Ngawadalkeun Nyawa

Pengarang : Moh. Ambri
Penerbit : Balai Pustaka Djakarta tahun terbit 1958 Cetakan ke II
Ringkasan Cerita

Jaman dahulu di Jepara ada seorang saudagar yang sangat kaya. Ia melakukan perdagangan bukan saja di Pulau Jawa, tapi juga di negeri-negeri lain. Tempat tinggalnya sebuah gedung besar dan indah. Ia sangat rendah hati dan dermawan, rajin bekerja dan suka mencari ilmu. Saudagar itu mempunyai beberapa orang anak yang sudah berumah tangga. Yang belum berumah tangga tinggal seorang, yaitu anak perempuan yang bungsu bernama Lembana. Saudagar ingin agar si remaja putri ini bersuamikan seorang keturunan bangsawan, yang tampan, berbudi dan berilmu.

Tersebutlah ada seorang ulama di Demak, sahabat saudagar itu, yang mempunyai seorang anak pungut. Ayah-nya sebenarnya seorang bupati yang negerinya dihancurkan musuh. Oleh ulama anak itu diberi nama Datawardaya. Datawardaya itulah yang oleh saudagar diambil sebagai menantu, menjadi suami Lembana. Lembana dan suaminya hidup sangat berbahagia, dan dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Sarimaya.

Saudagar meninggal, segala kekayaan dan pekerjaan diteruskan oleh Datawardaya. Ia menjadi seorang saudagar yang berhasil dan namanya sangat termashur kemana-mana. Ia sangat pula tekun mempelajari ilmu. Pada waktu saudagar Datawardaya sedang berlayar ke tanah Malaka, istrinya jatuh sakit. Dikirimlah seorang yang akan memberi tahu ke sana. Dalam perjalanan pulang ia menemukan berbagai rintangan, seperti kena badai, kesasar dan kena rampok. Akhirnya, walaupun dengan susah payah, ia dapat sampai ke Jepara dan bertemu dengan anak istrinya dalam suasana yang sangat memilukan. Istrinya meninggal dunia setelah meminta maaf, dan menitipkan anak kepadanya.

Setelah ditinggal oleh suaminya, Datawardaya ber-henti dari pekerjaannya sebagai saudagar, ia menjadi seorang ajengan dan membuka pesantren. Banyak sekali santri yang belajar kepadanya. Ajengan sangat kasih kepada para santri-nya itu.

Ajengan Datawardaya mengirimkan surat kepada sahabatnya seorang kiai di Demak tentang maksudnya mencari seorang yang lahir bathinnya untuk menjadi suami Nyi Sarimaya. Dijawab oleh sahabatnya agar nanti jika ajengan Datawardaya sudah menemukan yang dicarinya, ia harus percaya akan hal itu. Ajengan kemudian memikirkan gejala apakah yang ia amati untuk mencari manusia sempurna itu. Raut wajah, tutur kata, perilaku, sinar mata. Semua itu sukar diamati secara sesungguhnya. Ia kemudian memilih akan mengamati bunyi, atau suara tulen seseorang.

Mulailah ia mengamati suara santri-santrinya. Tapi tak seorang santri pun yang mempunyai suara yang dicarinya. Pada suatu hari ia mendengar suara yang dica-rinya. Ternyata suara itu suara seorang santri yang pandai, tetapi telah mendapat kutuk penghulu arung di Demak karena perbuatan dosa yang dilakukannya sehingga kehi-langan segala ilmunya. Atas petunjuk penghulu agung itu, ia mengembara mencari seorang ulama yang dahulu bekerja sebagai saudagar. Karena itu, ia menemui Ajengan Datawar-daya.

Walia, demikianlah nama pemuda yang kena kutuk itu, setelah ketemu dengan ajengan, merasa bahwa beban yang menindih dirinya hilang, diganti dengan kesedihan dan keprihatinan. Ia menceritakan riwayat hidupnya kepada ajengan. Menurut keterangannya. Walia itu anak seorang pedagang di Pasar Demak. Ia dipelihara dan dimanjakan oleh ibunya, sedang ayahnya sudah meninggal. Ia dimasukkan ke Pesantren, mengaji di sana dan ternyata ia seorang santri yang sangat pandai. Setelah belajar selama sebelas tahun kepada empat orang guru, jadilah ia seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, sayang ia berperilaku sombong, dan karena terlalu dimanjakan, ia tidak pula menghormati guru-nya. Akhirnya ia tinggal membaca di rumah saja. Sampai pada suatu hari ke Demak datang seorang kiai ahli hakekat. Kiai ini dijauhi oleh para ulama di sana sebab ia suka sekali berdebat dengan suatu cara yang sukar dilawan oleh para ulama itu. Kiai itu kemudian diminta oleh ibu Walia untuk mengajar anaknya. Segala yang telah dipelajari oleh Walia, lalu dimasalahkan lagi dengan paham guru baru itu. Walia oleh gurunya dinyatakan telah mewarisi segala ilmunya. Jadilah Walia seorang tukang berdebat tentang masalah agama dan qur'an serta hadis pun dijadikannya sebagai alat untuk memukul pendapat orang lain. Ia menimbulkan kege-lisahan di masyarakat.

Pada suatu hari ia membuat gara-gara di Mesjid, sehingga hampir terjadi perkelahian. Walia diberi nasihat oleh penghulu agung, tetapi ia selalu membangkang. Setelah peristiwa itu, ia pulang ke rumahnya dan mendapat kabar bahwa gurunya, ahli hakekat itu telah meninggal. Walia lalu menziarahi kuburan gurunya itu. Alangkah kagetnya ia, kuburan yang baru satu hari itu telah penuh semak belukar dan dihuni binatang-binatang penyengat.

Walia sadar akan segala kesalahannya, ia bermaksud untuk melakukan tobat, ia pergi menemui penghulu agung Demak. Dalam perjalanannya itu ia lewat ke rumah orang yang sedang mengadakan kenduri perkawinan. Calon pe-ngantin laki-laki seperti lajim pada jaman itu, sedang membahas suatu masalah agama. Calon pengantin laki-laki itu adalah seorang yang mengaku diri santri Nabi Khidir A.S, dan sedang mengadakan perjalanan dari Ampel ke Cirebon. Pada waktu mampir ke Demak, ia akan diambil menjadi menantu oleh seorang kaya di sana. Walia men-dengarkan pembahasan calon pengantin laki-laki itu. Hatinya menjadi panas pada waktu para hadirin memuji-muji ilmu orang itu dan membandingkan dengan ilmu Walia yang tidak dinggap tidak menentu ujung pangkalnya. Walia berdiri lalu membahas pembicaraan calon pengantin itu, sehingga apa yang tadinya dianggap benar menjadi salah, dan apa yang salah menjadi benar. Pembahasannya itu menjadi berpenga-ruh terhadap yang punya kenduri, ia merasa marah dan merasa tertipu oleh menantunya itu dan membatalkan perka-winan anaknya. Penghulu agung Demak yang hadir pada perhelatan itu menjatuhkan kutuk kepada Walia yang telah menghina orang yang mulia, dan membuat onar di hadapan orang banyak. Walia harus berganti pakaian dengan pakaian compang-camping, dan harus membawa tongkatnya kemana ia pergi. Ia disuruh dinikahkan kepada kakak perempuan Walia.

Ajengan Datawardaya bersedia menerima Walia menjadi santrinya. Walia mulai mendengarkan ajengan me-ngajar santri-santrinya. Ia mengaji bukan karena ingin menjadi seorang yang pandai, tapi semata-mata karena ingin mengetahui ilmu dan menghilangkan dosa. Setiap hari ia berpuasa. Pada waktu luang ia tinggal di bawah perdu bunga. Di sanalah ia memikirkan apa yang telah didengarnya itu. Waktu ditanya tentang kemajuannya belajar oleh ajengan, Walia menggambarkan perjalanannya mencari ilmu. Ia seperti seorang yang kehausan, kemudian menemu-kan sungai yang airnya bersih dan segar, yang hulunya di surga, ia minum air sungai itu dengan nikmat.

Tapi kemudian ia tergoda oleh orang yang mengata-kan ada lagi yang lebih ajaib, yaitu mata air yang langsung keluar dari surga. Setelah meneguk air itu, ia merasa bahwa air itu racun belaka. Lalu ia mencari kembali sungai yang tadi, tetapi alangkah jauh letaknya, ia makin berhasrat untuk sampai ke sungai itu. Walia melukiskan pula keadaan dirinya yang diumpamakan sebagai sebuah sangkar burung yang berisi bermacam-macam burung, dan di antara burung itu ada yang bersuara dengan kepongahan tentang keunggul-an ilmunya, serta menyatakan akan menggunakan ilmu itu untuk mencapai apa yang diinginkan oleh hawa nafsunya. Kemudian karena tiupan seorang alim burung-burung itu mati semua. Setelah Walia mendengarkan pengajian dari ajengan, satu demi satu burung-burung itu hidup kembali, sekarang burung-burung itu bertasbih kepada Tuhan.

Pada suatu pagi, ketika sedang berjalan di taman, ajengan mendengar pembicaraan ular yang akan membunuh Walia. Ajengan bimbang, apakah Walia itu harus dikawin-kan kepada anaknya atau jangan. Ajengan merasa tidak sampai hati untuk mengurbankan anaknya menjadi istri dari seorang yang keadaannya seperti itu. Lalu ajengan bertanya kepada anaknya apakah sudah mempunyai gambaran tentang bakal suaminya. Sarimaya tidak menjawab langsung, me-lainkan memberitahukan melalui pelayannya bahwa ia mencintai Walia. Akhirnya Sarimaya berterus terang juga kepada ayahnya. Ajengan mengemukakan bahwa Walia adalah seorang yang berdosa, dan diramalkan akan mati pada hari ke delapan setelah perkawinannya. Tetapi ia akan menurunkan anaknya yang kemudian menjadi seorang alim besar. Sarimaya tidak merasa gentar mendengar keterangan ayahnya itu karena menurut pendapatnya hal-hal itu dapat diatasi dengan ihtiar.

Adapun diri Walia sekarang sampai kepada keadaan ia sering merasa gembira atau bersedih tanpa suatu sebab. Kadang-kadang ia merasa dirinya kosong tidak punya kemauan dan juga tidak mempunyai keengganan. Seandai-nya ia dimasukkan ke dalam surga. Ia bersedia tetapi pun dimasukkan ke dalam neraka, ia bersedia juga. Menurut ajengan, hati Walia mencapai keikhlasan tetapi belum sam-pai pada taraf yakin.

Akhirnya ajengan membulatkan hatinya untuk me-ngawinkan Walia pada Sarimaya. Pada hari pernikahan itu biasanya pengantin laki-laki membahas masalah agama dan menjawab pertanyaan yang dikemukakan oleh hadirin. Lain halnya dengan Walia. Ia tidak melakukan hal itu, ia hanya berdiam diri saja sambil tidak lupa memegang tongkatnya. Tentu saja dalam hatinya banyak orang yang tidak setuju Walia dijadikan suami Sarimaya itu.

Tersebut pada hari ke delapan setelah pernikahan, Walia masih tidur nyenyak. Biasanya jauh sebelum subuh ia sudah bangun. Ajengan beserta yang lain-lain yang diberi tahu bahwa akan tejadi sesuatu yang aneh, duduk menunggu dengan wajah yang sedih. Nyi Sarinaya tanpa diketahui oleh siapa pun berganti pakaian menyamar sebagai Walia. Ia ber-maksud akan mengorbankan dirinya bagi kepentingan suaminya, bagai domba yang dikurbankan untuk pengganti Nabi Ismail. lalu ia masuk ke dalam perdu bunga tempat Walia biasa duduk bertafakur. Tiba-tiba datang seekor ular, lalu mematuk ibu jari kakinya. Pada saat itu juga Nyi Sarimaya meninggal dunia.

Para malaikat menjemput malakul maut yang telah mencabut nyawa Nyi Sarimaya. Mereka menyatakan bahwa malakul maut itu telah melakukan kekeliruan, dan karena itu nyawa Sarimaya harus dikembalikan ke dunia. Tetapi Sari-maya menolak hal itu, seandainya suaminya harus mati pada saat itu. Malaikat menyatakan bahwa suaminya tidak bakal meninggal sekarang, sebab masih harus menunggu perintah lagi dari Tuhan. Sarimaya hidup kembali dalam keadaan sehat wal'fiat. Ia segera memberitahukan kepada mereka yang berada di rumah bahwa sekarang semuanya selamat, aneh tongkat pun bertunas.

Ajengan dan semua yang hadir di sana gembira. Setelah itu jadilah Walia seorang manusia utama. Seperti telah diramalkan, kemudian ia dikaruniai seorang anak laki-laki.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive