. Dalam hal ini jika ada seseorang yang dituduh mencuri sesuatu tetapi mungkir (tidak mengakui), maka jalan terakhir adalah disuruh untuk minum air blumbang beji. Konon, jika orang tersebut memang benar-benar tidak mengambil atau mencurinya, maka air tesebut tidak berpengaruh apa-apa. Akan tetapi, jika mencuri atau mengambilnya, maka perutnya akan menjadi bengkak alias busung.

Struktur Pemerintahan
Lepas dari arti kata “Beji” dan legenda yang ada di sana, yang jelas sejak tahun 2001 berstatus sebagai kelurahan. Oleh karena itu, pemimpinnya (lurahnya) tidak lagi dipilih secara langsung oleh rakyat melalui mekanisme yang disebut sebagai “kodrah”, tetapi ditunjuk oleh bupati. Oleh karena statusnya berubah, maka struktur organisasinya juga berubah. Dalam hal ini lurah (eselon IV/a) di dalam menjalankan pemerintahannya dibantu oleh Seklur (Sekretaris Kelurahan), Pembangunan, Tamtib (Ketenteraman dan Ketertiban), dan Kesra (Kesejahteraan Masyarakat). Masing-masing adalah eselon IV/b.

Kependudukan
Kelurahan Beji berpenduduk 12.355 jiwa. Jumlah tersebut jika dilihat berdasarkan jenis kelaminnya, maka komposisinya terdiri atas 6.168 jiwa laki-laki dan 6.187 jiwa perempuan. Sedangkan, jumlah Kepala Keluarganya (KK) ada 2.631 jiwa. Mereka tersebar di 7 lingkungan1. Setiap lingkungan mempunyai Rukun Tetangga (RT) sejumlah 2 atau lebih. Jumlah seluruhnya ada 50 RT. Sedangkan, jumlah Rukun Warganya (RW) ada 16. Lingkungan yang padat penduduknya adalah I, II, dan VI karena lingkungan ini disamping dekat dengan kantor kelurahan, juga dekat dengan pusat kegiatan ekonomi (pasar) dan gedung bioskop2. Kantor kelurahan itu sendiri berada di Lingkungan VI.

Seiring dengan perkembangan desa menjadi kota, maka jenis matapenharian yang digeluti oleh penduduknya semakin bervariasi, namun sebagian besar (44,51%) bergerak di bidang wiraswata/pedagang. Sektor pertanian (petani pemilik, buruh tani, dan nelayan) yang mulanya merupakan mata pencaharian yang digeluti oleh sebagian besar penduduknya, kini menempati urutan kedua (26,91%). Hal itu disebabkan disamping lahan pertanian (sawah) semakin menciut karena digunakan untuk berbagai keperluan, seperti: jalan, perumahan, dan perkantoran, juga karena adanya kecenderungan generasi mudanya enggan untuk bergelut dengan lumpur (bersawah). Urutan yang ketiga (20,29%) adalah penduduk yang bekerja di sektor jasa, seperti: makelaran, buruh pasar, dan penarik becak. Sementara, pegawai negeri sipil dan militer walau dalam prosentasi menempati urutan yang terakhir, namun sebenarnya prosentase itu menunjukkan perkembangan yang berarti jika dibandingkan dengan masa lalu. Di tahun 60-an pegawai negeri sering diledek dengan perkataan “mukur resik, duite langka” (hanya bersih, tidak punya uang). Bahkan, ketika itu pegawai negeri, khususnya guru, dijadikan sebagai sesuatu untuk menakuti anak gadis. Artinya, dalam sebuah keluarga jika anak gadisnya tidak mau diatur, maka diancam atau ditakuti dengan akan dikawinkan dengan guru.

Data tentang komposisi penduduk berdasarkan jenjang pendidikan yang dicapai oleh warganya tidak ditemukan dalam monografi Kelurahan Beji. Namun demikian, keadaannya tidak jauh berbeda dari jenjang pendidikan yang dicapai oleh masyarakat Pemalang pada umumnya, yaitu sebagian besar hanya tamat Sekolah Dasar (SD).

Sedangkan komposisi penduduk berdasarkan agama, Islam merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar (99,8%) penduduk Kelurahan Beji. Nasrani (Katolik dan Kristen) kurang dari 0,15%, apalagi palagi Hindu (0,05%). Sarana peribadatan yang ada hanya mesjid (6 buan) dan langgar atau surau (33 buah). Untuk itu, bagi kaum Nasrani jika akan ke gereja, maka mereka pergi ke Pemalang.

Sosial Budaya
Masyarakat Beji adalah pendukung kebudayaan Jawa. Sebagaimana masyarakat pendukung kebudayaan Jawa lainnya, mereka dalam berkomunikasi juga menggunakan bahasa Jawa. Akan tetapi, dengan dialek yang khas (termasuk dalam kategori dialek “Banyumasan”). Dialeknya yang khas inilah (berbeda dengan orang Yogya dan Solo) yang kemudian membuat orang Beji sering disebut sebagai “Wong Ngapak”, karena jika mengucapkan kata-kata tertentu, “bapak” misalnya, maka pengucapan huruf “k”-nya sangat kental (kentara). Hal ini berbeda dengan orang Jawa-Yogya dan Jawa-Solo yang pengucapan huruf “k”-nya “nyaris tak terdengar” (pinjam istilah iklan Isuzu Panther). Selain itu, ada juga yang menyebutnya sebagai “Jawa Kowek” dan “Jawa Reang”. Bisa jadi, sebutan yang terakhir sangat erat kaitannya dengan suara yang relatif keras dan irama yang relatif cepat, sehingga memberi kesan berisik (reang). Hal ini berbeda dengan suara dan irama orang Jawa-Jogya dan Jawa-Solo yang relatif lembut dan lambat dalam bertutur dan atau bertegur sapa, sehingga terkesan teduh dan tidak berisik (halus). Oleh karena itu, masyarakat Beji menyebut bahasa Jawa yang diucapkan oleh orang Yogya dan Solo adalah bandek, yaitu suatu istilah untuk bahasa Jawa yang halus.

Prinsip keturunan yang dianut oleh masyarakat Beji adalah bilateral, yaitu suatu sistem penarikan garis keturunan melalui nenek-moyang laki-laki dan perempuan secara serentak. Artinya, yang dianggap sebagai kerabatnya adalah kerabat dari pihak laki-laki dan pihak perempuan. Sedangkan, istilah yang digunakan untuk menyebut dan atau menyapa kerabatnya antara lain: bapak (istilah untuk menyebut orang tua laki-laki), sima (istilah untuk menyebut orang tua perempuan), side lanang (istilah yang digunakan untuk menyebut orang tua laki-laki ayah dan ibu), side wadon (istilah yang digunakan untuk menyebut orang tua perempuan ayah dan ibu), lek atau paman (istilah yang digunakan untuk menyebut adik laki-laki ayah dan ibu), bibi (istilah yang digunakan untuk menyebut adik perempuan ayah dan ibu), kakang (istilah yang digunakan untuk menyebut saudara tua laki-laki), mbakyu (istilah yang digunakan untuk menyebut saudara tua perempuan), dan edi (istilah yang digunakan untuk menyebut saudara muda baik laki-laki maupun perempuan).

Sistem perkawinan yang mereka anut adalah “bebas”. Artinya, tidak hanya membatasi pada daerah sendiri (indogami-daerah), tetapi juga membolehkan orang kawin dengan gadis atau jejaka dari daerah lain. Sedangkan, tempat tinggal yang dianut setelah perkawinan adalah matrilokal (pengantin baru tinggal di rumah orang tua atau dekat dengan kerabat pihak perempuan). Di masa lalu seorang pengantin lelaki baru bekerja seperti sediakala ketika hari perkawinan sudah mencapai hari ketujuh. Selama itu Sang Pengantin hanya bersih-bersih halaman rumah (pagi dan sore hari). Namun, dewasa ini hal itu dapat dikatakan tidak dilakukan lagi karena pada umumnya setiap keluarga tidak mempunyai halaman yang cukup luas. Disamping itu, pepohonan-pepohonan besar dan rumpun-rumpun bambu telah banyak yang ditebangi dan berganti menjadi perumahan. Padahal, di tahun 60-an banyak rumah yang halamannya cukup luas. Halaman rumah Man Simuh (almarhum), Man Wardi (almarhum), Man Bugel (almarhum), dan Man Merdi (almarhum) yang berada Lingukungan II misalnya; saat-saat musim ketige (kemarau) dijadikan sebagai arena untuk pergelaran sintren, lais, jaran eblek beserta barongan-nya3. Sekarang pekarangan-pekarangan itu telah menyempit. Malahan, sebagian telah dimanfaatkan sebagai lorong-lorong kampung yang dilapisi dengan conblok dengan yang lebarnya kurang lebih 1,5 meter. Ini artinya, kesenian tersebut tidak mungkin lagi dipergelarkan di tempat itu.

Di kelurahan ini ada pabrik tekstil yang bernama “Tekmaco Jaya”. Dahulu ketika dibuka (sekitar tahun 70-an) banyak warga Desa Beji dan sekitarnya yang direkrut menjadi karyawannya. Ada yang menjadi staf, khususnya yang berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan atau sederajat, dan banyak pula yang berstatus buruh, khususnya bagi yang berpendidikan Sekolah Dasar (SD) dan yang tidak tamat SD. Bahkan, yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah pun banyak yang bekerja di pabrik tekstil tersebut. Akan tetapi, lama-lama banyak karyawan yang berasal dari daerah lain, seperti Yogyakarta dan Solo. Walaupun para pemuda (baca remaja) Desa Beji diberi peluang yang relatif besar ketimbang remaja desa-desa lainnya, namun hal itu tidak membuat remajanya berlomba-lomba menjadi karyawan pabrik yang bersangkutan. Sebagian lainnya lebih memilih bekerja di luar desanya, khususnya Jakarta, karena lebih “bergensi” ketimbang bekerja di desa sendiri. Dan, ini memberi peluang kepada remaja dari daerah lain.

Banyaknya karyawan dari daerah lain disamping menambah suasana kelurahan semakin “hidup”, juga banyak rumah dan atau kamar yang disewakan (pemondokan). Dewasa ini, seiring dengan.bangkrutnya Tekmaco Jaya suasananya tidak semeriah dulu lagi. Hal itu paling tidak tercermin dari keluhan seorang pedagang warung makan (gule dan sate kambing) yang berada di daerah pasar.

“Dulu setiap pagi banyak karyawan yang sarapan disini. Apalagi, kalau habis gajian biasanya mereka beramai-ramai ke sini. Akan tetapi, sejak Tekmaco bubar dagangan saya menjadi sepi. Sulit sekarang mencari rezeki”.

Hal yang senada juga dikemukakan oleh salah seorang pedagang warung makan lainnya, walaupun sesungguhnya masih banyak pengunjungnya. Ada satu hal yang menarik pada warung ini karena ada menu spesialnya, yaitu grombayang. Menurut ceritera yang berkembang di kalangan masyarakat Pemalang grombyang (sejenis sayur-daging) dan kupat dekem4 adalah makanan tradisional khas Pemalang yang hanya diusahakan oleh sebuah keluarga secara turun-temurun.

Pada masa lalu orang-orang yang status sosialnya tinggi adalah yang memiliki harta benda yang berlimpah dan orang-orang yang pengetahuan agamanya (Islam) dalam. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di masa lalu banyak orang tua yang mengirim anaknya ke pesantren, seperti: Kaliwungu (Semarang), Kraprak (Yogyakarta), dan Lasem (Jawa Timur). Namun, dewasa ini yang termasuk dalam status sosial tinggi adalah tidak hanya orang-orang yang memiliki kekayaan dan pengetahuan agama saja, tetapi juga pendidikan formal yang tinggi. Ini artinya, orang-orang yang hanya memiliki kekayaan, pengetahuan agama, dan pendidikan formal yang sedang-sedang saja temasuk dalam status sosial sedang (menengah). Sedangkan, mereka yang tidak atau kurang mampu, baik dalam kekayaan, pengetahuan agama, dan pendidikan formal termasuk dalam status sosial yang rendah, seperti: tukang becak, songgol5, dan buruh tani.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Beji masih mempercayai adanya makhluk-makhluk halus yang menempati tempat-tempat tertentu, seperti: sawah, pohon beringin, pohon gayam, jembatan, dan rumah kosong (rumah yang lama tidak dihuni). Sebutan memedi (makhluk-makhluk halus yang menakutkan) bermacam-macam. Ada yang disebut jim, gendruwo, tetekan, banaspati, kalong wewe, kuntilanak, dan lain sebagainya. Ini artinya, budaya yang ditumbuh-kembangkan oleh masyarakat Beji, disamping merupakan tanggapan aktif terhadap kondisi geografisnya dan kontak-kontak dengan kebudayaan lain (akulturasi), tetapi juga diwarnai kepercayaan dan agama yang dianutnya. Hal itu tercermin dari kesenian tradisional yang mereka tumbuh-kembangkan. Dalam konteks ini ada yang berbau magis seperti: lais, sintren, dan jaran eblek, krangkeng; dan ada yang berbau agamis (Islam) seperti samproh, madjruran, jipin, terbang jawa, dan terbang kencer.

Pada masa lalu berbagai kesenian itu tumbuh subur dalam masyarakat Beji. Namun, dewasa ini mulai tergeser kesenian lainnya, khususnya kesenian yang berbau populer seperti ndangndut dan group-group band. Di era 70-an ndangndut sangat populer. Dapat dikatakan jika seseorang punya khajat dan tidak bisa menampilkan orkes melayu (ndangndut), maka ia akan menyewa tape rekorder yang dilengkapi dengan salon-salon yang besar, sehingga bunyi cukup menggelegar. Di saat-saat seperti itu berdatanglah para pemuda atau orang tua yang berjiwa muda untuk ber-gengsot (menari ala-ndangndut). Kini ndangndut tidak populer lagi karena dianggap sebagai “kampungan”; yang dianggap “in” anak-anak muda dewasa ini adalah band karena mencerminkan “kekotaan” (anak kota dan bukan anak desa). Untuk berlatih band mereka tidak perlu memiliki peralatan musik sendiri, tetapi cukup mendatangi ke studio musik6 yang ada di sekitarnya dengan cara membayar Rp5.000,00 perjam. (gufron)

Sumber:
Laporan Monografi Kelurahan Beji Tahun 2006
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive