Permainan Nojapi-japi (Sulawesi Tengah)

Asal-usul
Sulawesi adalah salah satu pulau yang ada di Indonesia. Dan, Kaili adalah salah satu sukubangsa asal yang ada di sana. Di kalangan mereka ada satu permainan yang disebut sebagai nojapi-japi. Meskipun namanya demikian, bukan berarti bahwa yang diadu adalah sapi yang sesungguhnya, tetapi sapi-sapian (mainan sapi). Kapan dan dimana permaian ini bermula sulit diketahui dengan pasti. Yang jelas nojapi-japi adalah bahasa setempat yang merupakan gabungan dari dua kata, yaitu “no” dan “japi”. “No” adalah kata awalan yang menunjukkan kata kerja dan “japi”, yang berarti sapi. Dengan demikian, nojapi-japi dapat diartikan sebagai bermain sapi-sapian.

Pemain
Permainan nojapi-japi dapat dikategorikan sebagai permainan anak-anak. Pada umumnya permainan ini dilakukan dilakukan oleh anak laki-laki yang berusia 7--12 tahun. Jumlah pemainnya 2--6 orang.

Tempat dan Peralatan Permainan
Permainan yang disebut sebagai nojapi ini tidak membutuhkan tempat (lapangan) yang khusus. Ia dapat dimainkan di mana saja, asalkan di atas tanah. Jadi, dapat di tepi pantai, di tanah lapang atau di jalan. Luas arena permainan nojapi ini hanya sepanjang 7--10 meter dan lebar sekitar 2 meter.

Sesuai dengan namanya, peralatan yang digunakan adalah sapi-sapian dengan warna hijau atau coklat. Alat tersebut terbuat dari pelepah kelapa yang masih hijau, tali daun silar dan tempurung kelapa. Cara membuatnya adalah sebagai berikut. Mula-mula tempurung kelapa dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai tanduk. Setelah tanduk terbentuk, serat-serat (bulu) tempurung itu dicukur atau diserut dengan pisau agar telihat lebih bagus dan licin. Kemudian, pelepah kelapa yang besar dan tebal, diukur dengan panjang sekitar 5 cm. Setelah itu, pelepah dibelah dan dimasukkan tempurung yang telah berbentuk tanduk dengan cara menyisipkannya dalam posisi kedua ujung mengarah ke atas sehingga tempurung tanduk itu menjadi kuat dan tidak mudah goyah. Selanjutnya, membuat tali dari daun silar yang nantinya akan diikatkan di antara tanduk dan batas bagian leher sapi-sapian itu agar dapat ditarik. Cara membuat talinya adalah dengan menggunakan beberapa buah serat daun silar yang dipilin hingga panjangnya mencapai 2 atau 2½ meter.

Aturan Permainan
Aturan permainan Nojapi tergolong sederhana, yaitu apabila dua sapi-sapian diadu dan salah satu ada yang putus tali dan atau tanduknya, maka pemiliknya dinyatakan kalah. Sedangkan, yang tidak terputus dinyatakan menang.

Jalannya Permainan
Permainan nojapi-japi diawali dengan pemilihan dua orang pemain yang dilakukan secara musyawarah/mufakat. Setelah itu, salah seorang pemain akan berdiri di ujung arena permainan, sedangkan pemain lainnya akan berdiri pada ujung yang satunya lagi. Apabila telah siap, peserta lain yang tidak ikut bermain akan memberikan aba-aba untuk segera memulai permainan. Mendengar aba-aba itu, kedua pemain akan berlari untuk mengadukan sapi-sapian mereka. Pada saat berada di tengah arena -- sambil berlari-- sapi-sapian itu diadukan dengan cara tangan yang memegang tali diayun ke kanan sedikit (apabila tangan kanan yang memegang). Pada saat inilah terjadi tabrakan yang keras, sehingga biasanya terjadi dua hal, yakni talinya putus atau tanduk yang patah. Apabila hal itu terjadi, maka pemiliknya dikatakan kalah. Namun, apabila sapi mainannya tidak ada yang putus dan atau patah, maka permainan diulang kembali.

Nilai Budaya
Nilai budaya yang terkandung dalam permainan nojapi-japi adalah: kerja keras, keuletan, dan sportivitas. Nilai kerja keras tercermin dari semangat para pemain yang berusaha agar japinya dapat mengalahkan japi lawannya. Nilai keuletan tercermin dari proses pembuatan japi yang memerlukan keuletan dan ketekunan agar dapat menjadi sebuah japi yang kuat dan tidak mudah putus atau patah apabila diadu dengan japi lain. Dan, nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada. (gufron)

Sumber:
http://infokom-sulteng.go.id
http://disnakerpalu.com
http://beritapalu.com

Gedung Perundingan Linggarjati

Kabupaten Kuningan yang terletak di baratdaya Gunung Ciremai, Jawa Barat, memiliki sebuah obyek wisata sejarah yang sangat terkenal, yaitu Gedung Perundingan Linggajati. Gedung ini terletak di Desa Linggajati, Kecamatan Cilimus, sekitar 14 kilometer dari Kota Kuningan atau 26 kilometer dari Kota Cirebon. Desa Linggajati berada pada ketinggian 400 meter di atas permukaan laut. Desa ini sebelah selatan berbatasan dengan Desa Linggarmekar, sebelah utara berbatasan dengan Desa Linggarindah dan di sebelah barat berbatasan dengan Gunung Ciremai.

Gedung yang berada di Desa Linggajati ini pernah menjadi tempat perundingan pertama antara Republik Indonesia dengan Belanda pada tanggal 11--13 November 1946. Dalam perundingan itu, Pemerintah RI diwakili oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir, sedangkan Pemerintah Kerajaan Belanda diwakili oleh Dr. Van Boer. Sementara yang menjadi pihak penengah adalah Lord Killearn, wakil Kerajaan Inggris. Perundingan tersebut menghasilkan naskah perjanjian Linggajati yang terdiri dari 17 pasal, yang selanjutnya ditanda-tangani di Jakarta pada tanggal 25 Maret 1945.

Peristiwa perundingan yang berlangsung tiga hari itu ternyata merupakan satu mata rantai sejarah yang mampu mengangkat nama sebuah bangunan mungil di desa terpencil itu menjadi terkenal di seluruh Nusantara, bahkan di pelbagai penjuru dunia. Bangunan itu kemudian dipugar oleh pemerintah tahun 1976 dan dijadikan sebagai bangunan cagar budaya dan sekaligus objek wisata sejarah.

Data Bangunan
Gedung Perundingan Linggajati saat ini berdiri di atas areal seluas sekitar 24.500 meter persegi, dengan luas bangunan sekitar 1.800 meter persegi. Bangunan tersebut terdiri atas: ruang sidang, ruang sekretaris, kamar tidur Lord Killearn, ruang pertemuan Presiden Soekarno dan Lord Killearn, kamar tidur delegasi Belanda, kamar tidur delegasi Indonesia, ruang makan, kamar mandi/WC, ruang setrika, gudang, bangunan paviliun, dan garasi.

Sebagai catatan, ruangan dan segala perabotan yang ada di dalam gedung pada tahun 1976 (saat dipugar oleh pemerintah), dibuat sedemikian rupa agar data dan suasananya sedapat mungkin sama pada seperti tahun 1946 (sewaktu perundingan dilaksanakan). Selain itu, di dalam gedung juga dilengkapi dengan gambar/foto situasi saat perundingan berlangsung dan bahan-bahan informasi lain bagi pengunjung.

Gedung Linggajati mempunyai sejarah yang panjang. Sudah banyak peristiwa yang ia saksikan di tempat itu. Sebab, dari tahun 1918 gedung ini telah berkali-kali beralih fungsi. Pada tahun 1918 gedung ini hanya berupa sebuah gubuk milik Ibu Jasitem yang kemudian diperisteri oleh Tuan dari Tersana, seorang Belanda. Tahun 1921 dirombak dan dibangun setengah tembok dan dijual kepada van Oos Dome (van Oostdom?). Tahun 1930 diperbaiki menjadi rumah tinggal keluarganya. Tahun 1935 dikontrak oleh van Hetker (van Heeker?) yang merombaknya lagi menjadi Hotel Rustoord (Rusttour?). Tahun 1942 direbut oleh Jepang dan diubah menjadi Hokai Ryokai (Hokai Ryokan?). Tahun 1945 direbut oleh pejuang kita untuk markas BKR dan diubah namanya menjadi Hotel Merdeka. Tahun 1946 di Hotel Merdeka berlangsung Perundingan Linggarjati. Tahun 1948 untuk markas tentara Kolonial Belanda. Tahun 1949 dikosongkan. Tahun 1950-1975 untuk Sekolah Dasar Linggarjati I. Kemudian, tahun 1977-1979 bangunan yang sudah bobrok itu dipugar oleh pemerintah kemudian dijadikan sebagai muesum memorial. (gufron)


Foto: Ali Gufron
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Dierktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://kuningankab.go.id
http://www.angelfire.com
http://www.museumkita.net

Pakaian Tradisional Perempuan Orang Kebanyakan Di Lingkungan Rumah dan Bepergian (Kepulauan Riau)

Pakaian sehari-hari yang dikenakan oleh perempuan Melayu adalah tulang belut, kebaya pendek, dan baju kurung pendek. Baju kebaya pendek adalah baju kebaya biasa yang panjangnya hanya sebatas pinggul. Baju ini pada bagian depan terbelah total (sepanjang baju tersebut). Oleh karena itu, pada saat baju ini digunakan harus ditutup dengan kancing. Pada masa lalu dengan peniti. Sedangkan, baju kurung pendek adalah baju kurung yang panjang lengannya hanya tiga perempat. Baju ini sering disebut sebagai baju kurung kedah. Kedua model baju itu dalam kehidupan sehari-hari, terutama di lingkungan rumah, sering digunakan oleh perempuan tua. Baju-baju tersebut disertai bawahannya yang berupa kain sarung batik atau setelannya. Seperti halnya baju kurung yang dikenakan oleh kaum laki-lakinya, maka yang dikenakan oleh kaum perempuannya juga berkeke dan berpesak. Di masa lalu, pakaian yang akan dikenakan oleh dirinya maupun kaum laki-lakinya, seperti sampin, songket, dan palekat mereka buat sendiri dengan cara menenunnya. Baju pun mereka jahit sendiri dengan tangan karena hanya orang-orang tertentu yang memiliki mesin jahit. Menjahit dengan tangan tentunya memerlukan waktu yang lama, apalagi dikerjakan hanya pada waktu-waktu senggang. Belum lagi ada keperluan yang lain, sehingga untuk membuat satu baju dapat memerlukan waktu berhari-hari. Hal itu masih ditambah dengan rumitnya model. Misalnya baju kurung yang disebut sebagai tulang belut. Baju ini lehernya harus ditikam-tikam (disulam) sekelilingnya sehingga menyerupai tulang belut. Dewasa ini model tersebut sudah jarang dipakai orang lagi. Seandainya ada yang memakainya, maka itu adalah buatan lama. Sebagai gantinya adalah bis (semacam pita) atau biku-biku yang dilekatkan pada leher dan batas jahitan pesak dari atas hingga ke bawah. Di zaman sekarang perempuan tidak perlu repot-repot lagi, karena berbagai macam pakaian yang diinginkan dapat diperoleh dengan cara pembelian atau menyerahkan kepada tukang jahit.

Sedangkan songket mereka pilih umumnya adalah yang beragam hias bunga tabur, yaitu suatu kain yang hampir seluruh permukaannya dihiasi bunga pecah delapan dan atau bunga pecah empat. Selain itu, ragam hias wajik juga menjadi pilihan karena bentuknya yang simetris, sehingga permukaan kain dapat penuh dengan ragam hias tersebut.

Baju kurung Melayu yang dipakai kaum perempuan biasanya berukuran besar. Hal ini sangat berkaitan dengan ajaran agama Islam yang melarang perempuan (wanita) berbaju ketat atau memperlihatkan lekuk tubuhnya. Selain itu, lengannya pun dibuat panjang dan besar, sehingga yang tampak hanya jari-jarinya. Besarnya lengan baju juga ada kaitannya dengan kemudahan dalam hal mengambil air wudlu atau akan melakukan pekerjaan sehari-hari, karena lengan yang besar dapat disingsingkan dengan mudah. Baju ini hanya terbelah di bagian atas (sampai ke bagian dada). Kemudian, agar dada tersebut dapat tertutup maka diperlukan kancing. Warna yang dipilih pada umumnya biru, hijau, coklat, dan putih. Sedangkan, bahan yang dipergunakan adalah katun atau belacu yang berbunga-bunga. Dan, kancingnya hanya cukup sebuah. Bagian bawahnya berupa sarung Samarinda, Bugis, atau kain batik Jawa. Selain itu, ada juga yang mengenakan satu set baju kurung, yaitu baju yang bagian atas dan bawahnya terbuat dari bahan yang sama. Di lingkungan rumah para perempuan biasanya hanya menggunakan perhiasan yang sederhana, seperti: anting-anting atau subang yang tidak pernah ditanggalkan, kalung, dan cincin seperlunya. Sandal dan atau capal tidak pernah dikenakan dalam rumah. Ketika di rumah biasanya kaum perempuan tidak mengenakan pakaian dengan warna yang menyolok, tetapi warna teduh. Sementara itu, para orang tuanya seringkali memilih warna putih, krem atau biru polos yang bagian lehernya dihiasi dengan bordir. Sementara itu, rambutnya yang pada umumnya panjang disisir, kemudian disanggul dengan sisir itu sendiri atau pengikat rambut, sehingga tetap rapi. Sanggul yang dibentuk dengan cara seperti itu disebut sebagai sanggul sisir atau sanggul sikat.

Ketika bepergian baju yang dikenakan biasanya adalah baju kurung dengan model leher tulang belut beserta padanannya (stelannya) yang juga terbuat dari bahan yang sama. Dimasa lalu, ketika seseorang akan bepergian jauh, maka selalu mengenakan kain songket atau palekat. Kain tersebut hanya dipegang atau dikepit oleh tangan kiri atau kanan yang berfungsi sebagai pelindung dari teriknya sinar matahari. Jadi, jika sinar matahari yang terik tidak dapat dihindarinya, maka songket atau pelekat tersebut ditarik ke atas sebagai penutup kepala. Sedangkan, alas kaki yang digunakan adalah capal atau selipa. Asesoris yang dikenakan adalah subang atau anting-anting, gelang, kalung yang terbuat dari emas atau perak, dan ada juga yang menggunakan suasa (logam yang dilapisi atau dicelup dengan warna emas). Namun, jika menjenguk orang sakit atau bertamu ke tetangga atau ke rumah kerabat yang letaknya agak jauh, maka pakaian yang kenakan adalah pakaian yang rapi, bersih, dan sederhana. Untuk pergi melayat kepada orang meninggal, tampaknya tidak ada pakaian dan warna yang khusus. Jadi, boleh mengenakan apa saja sejauh itu masih dalam koridor pantas. Meskipun demikian, biasanya tidak lepas dari kerudung dengan warna apa saja, dengan catatan warna yang tidak mencolok. Perkembangan terakhir, tampaknya ada kesepakatan bahwa pakaian yang digunakan untuk melawat berwarna hitam. Demikian juga, kerundung yang dikenakannya.

Pakaian yang dipilih oleh kaum perempuan dalam bepergian biasanya adalah yang bermotif bunga, kecuali yang sudah menjadi hajjah. Mereka yang telah menunaikan rukum Islam kelima ini lebih memilih baju gunting jubah yang polos. Baju tersebut diberi sulam atau dibordir dari sekeliling leher sampai sepanjang baju dan malahan sampai di sekeliling bawah.

“Kebersihan bagian dari iman”, demikian kata pepatah. Oleh karena itu, mandi bagi siapa pun merupakan hal yang harus dilakukan baik oleh bayi, anak-anak, orang dewasa, maupun orang tua. Berkenaan dengan mandi ini, terutama di masa lalu, kaum perempuan menggunakan suatu tutup badan yang disebut sebagai bahasan. Tutup ini biasanya berupa sarung atau kain batik yang sudah tidak dipakai lagi namun masih bagus. Caranya, ketika mandi bahasan tersebut dililitkan sampai sebatas dada. Dan, ini dilakukan karena tidak setiap keluarga mempunyai sumur dan kamar mandi tersendiri.

Pakaian yang digunakan oleh anak-anak yang masih kecil (bayi) adalah: bedung, popok, gurita, dan baju bayi. Pada masa lalu kain bedung tidak dibeli, tetapi dibuat sendiri dari kain sarung atau kain batik kedah yang masih bagus tapi tidak dipakai lagi. Kain tersebut dibagi dua. Baju bersulam ini belahannya ada di belakang dan menggunakan tali. Namun, ada pula yang menggunakan kancing. Topi bayi biasanya rajutan dari benang wool. Kain yang digunakan untuk baju adalah kain flanel, sedangkan popok dan gurita menggunakan kain belacu. Biasanya bayi dibedung sampai umur tiga bulan. Setelah bayi agak besar baru dipakaikan barut gantung dan celana bayi. Barut ini sebagai ganti gurita. Ada kalanya hanya memakai barut gantung dan celana.

Sumber:
Galba, Sindu, Dwi subowati dkk. 2002. Pakaian Tradisional Masyarakat Melayu Kepulauan Riau. Tanjungpinang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang.
www.heritage.gov.my
www.tamanmini.com

Danang Sutawijaya

(Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta)

Pada saat Sultan Hadiwijaya bertahta di Kerajaan Pajang, beliau merasa prihatin atas penderitaan Nyai Kalinyamat yang bertapa di Trunawaja lantaran dendamnya terhadap Arya Penangsang. Oleh Sultan Hadiwijaya, Nyai Kalinyamat lalu dibujuk agar mau pulang ke Pajang. Namun, Nyai Kalinyamat menolaknya. Ia baru bersedia kembali ke Pajang asalkan Arya Penangsang dibunuh. Sultan Hadiwijaya menyanggupi permintaan tersebut, tetapi Nyai Kalinyamat diminta pulang dulu ke Pajang.

Ketika telah berada di Pajang, segeralah Kanjeng Sultan (Sultan Hadiwijaya) memikirkan cara yang akan ditempuh untuk mengalahkan dan membunuh Arya Penangsang. Pekerjaan itu tidak mudah, sebab Arya Penangsang terkenal sangat sakti dan mempunyai keris pusaka yang sangat ampuh bernama Kyai Setan Kober. Tiap hari Kanjeng Sultan selalu memikirkannya, tetapi belum juga menemukan cara yang dianggap baik. Akhirnya, setelah sekian lama tidak juga menemukan caranya, lalu dipanggillah kedua patihnya, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi, untuk diajak berunding.

Setelah keduanya menghadap, Kanjeng Sultan mulai menceritakan persoalannya. Singkat cerita, di hadapan Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi, Kanjeng Sultan menjanjikan ganjaran berupa tanah di Pati dan tanah yang terletak di hutan Mentaok apabila mereka berhasil membunuh Arya Penangsang atau Arya Jipang.

Setelah itu, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi kemudian berunding. Dalam perundingan itu, Ki Ageng Pemahanan menyampaikan pendapatnya kepada Ki Penjawi, bahwa tidak ada orang lain yang mampu membunuh Arya Penangsang selain Danang Sutawijaya. Ki Penjawi pun sependapat dengan Ki Ageng Pemanahan. Danang Sutawijaya sebenarnya adalah anak kandung Ki Ageng Pemanahan, tetapi sejak kecil telah dijadikan sebagai anak angkat oleh kanjeng Sultan Hadiwijaya. Ia adalah seorang pemuda yang cakap, serta menguasai olah kanuragan.

Kemudian, Ki Ageng Pemanahan memanggil Danang Sutawijaya untuk memberinya tugas membunuh Arya Penangsang. Danang Sutawijaya pun menyetujuinya. Dalam percakapan tersebut Ki Ageng Pemanahan memberikan nasihat-nasihat agar Danang Sutawijaya dapat memenangkan pertarungan melawan Arya Penangsang. Nasihat-nasihat tersebut adalah: (1) janganlah sekali-kali mendahului lawan mencebur Sungai Bengawan, apalagi menyeberanginya. Apabila ia nekat mendahului mencebur Sungai Bengawan, maka ia pasti kalah. Konon, apabila terjadi peperangan di Sungai Bengawan, pihak yang lebih dahulu turun ke sungai akan kalah; (2) jangan mudah terpancing oleh lawan. Bagaimanapun tingkah laku Arya Penangsang, Danang Sutawijaya harus tetap berada di pinggir Kali Bengawan; dan (3) harus memakai kuda betina.

Setelah itu, Danang Sutawijaya diberi senjata pusaka berupa sebuah tombak yang bernama Kyai Plered. Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawa dan Danang Sutawijaya kemudian berunding untuk mencari cara agar Arya Penangsang dapat ditaklukkan. Dalam perundingan itu dicapailah kesepakatan bahwa Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi akan pergi ke Jipang untuk memancing Arya Penangsang agar bersedia bertarung di Sungai Bengawan. Sementara Danang Sutawijaya disuruh untuk bersiap-siap menghadapi Arya Penangsang di tepi Sungai Bengawan.

Keesokan harinya, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi berangkat ke Jipang untuk memancing kemarahan Arya Penangsang. Sampai di sana mereka bertemu dengan seorang pekatik (pemelihata kuda) yang sedang mencari rumput. Kebetulan pekatik yang ditemui itu adalah orang yang mengurusi kuda milik Arya Penangsang atau Arya Jipang. Melihat pekatik itu Ki Ageng Pemanahan memanggilnya dan langsung mengikatkan sepucuk surat di telinga si pekatik. Sesudah itu si pekatik disuruh pulang untuk menyerahkan surat tersebut kepada Arya Penangsang. Adapun isi surat itu adalah tantangan kepada Arya Penangsang untuk bertarung di Sungai Bengawan.

Ketika si pekatik tersebut telah sampai di tempat tinggal Arya Penangsang, kebetulan Arya Penangsang sedang mengadakan pasewakan bujana andrawina. Surat dari Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi lalu disodorkan oleh si pekatik kepada Arya Penangsang. Melihat cara mengirimkan surat saja Arya Penangsang sudah marah. Apalagi ketika ia membaca isinya. Dengan tidak mengambil pertimbangan lagi ia segera mengambil keris saktinya yang bernama Kyai Setan Kober dan langsung mengendarai kuda jantan andalannya yang bernama Gagang Rimang menuju ke Sungai Bengawan.

Kuda yang bernama Gagak Rimang ini adalah kuda andalan Arya Penangsang yang biasa dipakai untuk mengalahkan musuh-musuhnya dalam peperangan. Gagak Rimang perawakannya gagah dan tegap, badannya tinggi dan besar tetapi lincah sekali. Warna bulunya yang hitam mengkilat, menjadikannya tampak berwibawa.

Saat Arya Penangsang sampai di pinggir kali Bengawan, ternyata Danang Sutawijaya telah menunggunya di seberang sungai. Sesuai dengan pesan ayahnya, Danang Sutawijaya datang dengan berkendaraan kuda betina serta membawa tombak Kyai Plered.

Melihat Danang Sutawijaya telah berada di seberang sungai, Arya Penangsang lalu mulai berteriak-teriak menantangnya. Untunglah Danang Sutawijaya tetap tenang. Karena sudah beberapa lama berteriak-teriak tetapi tidak mendapat tanggapan, akhirnya ia menjadi marah. Ia tidak dapat lagi mengendalikan emosinya, sehingga dengan tidak berpikir panjang Arya Penangsang terus mencebur ke sungai.

Danang Sutawijaya sangat bersenang hati melihat Arya Penangsang telah mendahului mencebur sungai. Ia lalu turun menyusul ke sungai. Di tengah Sungai Bengawan itu terjadilah perang tanding antara Arya Penangsang di satu pihak melawan Danang Sutawijaya di lain pihak. Arya Penangsang mengendarai Gagak Rimang, seekor kuda jantan, sedang Danang Sutawijaya mengendarai kuda betina. Akibatnya kuda jantan milik Arya Penangsang menjadi birahi. Selanjutnya, Gagak Rimang hanya mengekor si kuda betina, sehingga gerak-geriknya sulit dikendalikan. Dan, Arya Penangsang pun menjadi kewalahan.

Arya Penangsang menjadi agak lengah karena perhatiannya sebagian dicurahkan kepada Gagak Rimang yang sedang berontak itu. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Danang Sutawijaya. Dengan tombak Kyai Plered ditusuklah perut Arya Penangsang. Akibatnya perut Arya Penangsang menjadi robek dan usunya terburai.

Walaupun ususnya telah menjulur keluar dari perut, tetapi Arya Penangsang masih tetap hidup. Bahkan kelihatan lebih gigih menyerang lawannya. Dan, supaya tidak mengganggu gerakannya, maka usus yang menjulur itu lalu disampirkan pada pendok kerisnya. Peperangan pun terus dilanjutkan. Kali ini Arya Penangsang malah kelihatan semakin ganas, sedang Danang Sutawijaya posisinya mulai terdesak.

Melihat keadaan Danang Sutawijaya yang kurang menguntungkan itu, maka Ki Ageng Pemanahan yang dari awal telah bersembunyi di atas bukit, segera menggunakan siasatnya. Ia pura-pura memihak Arya Penangsang. Dengan lantang ia meneriakkan kata-kata, “Bunuh saja Danang Sutawijaya!”

Siasat itu ternyata berhasil. Arya Penangsang menjadi lebih bersemangat lagi menyerang. Dengan membabi buta dan tanpa perhitungan ia terus maju. Namun, karena terbawa emosi maka ia kurang berhati-hati, sehingga kerisnya malah mengenai dan memutuskan ususnya sendiri. Arya Penangsang tewas seketika.

Setelah Arya Penangsang tewas, maka Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi kemudian menghadap Kanjeng Sultan Pajang, melapor bahwa Danang Sutawijaya telah berhasil membunuh Arya Penangsang. Mendengar berita ini, Sultan Pajang sangat gembira. Singkat cerita, setelah kedua patih itu berhasil melaksanakan tugasnya, mereka dihadiahi tanah Pati dan Mentoak, seperti apa yang telah dijanjikan sebelumnya.

Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi lalu berunding. Dalam perundingan itu diperoleh kata sepakat bahwa Ki Penjawi mendapat tanah di Pati, sedang Ki Ageng Pemanahan mendapat tanah Mentoak. Sesudah kesepakatan dicapai, keduanya lalu menuju ke tempat bagiannya masing-masing.

Sewaktu akan berangkat ke Mentoak, Ki Ageng Pemanahan mengajak Danang Sutawijaya untuk ikut serta pindah ke sana. Demikianlah, tanah Mentoak yang semula berwujud hutan belantara yang mengerikan dan membahayakan, akhirnya berubah menjadi pusat kerajaan besar yang bernama Kerajaan Mataram.

Sumber:
Diadaptasi bebas dari Suwondo, Bambang. 1981. Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Onde-onde Ketawa Moka Kacang

Bahan
50 ml air
5 tetes moka pasta
100 gram gula pasir
¼ sendok teh garam
1 butir telur
20 ml minyak goreng
75 gram kacang tanah sangrai, didinginkan, dihaluskan
130 gram tepung terigu protein sedang
½ sendok teh baking powder
¼ sendok teh soda kue
100 gram wijen putih untuk pelapis
minyak untuk menggoreng

Cara membuat
Rebus air, gula pasir, dan moka pasta sampai larut. Dinginkan

Kocok lepas telur, garam, dan minyak goreng asal rata. Tambahkan sirup gula. Kocok rata.

Tuang ke campuran kacang tanah, tepung terigu, baking powder, dan soda kue. Aduk rata. Uleni sampai bergumpal.

Bentuk bola-bola. Celup ke air. Gulingkan di wijen.

Goreng dalam minyak yang sudah dipanaskan di atas api sedang sambil diaduk sampai merekah.

Untuk 70 buah

Sumber: Tabloid Saji, Edisi 108/TH.V. 3-16 Oktober 2007

Tempiq-Empiq

(Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat)

Pada zaman dahulu pada sebuah dusun di Kecamatan Pujut, tinggal sepasang suami-isteri dengan dua orang anak. Anak yang terbesar, seorang perempuan bernama Tempiq-Empiq, sedang adiknya masih kecil. Mata pencaharian keluarga ini hanya mencari kayu bakar di hutan yang letaknya tidak jauh dari pondok mereka. Setiap hari Amaq (ayah) Tempiq-Empiq pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar, dan setelah kembali lalu menukarnya dengan kebutuhan pokok lainnya.

Setiap hari ketika Amaq Tempiq-Empiq akan pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar, ia berpesan pada isterinya, “Inaq (ibu) Tempiq-Empiq, kalau nasi sudah masak, tinggalkan aku keraknya. Akan kumakan setelah kembali dari hutan.”

Inaq Tempiq-Empiq pernah memberitahu suaminya bahwa anak-anak mereka, terutama si Tempiq-Empiq, juga senang sekali memakan kerak. Karena itu ia menyarankan agar kerak nasi itu sebaiknya diberikan kepada anak-anak. Namun saran itu tak pernah diperhatikan oleh suaminya. Ia tetap menuntut supaya kerak itu harus disediakan untuknya sendiri.

Suatu hari ketika Amaq Tempiq-Empiq sedang asyik memakan kerak, Tempiq-Empiq datang mendekatinya sambil berkata, “Ayah, sebaiknya kerak ini dibagi saja. Untuk saya sebagian dan untuk ayah sebagian. Sejak beberapa hari yang lalu saya ingin sekali memakan kerak. Bagaimana ayah?”

Amaq Tempiq-Empiq menjawab dengan enaknya, “Tempiq-Empiq anakku, sebaiknya kau minta kepada ibumu, pasti bagianmu ditinggalkan di dapur.”

Mendengar perkataan ayahnya itu, Tempiq-Empiq langsung berlari menuju dapur. Di dapur, Tempiq-Empiq lalu menyapa ibunya yang sedang sibuk mempersiapkan makanan untuk mereka sekeluarga, “Ibu, aku sudah minta kepada ayah, agar kerak yang sedang dimakannya dibagi dua. Tetapi ayah mengatakan bagianku telah ibu sediakan di dapur. Betulkah demikian?”

Ibunya lalu menjawab sambil terus bekerja, “Tempiq-Empiq, kerak itu hanya sedikit. Mana bisa dibagi berdua. Biarlah ayahmu saja yang memakan kerak itu. Kamu boleh mengambil makanan yang lain. Tetapi kalau ingin benar, mintalah pada ayahmu di luar.”

Kembali Tempiq-Empiq berlari menuju ayahnya dan berkata, “Ayah, beri aku kerak itu. Ibu tidak menyediakan untuk aku.”

“Tempiq-Empiq, sudah kukatakan, tentang kerak itu mintalah pada ibumu,” jawab ayahnya

Kembali Tempiq-Empiq masuk ke dapur dan meminta kepada ibunya. Tetapi karena memang tidak ada kerak nasi di dapur, Tempiq-Empiq disuruh kembali lagi kepada ayahnya. Demikianlah, Tempiq-Empiq terus bolak-balik menemui ibu dan ayahnya, sehingga Amaq Tempiq-Empiq menjadi berang dan memasuki dapur sambil menghardik isterinya.

“Hai perempuan celaka, hanya soal kerak nasi saja kau tak dapat mengatasinya. Bosan aku mendengar Tempiq-Empiq terus merengek kepadaku. Di mana kepalamu, hai otak udang.”

Karena tidak mendapat jawaban, Amaq Tempiq-Empiq melanjutkan dengan penuh nafsu. “Kalau terus menerus begini, tidak berarti kau tinggal di rumah ini. Sebaiknya besok pagi kaulah yang pergi ke hutan mencari kayu bakar dan aku tinggal di rumah mengurus anak-anak.”

Sambil berjalan mondar-mandir di dapur, Amaq Tempiq-Empiq melanjutkan amarahnya. “Hai perempuan dungu, pasanglah telingamu dan dengar kata-kataku. Besok pagi pergilah ke hutan. Aku tinggal di rumah. Kamu sanggup? Cepat jawab!”

Inaq Tempiq-Empiq terdiam. Ia tidak mau meladeni suaminya yang sedang dikuasai setan. Ia terdiam sambil melanjutkan pekerjaan yang belum selesai. Melihat gelagat isterinya yang sama sekali tidak memperdulikan dirinya itu, amarah Amaq Tempiq-Empiq semakin menjadi-jadi. “Cepat jawab. Kamu sanggup atau tidak? Kalau tidak sekarang juga terima bagianmu ini.”

Selesai berkata demikian, Amaq Tempiq-Empiq langsung mengambil sepotong kayu yang kebetulan berada di dekatnya. Kayu itu kemudian dipukulkan ke tubuh isterinya. Setelah puas berbuat demikian, Amaq Tempiq-Empiq masuk ke dalam rumah. Di sana ia mengunci dirinya dan tak mau memperdulikan semua yang terjadi di sekitarnya. Sedang Inaq Tempiq-Empiq masih tertinggal di dapur sambil menahan sakit dan menahan gejolak hati. Dalam hati ia berkata:

“Oh, hanya karena kerak nasi. Ya hanya kerak nasi menyebabkan badanku demikian sengsara. Apa lagi perkara yang lebih besar. Aku sudah tak berarti, apalagi berharga dalam keluarga ini. Aku akan pergi dari sini. Selamat tinggal anak-anak, ibu akan pergi jauh, dan mungkin tak akan kembali lagi.”

Setelah itu dengan dibarengi dengan denyutan hati dan duka nestapa, serta iringan pikiran yang kusut, Inaq Tempiq-Empiq segera meninggalkan rumahnya. Ia berjalan secepat-cepatnya, ia ingin segera pergi dari rumahnya. Ia berjalan tanpa tujuan yang pasti. Ia hanya mengikuti arah yang ditunjukkan oleh mata kakinya saja. Tujuannya hanya satu, mencari satu tempat yang dapat membuat hatinya tenteram kembali. Setelah berjalan beberapa lama, jarak yang ditempuh sudah jauh sekali.

Saat Tempiq-Empiq mengetahui bahwa ibunya tak berada lagi di rumah, dengan cepat disambarnya adiknya yang masih kecil itu, lalu digendongnya dan berlari secepat-cepatnya menyusul ke arah ibunya berjalan. Tempiq-Empiq berlari terus sambil berteriak memanggil ibunya.

Manakala jarak mereka sudah makin dekat, berkatalah Tempiq-Empiq, “Ibu, kembalilah, lihatlah adikku terus menangis karena haus dan lapar. Kembalilah ibu.”

Mendengar teriakan anaknya yang demikian itu, Inaq Tempiq-Empiq lalu menjawab, “Oh, anakku, tidak usah kamu hiraukan aku lagi. Relakan ibu pergi mencari ketenangan. Segala kebutuhanmu, mintalah pada ayahmu. Pulanglah hai anakku.”

Mendengar jawaban ibunya itu, Tempiq-Empiq tidak menghiraukannya dan terus saja menyusul ibunya. Ia berjalan dan berlari tanpa mengenal lelah. Adiknya terus digendongnya, kendati ia menangis dengan tidak henti-hentinya.

“Ibu, tunggu ibu, ke mana ibu akan pergi? Dengarlah teriakan anakmu ini ibu. Tidakkah ibu mendengar tangis adikku?” teriak Tempiq-Empiq.

“Anakku, ibu mendengar semua kata-katamu. Ibu tahu dan merasakan apa yang kamu rasakan. Namun apa pun yang akan terjadi, ibu tak akan kembali,” teriak ibunya.

“Tidak ibu. Ibu harus kembali bersama kami sekarang juga. Dengarlah bu, tangis adikku, dia sudah lapar dan haus,” teriak Tempiq-Empiq dari kejauhan.

Walaupun Tempiq-Empiq memanggil dengan berteriak sekeras-kerasnya, ibunya tetap berjalan dan jarak yang memisahkan mereka pun menjadi jauh lagi. Walau demikian, Tempiq-Empiq tidak berputus asa. Ia akan tetap menyusul ibunya. Ia sangat kasihan kepada adiknya, yang senantiasa menangis karena kehausan dan kelaparan.

Setelah beberapa hari berjalan, akhirnya Inaq Tempiq-Empiq tiba di sebuah pantai. Pantai itu merupakan sebuah tanjung yang hanya terdiri dari batu-batu besar dan kecil. Dengan susunan yang demikian, tanjung itu kelihatan indah sekali. Pada suatu bagian dari susunan batu itu ada sebuah tempat yang menyerupai sebuah goa. Susunan batu seperti gua itu mempunyai bagian-bagian yang terdiri dari lubang-lubang yang seolah-olah merupakan sebuah serambi dan di bagian lain ada kamar tidur. Karena tidak tahu kemana lagi harus melanjutkan perjalanan, akhirnya Inaq Tempiq-Empiq beristirahat di dalam gua itu.

Keesokan harinya, Tempiq-Empiq yang selama ini tetap menggendong adiknya, akhirnya sampai juga di tempat itu. Di depan pintu gua itu mereka berjumpa dan berkumpul lagi seperti sedia kala. Anak yang masih kecil itu lalu diambil oleh ibunya dan langsung diberi minum air susunya.

Dalam keadaan menyusui anaknya itu, Inaq Temiq-Empiq berkata, “Tempiq-Empiq anakku, sebenarnya sejak ibu meninggalkan rumah, segala keperluan hidupmu sudah menjadi tanggung jawab ayahmu. Ayahmu tidak membutuhkan kehadiran ibu di rumah itu lagi. Itulah sebabnya dengan sangat terpaksa ibu meninggalkan kamu berdua, walau cinta kasihku kepadamu tidak dapat diukur dengan apa pun juga. Namun apa pun yang terjadi, terimalah dengan sepenuh hati, dan tawakal kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.”

Setelah berkata demikian Inaq Tempiq-Empiq yang sedang menyusui anaknya itu menyuruh Tempiq-Empiq mengambil tempat sirihnya di dalam gua. “Tempiq-Empiq, coba kamu ambilkan tempat sirih ibu di dalam.”

“Ah, aku tidak berani masuk gua batu itu, ibu. Aku takut. Gelap sekali di dalam,” jawab Tempiq-Empiq.

“Masuk saja, tidak ada apa-apa. Jangan takut,” kata ibunya.

“Ibu sajalah yang mengambilnya. Aku tetap tidak berani,” jawab Tempiq-Empiq.

Kemudian ibunya memberikan adiknya yang sudah puas menyusu kepada Tempiq-Empiq. Di tangan bayi itu ada sebutir telur yang sengaja dibawa oleh ibunya dari rumah. Telur itulah yang selalu dipegang oleh adiknya dan tidak pernah dilepaskan. Tempiq-Empiq menerima adiknya dari tangan ibunya, lalu dipangkunya dengan mesra sekali. Setelah itu ibunya bangkit, dan kemudian masuk ke dalam gua. Setelah Inaq Tempiq-Empiq berada di dalam, pintu gua yang terdiri dari batu itu tiba-tiba merapat. Inaq Tempiq-Empiq terperangkap di dalam gua itu.

Melihat kejadian itu, Tempiq-Empiq yang masih berada di serambi gua merangkul adiknya erat-erat dan berteriak sekeras-kerasnya, “Ibu, ke mana lagi ibu akan pergi? Bagaimana ibu akan keluar dari dalam gua batu itu? Ibu, ibu, ibu!”

Kemudian Tempiq-Empiq mendengar suatu suara, “Anakku, tidak ada gunanya kau mencari ibu lagi. Ibu telah sampai pada tempat yang ibu inginkan. Lebih baik pulanglah.”

Tidak berapa lama kemudian, Tempiq-Empiq mendengar suara lagi.

“Tempiq-Empiq anakku, bila besok atau lusa, mungkin bulan depan atau pada masa-masa selanjutnya kau dan seluruh anak cucuku berkeinginan untuk menjenguk aku di tempat ini, atau ada yang ingin memberi makan untukku, taruhlah makanan itu pada celah-celah batu ini. Aku akan sangat berterima kasih. Selain itu perhatikanlah anakku. Bila nanti aku mengeluarkan suatu suara dari tempat ini, maka itulah suatu pertanda akan datangnya musim hujan, yang membawa kemakmuran atau mungkin juga suatu tanda akan datangnya wabah penyakit bagi binatang-binatang ternak atau mungkin juga bagi manusia.”

Setelah mendengar wasiat ibunya itu akhirnya Tempiq-Empiq pun pulang ke rumah ayahnya. Perjalanan pulang itu bagi Tempiq-Empiq merupakan perjalanan yang penuh dengan tetesan air mata karena berpisah dengan ibunya melalui suatu peristiwa yang sangat menyedihkan. Setelah berjalan beberapa hari, telur yang selama ini selalu dalam genggaman adiknya, tiba-tiba menetas menjadi seekor ayam. Kehadiran anak ayam ini ternyata dapat menghibur adiknya yang selalu menangis. Dengan mengalami bermacam-macam kesulitan, akhirnya tiba juga Tempiq-Empiq bersama adiknya di rumah.

Setelah sampai di rumah, Tempiq-Empiq menjadi terkejut karena bapaknya telah kawin lagi dengan seorang janda yang bernama Inaq Teriung Riung. Janda itu telah mempunyai seorang anak.

Ketika melihat anak-anaknya pulang, ayahnya pun berkata, “Tempiq-Empiq, ke mana saja kau selama ini?”

“Aku pergi menyusul ibu,” jawab Tempiq-Empiq.

“Di mana ibumu sekarang?” tanya bapaknya.

“Ayah, kita tak mungkin lagi berjumpa dengan ibu. Ibu telah pergi meninggalkan kita semua untuk selama-lamanya,” jawab Tempiq-Empiq.

“Ayam siapakah yang kau bawa itu?” tanya ayahnya.

Lalu Tempiq-Empiq menceritakan asal-usul ayam jantan yang dibawanya.

“Coba kulihat. Bagus benar ayammu. Aku bermaksud untuk mengadu ayam ini besok pagi. Karena ayam serupa ini jarang kalah dan sulit mencari tandingannya. Lihatlah ciri-ciri ayam ini. Serawah, sekedar, sangkut, sandah samar1. Hebat bukan?”

Memang Amaq Tempiq-Empiq mempunyai kegemaran mengadu ayam. Tidak heran ketika melihat ayam yang dibawa anaknya itu, perhatiannya hanya tertuju pada si ayam. Sehingga hampir-hampir ia tak mendengar segala cerita anaknya.

Keesokan harinya Amaq Tempiq-Empiq ke gelanggang aduan ayam. Setiba di tempat itu ia segera mencari tandingan untuk ayamnya. Pada hari itu ayamnya menang dan tanpa cedera sedikit pun. Demikian juga berturut-turut beberapa hari kemudian. Betapa senang hati Amaq Tempiq-Empiq tak dapat diceritakan lagi, sehingga ia lupa memperhatikan kedua anaknya. Ia hanya asyik menghitung kemenangannya dalam perjudian. Kadang-kadang ia menanyakan apakah kedua anaknya sudah makan. Pertanyaan itu selalu dijawab dengan kata sudah oleh oleh isterinya. Dalam kenyataannya kedua anak itu selalu diabaikan. Makanan yang diterimanya tak pernah memadai. Kedua anak tersebut sangat menderita lahir batin. Itulah sebabnya sehari-harian Tempiq-Empiq dan adiknya selalu berada di luar rumah. Mereka sering bermain-main di bawah sebatang pohon ara, sambil menunggu barangkali ada buah yang jatuh.

Pada suatu hari ketika Amaq Tempiq-Empiq lewat di bawah pohon ara itu, ia mendengar nyanyian seorang anak, yang disambung dengan suara lain. Beberapa kali ia memperhatikan dengan teliti, tetapi nyanyian anak itu tetap saja berulang.

“Oh, betapa manisnya buah ara ini, sedang bagiku, nasi adalah barang yang pahit. Klek, Klek, Kuwo,” begitu bunyi nyanyiannya.

Didorong oleh keinginan yang besar untuk mengetahui siapa yang menyanyikannya Amaq Tempiq-Empiq memandang dengan cermat ke atas pohon itu. Saat ia mengamati, ia amat terkejut ketika melihat kedua anaknya berada di atas ranting pohon itu. Dan ia lebih terkejut lagi, ketika melihat dengan nyata bahwa kedua anaknya memiliki sepasang sayap. Kini jelaslah baginya, bahwa yang menyanyi tadi adalah kedua anak itu. Melihat kedua anak itu menjelma menjadi burung, Amaq Tempiq-Empiq menjadi kalap. Ia kini yakin, tidak ada orang lain yang harus bertanggung jawab atas kejadian ini, selain dari isterinya sendiri. Akibat kekejaman dan perlakuan ibu tirinya itulah maka kedua anaknya itu berubah menjadi burung.

Setelah tiba di rumah, ia mengamuk sejadi-jadinya, kemudian mengusir isterinya. Tetapi karena anak dari isteri keduanya tak ada yang merawat, maka beberapa hari kemudian Inaq Teriung Riung disuruh pulang kembali. Singkat cerita, mereka kemudian hidup rukun kembali.

Namun dalam hati Amaq Tempiq-Empiq masih merasa sedih karena kehilangan isteri pertama dan anak-anaknya. Suatu saat ia ingat akan pesan isterinya yang disampaikan oleh Tempiq-Empiq. Karena itu ia berkunjung ke Tanjung Salaen, tempat isterinya lenyap ditelan gua batu sambil membawa sesajian untuk isterinya.

Sumber:
Diadaptasi bebas dari Proyek Penerbitan dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1981. Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

1 Serawah = putih. Sekedas = putih pada kaki. Sangkur = tidak berekor panjang. Sadah samar = tengkuk ayam yang berbulu agak berdiri seperti bulu tengkuk (kepala) burung kakak tua.

Sesat (Lampung)

Sesat (balai adat), yaitu tempat bermusyawarah adat para prowatin (majelis pemuka adat). Berbentuk bangunan rumah terbuka yang dindingnya hanya untuk batas sedangkan tepi bangunan tidak tertutup. Tiang dan lantai terbuat dari bahan kayu dan papan, sedangkan atap dari sirap atau genting. Sekarang bangunan ini sudah jarang sekali terdapat, dan upacara musyawarah adat cukup dilakukan di bangunan rumah pemuka adat. Maksud untuk menggabungkannya dengan bangunan balai desa nampaknya kurang sesuai, sehingga balai desa kurang dipergunakan sebagai balai adat.

Sumber:
Hadikusuma, Hilman, dkk. 1978. Adat Istiadat Derah Lampung. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kayu-ara (Lampung)

Kayu-ara berbentuk seperti pagoda sederhana menjulang ke atas. Dibuat dari tiang pohon pinang yang dilingkari oleh lingkaran-lingkaran bambu berhias, yang digantungi dengan berbagai macam benda seperti kain-kain, selendang, handuk dan lain-lain. Pada akhir upacara adat, pohon kayu ara ini dipanjat oleh kerabat yang membantu bekerja dalam upacara adat yang merebut buah kayu ara (kain-kain yang bergantungan) ini. Seringkali tiang pohon ara ini diberi pelicin agar tidak mudah dipanjat naik. Alat upacara ini berlaku di daerah pepadun.

Sumber:
Hadikusuma, Hilman, dkk. 1978. Adat Istiadat Derah Lampung. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Adadap (Lampung)

Adadap atau kembang telur, yang dibuat dari batang pisang yang dipotong, diletakkan pada tempat peludah dan kuningan yang besar dan dihiasi. Telur-telur yang telah diwarnai dan diberi bendera-bendera kecil ditancapkan pada potongan batang pisang. Adadap ini digunakan pada upacara adat cukuran anak.

Sumber:
Hadikusuma, Hilman, dkk. 1978. Adat Istiadat Derah Lampung. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Honda Tiger

 
Spesifikasi Teknis
Panjang X lebar X tinggi 2.029 x 747 x 1.093 mm
Jarak sumbu roda 1327 mm
Jarak terendah ke tanah155 mm
Berat kosong 137 kg
Tipe rangka Pola Berlian
Tipe suspensi depan Teleskopik
Volume langkah 196,9 cc
Tipe suspensi belakang Lengan ayun pegas ganda dengan tabung oli
Ukuran ban depan 2,75 - 18 42L
Ukuran ban belakang 100/90 - 18 M/C - 56P
Rem depan Cakram hidrolik, dengan piston ganda
Rem belakang Cakram hidrolik, dengan piston tunggal
Kapasitas tangki bahan bakar 13,2 Liter
Tipe mesin 4 Langkah OHC, pendinginan udara
Diameter x langkah 63,5 x 62,2 mm
Perbandingan kompresi 9,0 : 1
Daya maksimum 16,7 PS / 8.500 RPM
Torsi maksimum 1,60 kg.m / 7.000 RPM
Kapasitas minyak pelumas mesin 1,0 liter pada penggantian periodik
Kopling Otomatis Manual, Multiplate Wet
Gigi transmsi 6 kecepatan
Pola pengoperan gigi 1-N-2-3-4-5-6
Starter Elektrik Starter & Kick Starter
Aki 12 V - 7 Ah
Busi ND x 24 EP U9 / NGK DP8EA-9
Sistem pengapian CDI-AC, Magneto

Honda Vario (2006)

Spesifikasi
2006 Honda Vario  
Panjang X lebar X tinggi : 1.897 x 680 x 1.083 mm
Jarak sumbu roda : 1.273 mm
Jarak terendah ke tanah : 132.5 mm
Berat kosong : 99,9 kg (tipe spoke) 99,3 kg (tipe CW)
Tipe rangka : Tulang Punggung
Tipe suspensi depan : Teleskopik
Tipe suspensi belakang : Lengan ayun dengan sokbreker tunggal
Ukuran ban depan : 80/90 - 14 M/C 40P
Ukuran ban belakang : 90/90 - 14 M/C 46P
Rem depan : Tipe cakram hidrolik dengan piston ganda
Rem belakang : Tromol
Kapasitas tangki bahan bakar : 3,6 Liter
Tipe mesin : 4 Langkah, SOHC
Diameter x langkah : 50,0 mm x 55,0 mm
Volume langkah : 108 cc
Perbandingan kompresi : 10,7 : 1
Daya maksimum : 8,99 PS / 8000 rpm
Torsi maksimum : 0,86 kgf.m / 6.500 RPM
Kapasitas minyak pelumas mesin : 0,7 Liter pada penggantian periodik
Kopling Otomatis : Otomatis sentrifugal, tipe kering
Gigi transmsi : Otomatis, V-Matic
Pola pengoperan gigi : -
Starter : Pedal dan elektrik
Aki : 12 V - 3,5 Ah
Busi : ND U22FER9 / NGK CR7EH-9
Sistem pengapian : DC - CDI, baterai
Tinggi tempat duduk : 758 mm
Sistem pendingin : Silinder tunggalPendingin dengan cairan (liquid cooled)
Susunan silinder : Silinder tunggal
Karburator : VK22 x 1
Lampu depan : 12 V 25 W / 25 W x 2
Lampu senja : 12 V 3,4 W x 2

Yamaha Scorpio Z

Technical Specifications Yamaha Scorpio Z
Engine Engine type Bore x Stroke Displacement Valves Compression ratio Max Power Max Torque Fuel system Transmission Final drive Clutch Ignition type Starting system Lubrication Intake system Spark plug Battery Gear ratios Air-cooled, single cylinder, 4-stroke, SOHC 70.0 x 58.0 mm 223 cc 2 valves per cylinder 9.5:1 1.86 kgf.m @ 6500 rpm Carburetor BS 30x1 Mikuni 5-speed (1-N-2-3-4-5) Chain Multi-plate in oil bath Electronic CDI Electric & kick starter Wet sump BP8EA/x24ES-U 12V 7Ah/GM7B-4B
Dimensions Frame type Rake Overall length Overall width Overall height Wheelbase Seat height Ground clearance Dry weight Fuel capacity Colors Suspension (front) Suspension (rear) Tyre (front) Tyre (rear) Brake (front) Brake (rear) Double cradle 2022 mm 825 mm 1085 mm 1295 mm 825 mm 165 mm 125 kg 13.5 litres Black, blue, orange Telescopic fork Mono-shock 135 mm. travel 100/90-R18 130/80-R17 Single disc 280 mm Drum
Image: http://wikipedia.org

Kawasaki Ninja 250R

Technical Specifications
Kawasaki Ninja 250R
Engine
Engine type
Bore x Stroke
Displacement
Compression ratio
Max power
Max torque
Transmission
Clutch
Final drive
Starting system
Fuel system
Ignition
Lubrication
Gear Ratios

Four-stroke, liquid-cooled, DOHC, parallel twin
62.0 x 41.2 mm
249 cc
11.6:1
-
22 Nm (2.24 kgf/m) 16.2 lb-ft/9,500 rpm
6-speed, return
-
Sealed chain
Electric starter
Carburetor Keihin CVK30 x 2
-
-
1st 2.600 (39/15)
2nd 1.789 (34/19)
3rd 1.409 (31/22)
4th 1.160 (29/25)
5th 1.000 (27/27)
6th 0.893 (25/28)
Dimensions
Frame type
Colors
Rake
Overall length
Overall width
Overall height
Seat height
Wheelbase
Ground Clearance
Dry weight
Fuel capacity
Suspension (front)
Suspension (rear)
Tyre (front)
Tyre (rear)
Brake (front)
Brake (rear)

Semi-double cradle, high-tensile steel
-
26° / 82 mm
2,085 mm
715 mm
1,115 mm

775 mm
1,400 mm
135 mm
154 kg
17 litres
37 mm hydraulic telescopic fork
Bottom-Link Uni-Trak® with 5-way adjustable preload
110/70-17
130/70-17
Single 290mm hydraulic disc with two-piston caliper
Single 220mm petal disc with two-piston caliper

Image: http://www.kredit-motor.com

Honda Interceptor ABS (2008)


Detailed Product Description

ENGINE
Engine Type : 781cc liquid-cooled 90-degree V-4
Bore and Stroke : 72mm x 48mm
Compression Ratio : 11.6:1
Valve Train : VTEC DOHC; four valves per cylinder
Carburetion : Programmed Fuel Injection (PGM-FI) with automatic enricher circuit
Ignition : Computer-controlled digital with three-dimensional mapping and electronic advance

DRIVE TRAIN
Transmission : Close-ratio six-speed
Final Drive : #530 O-ring-sealed chain

CHASSIS / SUSPENSION / BRAKES
Front Suspension : 43mm HMAS cartridge fork with spring-preload adjustability; 4.3-inch travel
Rear Suspension Pro Arm single-side swingarm with Pro-Link single HMAS gas-charged shock with seven-position spring-preload and rebound-damping adjustability; 4.7-inch travel
Front Brakes : Dual full-floating 296mm discs with LBS three-piston calipers
Rear Brake : Single 256mm disc with LBS three-piston caliper with Anti-Lock Braking System
Front Tire : 120/70ZR-17 radial
Rear Tire : 180/55ZR-17 radial

DIMENSIONS
Rake : 25.3 degrees
Trail : 100mm (3.9 inches)
Wheelbase : 57.4 inches
Seat Height : 31.7 inches
Curb Weight : 551 lbs (Includes all standard equipment, required fluids and a full tank of fuel—ready to ride)
Fuel Capacity : 5.8 gallons, including 0.8-gallon reserve

OTHER
Emissions : Meets 2008 CARB emissions standards.
Available Colors : Metallic Silver
Model ID : VFR800A

FACTORY WARRANTY INFORMATION
1 year Transferable, unlimited-mileage limited warranty; extended coverage available with a Honda Protection Plan

Source:
http://www.ecvv.com

Yamaha FJR1300A (2008)

Detailed Product Description

Engine
Type 1298cc liquid-cooled inline 4-cylinder; DOHC, 16 valves
Bore x Stroke 79 x 66.2mm
Compression Ratio 10.8:1
Carburetion Fuel Injection
Ignition TCI
Transmission 5-speed; multiplate wet clutch
Final Drive Shaft

Chassis
Suspension/Front 48mm fork; fully adjustable, 5.4-in travel
Suspension/Rear Single shock; adjustable preload and rebound damping, 4.8-in travel
Brakes/Front Dual 320mm disc, CBS ABS
Brakes/Rear 282mm disc, CBS ABS
Tires/Front 120/70-ZR17 radial
Tires/Rear 180/55-ZR17 radial

Dimensions
Length 88.2 in
Width 29.3 in
Height 52.4 in
Seat Height 31.5 in - 32.3 in
Wheelbase 60.6"
Rake (Caster Angle) 26°
Trail 4.3 in
Fuel Capacity 6.6 gal
Ground Clearance 5.3 in
Dry Weight 584 lb

Warranty 1 Year (Limited Factory Warranty)

Source:
http://www.ecvv.com

Yamaha YZF-R6 (2008)

Detailed Product Description

Engine
Type 599cc liquid-cooled inline 4-cylinder; DOHC, 16 titanium valves
Bore x Stroke 67.0 x 42.5mm
Compression Ratio 13.1:1
Carburetion Fuel Injection with YCC-T and YCC-I
Ignition TCI
Transmission 6-speed w/multi-plate slipper clutch
Final Drive #525 O-ring chain

Chassis
Suspension/Front 41mm inverted fork; 4-way adjustable, 4.7-in travel
Suspension/Rear Single shock; 4-way adjustable, 4.7-in travel
Brakes/Front Dual 310mm floating disc; radial-mount 4-piston calipers
Brakes/Rear 220mm disc; single-piston caliper
Tires/Front 120/70-ZR17
Tires/Rear 180/55-ZR17

Dimensions
Length 80.3 in
Width 27.6 in
Height 43.3 in
Seat Height 33.5 in
Wheelbase 54.3 in
Rake (Caster Angle) 24°
Trail 3.8 in
Fuel Capacity 4.6 gal
Oil Capacity (with oil filter change) Spec Not Available
Dry Weight 366 lb

Other
Warranty 1 Year (Limited Factory Warranty)

Source:
http://www.ecvv.com

Yamaha YZF-R1 (2008)

Detailed Product Description

Engine
Type 998cc liquid-cooled inline 4-cylinder; DOHC, 16 valves (titanium intakes)
Bore x Stroke 77 x 53.6mm
Compression Ratio 12.7:1
Carburetion Fuel Injection with YCC-T and YCC-I
Ignition TCI
Transmission 6-speed w/multi-plate slipper clutch
Final Drive #530 O-ring chain

Chassis
Suspension/Front 43mm inverted fork; fully adjustable, 4.7-in travel
Suspension/Rear Single shock w/piggyback reservoir; 4-way adjustable, 5.1-in travel
Brakes/Front Dual 310mm disc; radial-mount forged 6-piston calipers
Brakes/Rear 220mm disc; single-piston caliper
Tires/Front 120/70-ZR17
Tires/Rear 190/50-ZR17

Dimensions
Length 81.1 in
Width 28.3 in
Height 43.7 in
Seat Height 32.9 in
Wheelbase 55.7 in
Rake (Caster Angle) 24.0°
Trail 4.0 in
Fuel Capacity 4.75 gal
Dry Weight 390 lb

Other
Primary Reduction Ratio 65/43 (1.512)
Secondary Reduction Ratio 45/17 (2.647)
Gear Ratio - 1st Gear 38/15 (2.533)
Gear Ratio - 2nd Gear 33/16 (2.063)
Gear Ratio - 3rd Gear 37/21 (1.762)
Gear Ratio - 4th Gear 35/23 (1.522)
Gear Ratio - 5th Gear 30/22 (1.364)
Gear Ratio - 6th Gear 33/26 (1.269)
Warranty 1 Year (Limited Factory Warranty)

Source:
http://www.ecvv.com

Honda CBR 1000 (2008)

Detailed Product Description

Year 2008
Model CBR 1000RR
Engine liquid-cooled inline four-cylinder
Displacement 998cc
Bore/Stroke 75.0mm x 56.5mm
Compression 11.9:1
Ignition Computer-controlled digital transistorized with three-dimensional mapping
Fuel system Dual Stage Fuel Injection (DSFI)
Gearbox Close-ratio six-speed
Front brakes Dual full-floating discs with four-piston radial-mounted calipers
Front brakes (dim.) 310mm
Rear brakes Single disc with single-piston caliper
Rear brakes (dim.) 220mm
Front tyre (dim.) 120/70ZR-17
Rear tyre (dim.) 190/50ZR-17

Source:
http://www.ecvv.com

Kawasaki Ninja ZX-6R

Detailed Product Description

Engine Type : Four-stroke, liquid-cooled, DOHC, four valves per cylinder, inline-four
Displacement : 599 cc
Bore x Stroke : 67.0 x 42.5mm
Maximum Torque : TBD
Compression Ratio : 13.9:1
Fuel Injection : DFI with four 38mm Keihin throttle bodies, oval sub-throttles, two injectors per throttle body
Ignition : TCBI with digital advance
Transmission : 6-Speed
Final Drive : X-Ring Chain
Rake/Trail : TBD
Frame type : Aluminum perimeter
Front Tire Size : 120/65-ZR17
Rear Tire Size : 180/55-ZR17
Wheelbase : TBD
Front Suspension / wheel travel : 41 mm inverted cartridge fork with top-out springs, stepless rebound damping, stepless

compression damping, fully-adjustable spring preload / TBD
Rear Suspension / wheel travel Bottom-Link Uni-Trak with gas-charged shock, top-out spring and pillow ball upper mount,

dual-range (high/low-speed) stepless compression damping, 25-way Adjustable rebound damping, fully-adjustable spring preload

/ TBD
Front Brake Type : Dual 300mm petal-type rotors with four-piston, four-pad calipers
Rear Brake Type : Single 210mm petal-type rotor with single-piston caliper
Fuel Tank Capacity : 4.5 gal.
Seat Height : TBD
Dry Weight : TBD
Color : Lime Green, Atomic Silver, Ebony, Passion Red
Warranty : 12 months
Good Times Protection Plan : 12, 24, 36 or 48 months

Source:
http://www.ecvv.com

Tari Angguk (Daerah Istimewa Yogyakarta)

Asal-usul
Kesenian Angguk merupakan satu dari sekian banyak jenis kesenian rakyat yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kesenian angguk berbentuk tarian disertai dengan pantun-pantun rakyat yang berisi pelbagai aspek kehidupan manusia, seperti: pergaulan dalam hidup bermasyarakat, budi pekerti, nasihat-nasihat dan pendidikan. Dalam kesenian ini juga dibacakan atau dinyanyikan kalimat-kalimat yang ada dalam kitab Tlodo, yang walaupun bertuliskan huruf Arab, namun dilagukan dengan cengkok tembang Jawa. Nyanyian tersebut dinyanyikan secara bergantian antara penari dan pengiring tetabuhan. Selain itu, terdapat satu hal yang sangat menarik dalam kesenian ini, yaitu adanya pemain yang “ndadi” atau mengalami trance pada saat puncak pementasannya. Sebagian masyarakat Yogyakarta percaya bahwa penari angguk yang dapat “ndadi” ini memiliki “jimat” yang diperoleh dari juru-kunci pesarean Begelen, Purworejo.

Tarian angguk diperkirakan muncul sejak zaman Belanda1, sebagai ungkapan rasa syukur kapada Tuhan setelah panen padi. Untuk merayakannya, para muda-mudi bersukaria dengan bernyanyi, menari sambil mengangguk-anggukkan kepala. Dari sinilah kemudian melahirkan satu kesenian yang disebut sebagai “angguk”. Tari angguk biasa digelar di pendopo atau di halaman rumah pada malam hari. Para penontonnya tidak dipungut biaya karena pertunjukan kesenian angguk umumnya dibiayai oleh orang yang sedang mempunyai hajat (perkawinan, perayaan 17 Agustus-an dan lain-lain).

Jenis-jenis Angguk dan Pemain
Tarian yang disajikan dalam kesenian angguk terdiri dari dua jenis, yaitu: (1) tari ambyakan, adalah tari angguk yang dimainkan oleh banyak penari. Tarian ambyakan terdiri dari tiga macam yaitu: tari bakti, tari srokal dan tari penutup; dan (2) tari pasangan, adalah tari angguk yang dimainkan secara berpasangan. Tari pasangan ini terdiri dari delapan macam, yaitu: tari mandaroka, tari kamudaan, tari cikalo ado, tari layung-layung, tari intik-intik, tari saya-cari, tari jalan-jalan, dan tari robisari.

Pada mulanya angguk hanya dimainkan oleh kaum laki-laki saja. Namun, dalam perkembangan selanjutnya tarian ini juga dimainkan oleh kaum perempuan. Para pemain angguk ini mengenakan busana yang terdiri dari dua macam, yaitu busana yang dikenakan oleh kelompok penari dan busana yang dikenakan oleh kelompok pengiring. Busana yang dikenakan oleh kelompok penari mirip dengan busana prajurit Kompeni Belanda, yaitu: (1) baju berwarna hitam berlengan panjang yang dibagian dada dan punggunya diberi hiasan lipatan-lipatan kain kecil yang memanjang serta berkelok-kelok; (2) celana sepanjang lutut yang dihiasi pelet vertikal berwarna merah-putih di sisi luarnya; (3) topi berwarna hitam dengan pinggir topi diberi kain berwarna merah-putih dan kuning emas. Bagian depan topi ini memakai “jambul” yang terbuat dari rambut ekor kuda atau bulu-bulu; (3) selendang yang digunakan sebagai penyekat antara baju dan celana; (4) kacamata hitam; (5) kaos kaki selutut berwarna merah atau kuning; dan (6) rompi berwarna-warni. Sedangkan busana yang dikenakan oleh kelompok pengiring adalah: (1) baju biasa; (2) jas; (3) sarung; dan (4) kopiah.

Peralatan musik yang digunakan untuk mengiringi tari Angguk diantaranya adalah: (1) kendang; (2) bedug; (3) tambur; (4) kencreng; (5) rebana 2 buah; (6) terbang besar dan (6) jedor.

Nilai Budaya
Seni apa pun pada dasarnya mengandung nilai estetika, termasuk seni tari angguk.yang ada di kalangan masyarakat Yogyakarta. Namun demikian, jika dicermati secara seksama kesenian ini hanya bernilai estetis dan berfungsi sebagai hiburan semata. Akan tetapi, justuru yang menjadi rohnya adalah nilai kesyukuran. Dalam konteks ini adalah bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kemurahannya (memberi hasil panen yang melimpah). (gufron)

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1992. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://www.korantempo.com
http://www.kr.co.id
http://id.wikipedia.org
http://telebos.com

1 Pengaruh Belanda tampak dari kostum penari yang mirip seragam serdadu Belanda.

Terbang Kencer (Kesenian Tradisional Masyarakat Pemalang, Jawa Tengah)

Asal-usul
Terbang adalah salah satu peralatan musik tradisional yang cukup dikenal oleh masyarakat Pemalang, khususnya masyarakat Beji dan Mlaki (Wanarejan). Alat ini terbuat dari kayu yang dibentuk sedemikian rupa (melingkar), kemudian bagian atasnya diberi kulit. Jadi, hampir serupa dengan bedug atau gendang. Bedanya, jika bedug badannya besar dan panjang, kemudian gendang badannya kecil dan sedikit panjang, tetapi terbang badannya sedang (lebih kecil dari bedug tetapi lebih besar dari gendang pada umumnya) dan pendek. Pada badan terbang ada tiga pasang logam (besi putih) yang oleh masyarakat setempat disebut kecrek atau genjring atau kencer, sehingga jika terbang tersebut dibunyikan, tidak hanya mengeluarkan suara yang berasal dari kulit, tetapi juga suara gembrinjing (gemerincing). Oleh karena itu, terbang tersebut dinamakan sebagai terbang kencer atau terbang genjring. Meskipun ada dua nama untuk terbang ini, namun masyarakat lebih sering menyebutnya sebagai terbang kencer.

Sedikitnya ada dua versi yang berkenaan dengan asal-usul terbang kencer. Versi pertama adalah yang mengatakan bahwa terbang kencer berasal dari suatu daerah yang ada di Jawa Timur. Versi ini sangat erat kaitannya dengan seorang yang bernama Gari (almarhum). Konon, ketika ia masih muda memperdalam agama Islam (mengaji) ke sebuah pesantren yang ada di daerah Jombang (Jawa Timur). Ternyata ia di sana bukannya memperdalam ajaran-ajaran agama Islam, tetapi mempelajari kesenian terbang, sehingga yang diperoleh bukannya ilmu agama tetapi ilmu suatu kesenian yang kemudian disebut sebagai terbang kencer. Ilmu kesenian yang dipelajari dan dikuasai itu kemudian diajarkan kepada para pemuda yang ada di desanya. Salah satu diantaranya adalah Yasin. Saat penelitian ini dilakukan, ia telah berumur 70 tahun. Menurut pengakuannya --ketika berumur 17 tahun-- ia juga pernah memperdalam agama Islam di pesantren Kaliwungu (dekat dengan kota Semarang). Di sana ia sempat belajar selama 3 tahun. Ia adalah seorang pemuda yang aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang menyangkut politik, agama, maupun kebudayaan (kesenian). Dalam bidang politik ia bergabung dengan partai Nahdatul Ulama (NU) dan terdaftar sebagai Pemuda Ansor dan Barisan Serbaguna (Banser). Dalam kesenian ia pernah membentuk suatu organisasi kesenian yang disebut samproh, yaitu suatu kesenian yang ketika itu hanya membutuhkan peralatan: gambus (semacam gitar yang bagian perutnya mengelembung menyerupai kura-kura), piyul (biola), gendang, dan tamburin (kecrek). Dan, ketika penelitian ini dilakukan ia adalah orang yang dipercaya oleh teman-temannya untuk menjadi ketua terbang kencer yang ada di Kelurahan Beji. Ini artinya, terbang kencer yang ada di kelurahan tersebut berasal dari suatu daerah yang berada di Jawa Timur (Jombang).

Versi lain mengatakan bahwa terbang kencer berasal dari desa tetangga (Wanarejan), sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang guru terbang yang berasal dari Keluarahan Beji, yaitu Kambali. Berbeda dengan Yasin, ia belajar terbang kencer bukan pada guru terbang yang ada di desanya, tetapi guru yang ada di lain desa lainnya (Wanarejan) yang bernama Kurdi. Sayangnya ia tidak tahu di mana gurunya belajar terbang kencer, sehingga yang ia tahu terbang kencer berasal dari Wanarejan (Mlaki). Sementara, Kurdi sendiri sudah almarhum (meninggal dunia).

“Yang namanya guru terbang itu banyak dan setiap guru mempunyai daya tarik dan kekhasan tersendiri. Dalam hal terbang kencer saya lebih menyukai gaya Kurdi. Oleh karena itu, saya berguru kepadanya”, demikian katanya.

Lepas dari berbagai versi itu yang jelas bahwa ajaran dari Kurdilah yang kemudian dijadikan sebagai standar untuk terbang kencer yang berada di Kelurahan Beji.

Peralatan
Sesuai dengan namanya, kesenian terbang kencer hanya memerlukan satu jenis alat musik yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai “terbang”. Alat ini bentuknya bundar menyerupai piring yang bagian alasnya terbuka. Permukaan bagian atasnya bergaris tengah sekitar 40 centimeter. Permukaan ini ditutup dengan kulit kambing. Jadi, bukan kulit kerbau atau kulit sapi karena kulit mereka lebih tebal ketimbang kulit kambing sehingga jika menggunakannya, suara yang dihasilkannya tidak lebih nyaring dari suara yang dihasilkan dari kulit kambing. Pemasangannya menggunakan perekat (lem), kemudian dipaku dengan paku jamur (paku yang salah satu ujungnya menyerupai bintang). Tampaknya tidak semua orang dapat memasangnya, tetapi ada ahlinya. Oleh karena itu, jika ada kerusakan dan memang harus diganti kulitnya, maka mesti dibawa ke ahlinya yang berada di luar daerah.

“Ada dua tempat pemasangan kulit terbang, satu di daerah Bantarbolang (Pemalang Selatan) dan satu lagi ada di desa Waru daerah Tegal. Namun demikian, teman-teman lebih suka ke Tegal karena hasilnya lebih baik”, demikian kata salah seorang pemainnya.

Bahan pembuatan terbang kencer yang hanya berupa kayu sawo, kulit kambing, paku jamur, dan rotan memang relatif mudah diperoleh. Namun demikian, di Kelurahan Beji tidak ada ahlinya, sehingga mau tidak mau harus memesan atau membeli di daerah Tegal. Demikian juga, jika permukaan terbang yang terbuat dari kulit kambing rusak, maka mau tidak mau juga ke tempat yang sama, sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Sedangkan, bagian bawah terbang bergaris tengah sekitar 35 centimeter. Jadi, semakin ke bawah semakin menyempit. Badan terbang terbuat dari jenis kayu tertentu, yaitu kayu sawo karena jenis kayu ini disamping keras, kuat, dan tidak mudah retak, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah dapat menimbulkan gaung (efek suara) yang bagus. Pada badan terbang yang semakin ke bawah semakin kecil itu ada tiga lubang yang berukuran tinggi 1 centimeter dan panjang 11 centimeter dengan posisi mendatar. Jarak antara lubang yang satu dan lainnya sama. Di setiap lubang ada dua buah logam yang berbentuk bundar dan pipih menyerupai compac disc (CD) atau digital video disc (DVD) yang terbuat dari nekel (besi putih). Alat ini disebut kecrek atau kencer. Jika terbang ditabuh maka alat ini akan menimbulkan suara gembrinjing (gemerincing). Bunyi inilah yang kemudian membuat terbang tersebut, sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, disebut sebagai “terbang grinjing” atau “terbang kencer”. Selain kecrek, terbang juga dilengkapi dengan rotan yang melingkar di dalamnya (di bawah kulit terbang) yang disebut sentek. Garis tengahnya kurang lebih sama dengan garis tengah terbang. Alat ini dimasukkan atau diselipkan pada celah antara kulit dan bagian permukaan bawah terbang. Fungsinya untuk mengencangkan kulit terbang, sehingga suaranya sesuai dengan yang diinginkan (lantang). Jika terbang tidak digunakan (disimpan), alat ini dicopot dan dibiarkan ada dalam terbang. Agar terbang tidak cepat rusak atau berdebu, maka sebelum disimpan dimasukkan dalam sebuah kantong yang terbuat dari kain.

Sebuah terbang kencer beratnya kurang lebih 2 kilogram. Ketika digunakan terbang tersebut diletakkan di atas tangan kiri dengan posisi tangan membentuk sudut 30--40. Jika dalam dalam ruangan, maka posisi duduknya seperti duduknya sinden (bersimpuh). Akan tetapi, jika dalam arak-arakan (dalam lapangan) posisinya berdiri karena harus berjalan menyusuri route yang telah ditetapkan. Beratnya terbang sebenarnya bukan menjadi masalah karena jika pemainnya kecapaian ada penggantinya. Namun demikian, karena satu dan lain hal ada juga pemaian yang sebenarnya sudah sangat capai tetapi oleh ketuanya belum diganti juga. Hal ini pernah dialami oleh salah seorang pemain.

“Ketika itu ada acara khataman di desa Taman dan kami diundang untuk mengaraknya. Oleh karena route-nya cukup jauh, kurang lebih 2 kilometer, ada diantara kami, termasuk saya, merasa lelah. Teman saya diganti, tetapi saya tidak. Meskipun demikian, saya diam saja. Sebenarnya saya jengkel (marah), tetapi kemarahan itu terobati karena begitu acara selesai Sang ketua menjelaskan bahwa jika saya diganti permainan tidak begitu menarik”, demikian katanya.
Di masa lalu perlatan terbang kencer hanya sejumlah terbang (4 buah). Kemudian, biar kelihatan lebih semarak ditambah dengan bedug, khususnya ketika arak-arakan. Bedug tersebut diboncengkan sepeda karena ukurannya lebih besar (kurang lebih garis tengahnya 60 centimeter), sehingga jika dibawa dengan tangan relatif berat. Jadi, ada orang yang menuntun sepeda dan ada orang yang berperan sebagai penabuh. Dewasa ini bedug tersebut telah diganti bedug drumband. Alasannya adalah disamping praktis membawanya (tidak perlu dengan sepeda), tetapi biar kelihatan lebih canggih (modern).

Sebagai catatan, di masa lalu terbang kencer dipentaskan bersamaan dengan terbang jawa. Akan tetapi, sekarang hanya cukup sendirian karena terbang jawa telah punah (tidak ada penerusnya). Sebenarnya ketuanya (Serye) berusaha keras mengkader generasi muda agar kelak dapat menggantikannya. Namun, usaha itu sia-sia. Anak-cucunya tak satu pun tidak ada yang berminat. Hal itu disebabkan adanya anggapan bahwa terbang jawa.adalah terbang-nya orang-orang tua. Selain itu, lebih rumit ketimbang terbang kencer sebagaimana yang dikemukakan Kambali ketika mempelajarinya.

“Waktu itu saya dikader oleh Side (Mbah) Serye. Caranya adalah dengan mengikuti pergelaran. Namun demikian, saya bersama seorang teman (Abdullah) tidak tahan; bukan karena pergelaran sampai semalam suntuk, tetapi caranya nabuh dirasa rumit (sulit). Selain itu, harus mempunyai suara yang melengking. Untuk itu, saya bersama teman saya berhenti”, demikian katanya.

Pemain
Pemain terbang kencer minimal berjumlah 4 orang. Jumlah ini ada kaitannya dengan peranan pemain dalam kesenian terbang kencer itu sendiri. Dalam konteks ini ada yang berperan sebagai: telon, banggen, kapat, dan pajek. Masing-masing mangkon terbang tersendiri. Oleh karena itu, dalam suatu pelatihan atau petunjukkan yang hanya dilakukan oleh 4 orang pemain disebut sepangkon. Demikian juga terbang-nya yang berjumlah 4 buah itu disebut terbang sepangkon. Disebut demikian karena pada saat terbang itu tidak dibunyikan (ditabuh dengan telapak tangan), ia ditaruh di atas pangkuan. Group kesenian terbang kencer Keluarahan Beji memiliki 8 buah terbang (rong pangkon). Jika dalam suatu pelatihan dan atau pergelaran ke-8 terbang tersebut digunakan, maka disebut rong pangkon. Meskipun pemainnya ada 8 orang bukan berarti bahwa ketukan yang dilakukan oleh setiap orang berbeda, tetapi sama seperti sepangkon. Jadi, setiap peran dilakukan oleh 2 orang (telon, banggen, kapat, dan pajeg dilakukan oleh 2 orang pemain). Selain pengetuk terbang, ada 3 orang lagi yang berperan sebagai penjawab (pelantun lagu) dan sekaligus ebagai pengganti jika ada salah seorang pengetuk terbang yang karena satu dan lain hal harus diganti (capai misalnya). Lagu-lagu yang dilantunkan bersumber pada kitab Barzanji yang berbahasa Arab. Dengan demikian, secara keseluruhan jumlah pemainnya ada 11 orang. Rangkaian dan ketukan antarpemain yang berbeda itu pada gilirannya membuat satuan bunyi yang khas. Bunyi ini tidak akan terwujud jika ada ketukan yang tidak pas (keliru). Untuk itu, setiap pemain harus betul-betul menguasainya.

Untuk dapat menguasai seluruh ketukan terbang kencer, baik itu telon, banggen, kapat, maupun pajek dibutuhkan keminatan, keseriusan, dan kegigihan. Yasin, ketua perkumpulan terbang kencer Beji, mengatakan bahwa suatu saat ada pemuda yang berminat mempelajarinya. Namanya Untung Urip Wibowo yang ketika tulisan ini dibuat yang bersangkutan sudah meninggal karena kecelakaan. Ia adalah seorang penggendang dan penabuh drum yang cukup terkenal di Pemalang. Ia beranggapan bahwa memainkan terbang kencer lebih gampang ketimbang menabuh gendang dan atau drumband. Alhasil, ia pun mempelajarinya. Dan, ternyata terbang kencer lebih rumit ketimbang menabuh gendang dan atau drum. Akhirnya, ia tidak melanjutkan alias menyerah.

Selain Untung Urip Wibowo ada juga pemuda lain yang ingin mempelajarinya, yaitu Mustari (sekarang berumur 53 tahun dan bekerja di Kelurahan Beji dengan kedudukan sebagai Kasi Pemerintahan). Ia pernah menekuni terbang kencer selama satu tahun, tetapi belum menguasasi seluruhnya. Ia sebenarnya orang yang sangat berminat kepada semua kesenian. Namun demikian, ia lebih memilih mempelajari terbang kencer karena sangat erat kaitannya dengan agama Islam. Hal ini tercermin dari jawaban atau lagu-lagu yang dilantunkan bersumber pada kitab barzanji dan dziba. Menurutnya kesenian seperti “Orkes Melayu” (ndangndut) dan group-groub band relatif lebih mudah untuk dipelajari ketimbang terbang kencer. Dalam terbang kencer antara ketukan terbang dan jawaban harus pas. Oleh karena itu, orang yang tidak tahu bacaan barzanji dan atau dziba semakin sulit untuk mempelajarinya.

Menjadi pemain terbang kencer selain harus berani kerja keras, keseriusan, dan tidak berputus asa, serta ada bakat seni, juga yang tidak kalah pentingnya adalah tidak mempunyai rasa malu, sebagaimana yang dikemukakan oleh salah seorang yang prihatin tentang keberadaan terbang kencer karena generasi muda enggan untuk mempelajarinya. Sampai-sampai ia menjelaskan bahwa untuk belajar terbang kencer tidak perlu mengeluarkan biaya. Namun demikian, tidak ada anak muda yang berminat. Pada umumnya mereka malu mempelajari terbang kencer karena dianggap kuno dan kampungan.

“Ini artinya zaman sudah terbalik. Di zaman sekarang jika anak muda mendengar tape recorder, maka mereka akan mendatangi dan gengsot (joget ndangndud) disana. Padahal, di zaman saya masih remaja, saya malu ber-gengsot tetapi tidak malu nabuh terbang. Malah, ada kebanggaan tersendiri. Akan tetapi, sekarang anak muda malu untuk nabuh terbang, tetapi tidak malu gengsot”.

Kostum
Kostum yang dikenakan oleh para pemain dari waktu ke waktu mengalami perubahan. Di masa lalu mereka berkemeja putih, bersarung palekat, berjas dan berkopiah (pecis). Kemudian, pernah juga mereka berkemeja, bersarung byur1 dan berkopiah (pecis). Sekarang mereka berbaju muslim (tanpa leher), bersarung byur dan tetap berkopiah. Alasannya adalah lebih leluasa dan praktis.

“Memakai jas memang kelihatan lebih rapih dan gaya. Akan tetapi, gerakan tangan tidak leluasa. Dengan berkemeja agak lebih leluasa, tetapi lebih leluasa memakai baju muslim karena baju ini cukup longgar. Makanya, kami memutuskan untuk memakai baju muslim; lebih parkatis”, kata salah seorang informan.

Dewasa ini Perkumpulan terbang Beji yang dipimpin oleh Yasin memiliki 6 stel seragam yang warnanya berbeda-beda. Dengan demikian, dalam setiap kesempatan (pementasan) bisa menampilkan seragan dengan warna yang berbeda dari pementasan sebelumnya.

Tempat dan Pementasan
Kesenian tradisional masyarakat Pemalang yang disebut sebagai terbang kencer tidak membutuhkan tempat atau ruangan yang luas serta panggung. Ia bisa dilakukan di lantai ruang tamu yang dialasi dengan tikar. Malahan, ketika arak-arakan dalam rangka khajatan seseorang atau kegiatan yang berkaitan dengan hari-hari besar keagamaan (Islam) atau hari-hari besar nasional 17 Agustusan, cukup memainkankannya dengan berjalan.

“Dahulu penganten jika tidak diarak seakan-akan belum sempurna, tetapi sekarang malah tidak mau diarak karena malu. Jadi, sekarang yang diarak adalah anak yang akan disunat. Selain itu, anak-anak yang katam Al Quran”, kata salah seorang pemainnya. “Dahulu setiap tahun sekali ada perlombaan terbang kencer. Jumlahnya puluhan karena hampir setiap desa mengikutinya. Yang dinilai antara lain: kerapian (kostum), ketepatan tutukan, dan kesesuaian nada suara. Perlombaan dilakukan di Mesjid Raya Pemalang”. Namun, sekarang perlombaan tidak pernah ada lagi”, demikian katanya lebih lanjut.

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa pemain terbang kencer terdiri atas pemain yang berperan sebagai: telon, banggen, kapat, dan pajek. Telon (bahasa Jawa) berarti “tiga”. Namun demikian, dalam permainan terbang kencer justeru pemeran telon menjadi sangat penting karena ketukannya menjadi pembuka dalam penerbangan. Ketukan tersebut disusul dengan ketukan pemegang banggen, lalu kapat dan diikuti dengan pajek. Pajek dalam suatu permainan terbang kencer dapat dikatakan hanya sebagai pelengkap. Dalam konteks ini ia hanya mengikuti akhir dari rangkain bunyi yang dihasilkan oleh pemegang telon, banggen, dan kapat. Jadi, jika akhiran itu berbunyi “tong”, maka ia akan “mengetong”. Demikian juga jika akhiran itu berbunyi “ding”, maka ia akan “mengeding”. Oleh karena itu, di kalangan penerbang ada semacam guyon (gurauan) bahwa pemajeg diibaratkan sebagai “anak bawang” karena tanpa pajeg permainan terbang kencer tetap berjalan. Hanya saja kumandang-nya (gema bunyi terbang) tidak sempurna. Selain itu, biasanya para penerbang berusaha untuk menguasai berbagai ketukan terbang, baik itu telon, banggen, maupun kapat, termasuk para pemain lainnya yang berperan sebagai penjawab (pelantun lagu-lagu pengiring). Sebab, jika ada yang kecapaian atau berhalangan hadir, maka menggantinya.

Lagu-lagu yang Dilantunkan
Lagu-lagu yang dilantunkan dalam pergelaran terbang kencer bersumber pada kitab Barzanji. Ada 7 pasal yang dilantunkan, yaitu: (1) Ashola tuala nabi, (2) Salatun, (3) Subhanama, (4) Sayidi, (5) Shola alaika, (6) Budad, dan (7) Sakratul ya nabi. Ke-7 pasal itu dilantunkan oleh 3 orang secara bersama-sama dan bersamaan dengan pengetukan terbang. Di kalangan mereka para pelantun itu disebut sebagai penjawab. Adakalanya pengetuk terbang juga ikut melantunkannya, terutama bagi yang sudah ahli (biasanya ketuanya). Selain ke-7 pasal tersebut ada pasal-pasal lain yang tidak dilantunkan, tetapi cukup hanya dibaca. Pada saat-saat seperti itu terbang tidak diketuk, sehingga yang terdengar hanya suara si pembaca. Pembacaan tidak dilakukan secara bersama-sama, tetapi salah seorang yang ditugasi oleh ketuanya (biasanya orang fasih pengucapannya dan suaranya bagus). (gufron)

Sumber:
Galba, Sindu. 2008. “Terbang Kencer: Kesenian Tradisional Masyarakat Pemalang”.

1 Sarung ini lebih lembut dibandingkan palekat. Motifnya juga berbeda; jika palekat bermotif kotak-kotak, maka sarung byur menyerupai bunga. Salah seorang informan mengatakan bahwa sarung ini disebut byur karena karena sifatnya yang “byur” (lemas dan lentur).
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive