Upacara Perkawinan pada Masyarakat Lingga, Singkep dan Senayang (Kepri)

Pendahuluan
Lingga, Singkep dan Senayang adalah beberapa daerah yang termasuk dalam wilayah Provinsi Kepuluan Riau. Di masa lalu ketiga daerah ini merupakan kecamatan yang tergabung dalam Kabupaten Kepulauan Riau. Dewasa ini dua dari ketiga daerah yang semuanya merupakan pulau itu telah dimekarkan menjadi kabupaten, yaitu Kabupaten Singkep yang beribukota di Dabo dan Kabupaten Lingga yang beribukota di Daik. Sementara itu, Senayang menjadi salah satu kecamatan yang tergabung dalam Kabupaten Lingga. Masyarakatnya adalah pendukung kebudayaan Melayu.

Melayu dan Islam adalah dua hal yang berbeda. Namun demikian, Islam bagi orang Melayu bagaikan darah dagingnya, sehingga mereka sering diidentikan atau mengindentikan diri sebagai Islam (Melayu identik dengan Islam). Hal itu tercermin dari ungkapan yang berkaitan dengan orang Melayu, yaitu: “Orang Melayu adalah orang yang beragama Islam, beradat-istidat Melayu, dan berbahasa Melayu”.

Kaitan yang erat, bahkan tidak dapat dipisahkan antara Melayu dan Islam, pada gilirannya membuat budaya atau adat-istiadat yang ditumbuh-kembangkan banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Islam (bernafaskan Islam). Salah satu diantaranya adalah dalam adat istiadat yang berkenaan dengan upacara perkawinan mereka. Hal itu antara lain tercermin dalam doa, waktu pelaksanaan (tidak bertepatan dengan waktu shalat wajib), dan seperangkat pakaian pengantin yang menyimbolkan pakaian muslim, seperti: jubah, songkok, setelan baju kurung, dan pakaian pengantin perempuan yang menutupi aurat.

Perkawinan adalah sebuah pranata sosial yang sangat erat kaitannya dengan rumah tangga. Melalui sebuah perkawinan yang sah menurut agama dan atau adat yang berlaku dalam suatu masyarakat akan terwujud sebuah keluarga yang sah pula. Oleh karena itu, perkawinan merupakan upacara yang sangat penting artinya diantara upacara-upacara di lingkaran hidup individu lainnya, termasuk bagi masyarakat Lingga, Singkep, dan Senayang yang berada di Provinsi Kepulauan Riau.

Perkawinan, selain merupakan sebuah pranata sosial, juga merupakan proses. Sebagai suatu proses, perkawinan mesti dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan (berurutan), mulai dari merisik sampai makan bersama di depan pelaminan. Sedangkan, tujuan upacara perkawinan pada dasarnya adalah pemberitahuan kepada masyarakat luas bahwa sepasang remaja (muda-mudi) telah membentuk sebuah keluarga baru (rumah-tangga).

Tata Laksana dan Makna Simbolik yang Terkandung di Dalamnya
Ada beberapa tahap yang mesti dilakukan secara berurutan dalam suatu perkawinan di kalangan orang Lingga, Singkep dan Senayang. Tahap-tahap itu adalah: merisik, meminang, mengantar tanda, berandam, menikah dan bertepuk tepung tawar, berinai; berarak dan bersanding, mandi pelanggi dan mandi bersiram-siram, berunut dan makan di pelaminan. Berikut ini adalah uraian tentang tahap-tahap tersebut.

1. Merisik
Merisik1) berasal dari kata “risik” yang berarti “menyelidiki”. Ini artinya, sebelum adanya suatu perkawinan, penyelidikan terhadap seorang gadis perlu dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki untuk menilai dan sekaligus menentukan apakah gadis tersebut layak menjadi menantu atau tidak. Kegiatan ini pada umumnya dilakukan oleh perempuan yang berumur separuh baya atau yang telah berumur sekitar empat puluh tahun ke atas. Orang tersebut oleh masyarakat setempat disebut sebagai tukang perisik2). Tugasnya adalah mencermati secara diam-diam wajah atau rupa dan segala tingkah laku Si gadis. Untuk itu, tukang perisik mesti datang bertamu ke rumahnya.

Merisik biasanya dilakukan pada siang hari (pukul 08.00—10.00 WIB) atau pada sore hari (pukul 15.00—17.00 WIB) karena pada waktu-waktu tersebut biasanya Si gadis yang akan dirisik sedang mengerjakan pekerjaan rumah (dapur) seperti: mencuci piring, memasak, membersihkan ruangan dapur dan ruangan dalam rumah atau menyapu halaman rumah pada sore hari. Sedangkan, tempat-tempat yang biasanya digunakan untuk merisik adalah ruang: makan, tengah rumah, beranda rumah dan dapur. Di tempat-tempat itulah tukang perisik bertegur-sapa (beramah-tamah) dengan tuan rumah sembari memperhatikan tingkah laku anak gadisnya. Kegiatan merisik ini dilakukan tidak hanya sekali tetapi berulangkali sampai pengetahuan tentang gerak-gerik atau tingkah laku Si gadis dinilai sudah cukup. Oleh karena itu, kadang-kadang bisa memerlukan waktu seminggu. Hasil penyelidikan itu kemudian dilaporkan kepada pihak keluarga laki-laki. Jika dari laporan itu ternyata layak, maka pihak keluarga laki-laki akan menyetujuinya. Artinya, Si gadis pada saatnya akan menjadi menantunya. Sebaliknya, jika tidak layak, maka niat untuk menjadikannya sebagai menantu diurungkan.

2. Meminang
Jika hasil merisik menunjukkan bahwa gadis yang diselidiki bertingkah laku baik, sehingga pantas untuk dijadikan sebagai seorang menantu, maka pihak keluarga laki-laki memberitahukan dan membicarakannya dengan kerabat terdekat untuk menentukan waktu peminangan. Setelah ada kesepaktan tentang waktu atau hari peminangan, maka pihak keluarga laki-laki mengutus salah seorang yang dituakan (bisa laki-laki dan bisa juga perempuan) untuk memberitahu kepada pihak keluarga perempuan bahwa 3 atau 5 hari lagi ada rombongan yang akan datang untuk melakukan peminangan.

Ketika hari yang ditentukan tiba, maka pihak keluarga laki-laki mengirim rombongan peminangan yang biasanya berjumlah 5 orang, yaitu 1 orang ketua (laki-laki) dan 4 orang anggota (2 orang laki-laki dan 2 orang perempuan). Orang yang dipilih untuk menjadi ketua rombongan peminangan adalah orang yang bijak dan santun dalam berbicara dan bisa berpantun atau berseloka. Jika dalam kerabatnya orang seperti itu tidak ada, maka bisa minta tolong kepada orang lain (di luar kerabatnya) yang biasa melakukannya. Sedangkan, anggotanya yang berjumlah 4 orang itu biasanya terdiri atas 2 orang kerabat dan 2 orang tetangga.

Ketika rombongan peminangan sampai ke rumah keluarga perempuan (biasanya setelah shalat Isya), mereka disambut baik oleh tuan rumah. Setelah basa-basi sebentar, pemimpin rombongan pun mengutarakan maksud kedatangannya kepada orang yang mewakili tuan rumah (keluarga perempuan) melalui kiasan atau bidal yang intinya adalah meminang anak gadisnya. Pihak keluarga perempuan, melalui wakilnya, juga tidak secara langsung menjawabnya dengan kata-kata biasa, tetapi melalui kiasan atau bidal yang intinya adalah memperbolehkan (menerimanya) atau sebaliknya (menolaknya). Jika karena satu dan lain hal pihak keluarga perempuan tidak berkenan, maka hal itu disampaikan dengan kiasan atau bidal yang bijak, sehingga tidak merendahkan martabat pihak keluarga laki-laki.

3. Mengantar Tande
Jika peminangan disambut baik oleh pihak keluarga perempuan (disetujui), maka tahap berikutnya adalah mengantar tande. Kegiatan ini dilakukan hari ke 4 atau ke 5 dari peminangan. Sebagai persiapan, 2 atau 3 hari sebelumnya, keluarga pihak laki-laki akan mengundang kerabat, tetangga dan handai taulan terdekat untuk diikutsertakan dalam acara tersebut. Acara mengantar tande ini biasanya dipimpin oleh orang yang dalam peminangan menjadi ketua rombongan. Orang tersebut dipilih karena dinilai mempunyai persyaratan yang pas, yaitu pintar berpantun, mempunyai selera humor yang tinggi, luas pergaulannya, dan tahu persis tentang adat perkawinan. Dalam hal ini orang tersebut sekaligus sebagai wakil pihak keluarga laki-laki.

Adapun perlengkapan yang perlu dipersiapkan dalam kegiatan ini adalah: (1) tepak sirih, (2) bunga rampai, (3) cincin, dan (4) barang pengiring. Tepak sirih berisi: sebuah pinang yang telah dikupas kulitnya, kapur-sirih dan gambir, tembakau, daun sirih, dan kacip. Buah pinang merupakan simbol keikhlasan, ketulusan, dan kelurusan hati (bagaikan tempulur buah pinang). Kapur-sirih yang berwarna merupakan simbol kesucian hati. Kapur ini jika dicampur dengan gambir akan berubah warnanya menjadi merah. Dan, warna ini merupakan simbol bahwa maksud yang diinginkan terkabul. Kapur-sirih yang telah dicampur dengan gambir ini diletakkan pada suatu tempat yang disebut cembol (semacam mangkok kecil yang diberi tutup). Tembakau, sesuai dengan sifatnya yang lembut, merupakan simbol kelembutan hati. Daun sirih3) yang banyak kegunaannya (tidak hanya sebagai salah satu bahan untuk menginang, tetapi juga dapat digunakan untuk membersihkan mata) merupakan simbol kebesaran, persaudaraan, dan persatuan. Kacip adalah sebuah alat pembelah, pengupas dan peracik buah pinang yang terbuat dari besi. Alat ini terdiri atas dua bagian; bagian atas sebagai mata pisau dan bagian bawah sebagai alas untuk meletakkan buah pinang yang akan dibelah atau diracik. Jadi, setiap bagiannya mempunyai fungsi tersendiri. Oleh sebab itu, kacip merupakan simbol seiya sekata (kemufakatan).

Bunga rampai terdiri atas: daun pandan; bunga melati, kemuning, dan kenanga. Agar aromanya semakin semerbak-harum, maka diberi sedikit minyak wangi. Bunga ini diletakkan pada suatu wadah yang disebut ceper atau sanggan yang beralaskan kain-renda dan bertutup kain-renda pula atau kain-tekat. Sesuai dengan kelembutan dan kewangiannya, maka bunga rampai merupakan simbol kebesaran, kelembutan, kebaikan, dan ketenangan.

Cincin yang dipersiapkan dalam antaran tande adalah yang terbuat dari emas murni. Bagi yang mampu biasanya bermatakan berlian. Cincin ini diletakkan dalam sebuah tempat yang khas yang disebut sebagai cembol. Tempat tersebut dialasi dengan kain-renda atau tekat dan diletakkan pada sebuah ceper atau sanggan yang terbuat dari tembaga. Dalam proses perkawinan cincin merupakan suatu barang sangat bermakna karena ia merupakan simbol pengikatan. Artinya, jika seorang gadis telah menggunakan cincin antaran dari seorang pemuda, maka menunjukkan bahwa gadis tersebut telah “ada yang punya” (telah diikat oleh seseorang).

Barang-barang lain (barang pengiring) yang diserahkan dalam acara mengantar tande antara lain berupa: hiasan buruk merak, hiasan bentuk mesjid, buah-buahan, dan lain sebagainya. Jika yang akan dipinang mempunyai kakak perempuan yang belum menikah, maka satu stel pakaian perempuan disertaikan dalam barang pengiring. Maksudnya, adalah sebagai penebus melangkah batang. Dengan demikian, baik yang melangkah maupun yang dilangkahi, dalam perjalanannya terhindarkan dari segala sesuatu yang tidak diinginkan.

Sebelum rombongan mengantar tande menuju rumah pihak perempuan, ada pembacaan doa dan sekaligus tolak bala agar segala sesuatu dapat berjalan dengan lancar. Setelah segala sesuatu yang diperlukan dalam mengantar tande ini lengkap, maka berangkatlah mereka ke rumah pihak perempuan. Dan, begitu sampai di rumah keluarga perempuan Sang Ketua Rombongan memberi salam dan mengucapkan terima kasih atas penerimaannya dengan pantun. Sebagai balasan, wakil pihak keluarga perempuan juga mengutarakannya dengan pantun. Jadi, mereka berpantun.

Selanjutnya, jika pengantaran tande diterima oleh pihak keluarga perempuan, maka ketua rombongan menyerahkan hantaran tande (satu persatu) kepada wakil pihak keluarga perempuan. Penyerahan itu diawali dengan tepak sirih. Sebelum wakil pihak keluarga perempuan menerimanya, ia akan mencicipi daun sirih, pinang, dan gambirnya secara sedikit-sedikit. Kemudian, ketika mau menerima bunga rampai, sebelumnya bunga tersebut dicium dan selanjutnya diedarkan kepada yang hadir, terutama tamu undangan pihak tuan rumah. Sementara, cincin emas, sebelum diterima tidak hanya diperiksa oleh wakil pihak keluarga perempuan tetapi juga dua orang tamu yang dituakan. Setelah pemeriksaan itu selesai, maka pihak keluarga laki-laki yang diwakili oleh ketua rombongan, meminta agar cincin tersebut dikenakan kepada calon pengantin perempuan. Untuk itu, wakil tuan rumah meminta kepada calon pengantin perempuan agar segera keluar dari kamarnya untuk acara pemakaian cincin. Cincin pun segera diselipkan ke jari manis tangan kirinya oleh salah seorang anggota rombongan pihak keluarga laki-laki (biasanya yang menyelipkan adalah perempuan setengah baya atau yang tertua). Setelah itu, calon pengantin perempuan, tidak hanya diminta untuk menyalaminya orang yang memasukkan cincin ke jarinya, tetapi ke semua perempuan yang hadir. Selanjutnya, calon pengantin perempuan diminta kembali ke kamarnya. Sementara, barang-barang antaran lainnya, seperti tepak sirih dan bunga rampai di masukkan ke ruangan atau kamar lain.

Sebagai catatan, pihak keluarga laki-laki tidak pulang dengan tangan hampa karena dalam kesempatan itu pihak keluarga perempuan juga menyediakan barang-barang serupa sebagai balasan. Pengantaran tande bukan hanya sekedar tukar-menukar barang akan tetapi merupakan suatu ikatan (janji) antara pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan. Untuk itu, dalam acara ini ada perjanjian-perjanjian yang berkenaan dengan ikatan (tunangan) tersebut. Perjanjian itu diantaranya adalah jika pihak perempuan mangkir atau membatalkan pertungangan, maka harus mengganti antaran pihak keluarga laki-laki sejumlah dua kali lipat. Namun, jika pihak keluarga laki-laki yang mengingkarinya, maka hanya cukup mengganti barang yang sama (bukan dua kali lipat). Selain itu, dalam kesempatan ini juga dibicarakan tentang penentuan hari perkawinan.

4. Berandam
Berandam adalah memotong atau mencukur rambut, baik calon pengantin laki-laki maun perempuan. Untuk calon pengantin laki-laki biasanya yang dicukur adalah rambut yang tumbuh di kepalanya saja. Sedangkan, untuk calon pengantin perempuan meliputi rambut yang tumbuh tipis di tengkuk, pelipis dan dahi. Pencukuran ini, khususnya untuk calon pengantin perempuan, biasanya dilakukan sehari sebelum akad nikah. Untuk keperluan ini peralatan yang digunakan adalah (1) gunting rambut beserta pisau lipat (pisau cukur); (2) sebutir buah kelapa yang dikupas kulitnya dan dibentuk menyerupai gunung, kemudian dililiti dengan benang lima warna (merah tua, biru tua, hijau tua, kuning dan putih) yang masing-masing panjangnya sekitar satu depa.; (3) kain putih yang panjangnya dua hasta atau satu meter; dan (4) dua batang lilin.

Sebelum berandam dilakukan, calon pengantin perempuan dimandikan oleh Mak Andam4) dengan air basa dan disudahi dengan mandi langir (air yang dicampur dengan sejenis akar yang mengeluarkan lendir dan dicampur dengan perasan jeruk nipis). Selanjutnya, adalah pemotongan rambut itu sendiri. Untuk itu, kedu bahu calon pengantin diselimuti dengan kain putih yang panjangnya sekitar dua hasta (seperti tukang cukur/pangkas hendak memangkas rambut langganannya). Sementara itu, Mak Andam mengambil gunting rambut lalu membaca mantra dan mencukurnya. Sisa-sisa rambut yang jatuh dikumpulkan kemudian dibungkus dengan kain putih lalu ditanam.

Sebagai catatan, setiap Mak Andam mempunyai mantera yang berbeda. Berikut ini adalah salah satu contoh mantera.

“Limau manis limau setawar
Bedak langir pembuang sial
Aku mencukur kaki rambut si dare
Bertambah cantik seri naik ke muke
Kur semangat cantik molek nak dipakai
Cantik molek dipandang mate
Berkat aku memakai seri muke, kasihlah orang melihatnye”

Selesai mencukur, Mak Andam mengelilingi calon pengantin perempuan sebanyak 3 kali dengan membawa buah kelapa yang dibentuk seperti puncak gunung dan dililit dengan benang lima warna. Maksudnya agar calon pengantin tersebut mempunyai keturunan yang gagah atau cantik (seperti sebuah gunung apabila dilihat dari jauh). Sedangkan, benang lima warna yang melilit itu diibaratkan sebagai sungai yang airnya selalu mengalir. Artinya, rezeki calon pengantin diharapkan mengalir terus bagaikan air sungai. Selanjutnya, dengan dua batang lilin yang menyala, Mak Andam mengelilingi calon pengantin perempuan, juga sebanyak 3 kali. Makna simbolik yang ada di balik lilin yang menyala itu adalah penerangan hidup. Ini artinya, agar calon pengantin kelak selalu berada di jalan yang terang (selalu berbuat baik), sehingga kehidupan rumah tangganya selalu rukun, damai dan sentosa.

Sementara, berandam untuk calon pengantin laki-laki tidaklah serumit seperti yang dilakukan calon pengantin perempuan. Jika calon pengantin perempuan dicukur dulu baru dimandikan, maka calon pengantin laki-laki dicukur dulu baru dimandikan di sumur atau sungai yang dekat dengan tempat tinggalnya. Agar kelihatan lebih rapi dan gagah, biasanya rambut calon pengantin laki-laki dipangkas pendek. Adakala Sang pencukur dalam kesempatan ini memberi nasehat kepada calon pengantin laki-laki tentang bagaimana menjalani kehidupan berumah tangga yang baik, sehingga langgeng (tidak terjadi perceraian).

5. Akad Nikah
Akad nikah adalah salah satu rangkaian dari proses perkawinan yang paling utama; sebab dengan dilaksanakannya akad nikah sepasang muda-mudi telah resmi menjadi suami-isteri. Tempatnya biasanya di depan pelaminan.. Di situlah sepasang calon pengantin duduk berhadapan dengan seorang Kahdi5) dan dua orang saksi di atas bunta6). Tidak jauh dari tempat itu biasanya ada dua batang lilin yang diletakkan pada sebuah wadah yang terbuat dari tembaga.

Sebelum akad nikah berlangsung, Kahdi meminta calon pengantin laki-laki untuk mengucapkan kalimat istighfar 3 kali, syahadat 3 kali, dan salawat kepada Nabi Muhammad Saw. Selain itu, Kahdi mengajarkan lafadz ijab kabul agar dalam akad nikah yang sebentar lagi akan dilakukan dapat berjalan dengan lancar. Adapun lafadz yang diajarkan adalah sebagai berikut: “Saya terima nikahnya bla…bla…bla binti bla…bla…bla dengan mas kawin sebentuk cincin emas tunai”. (jika mas kawinnya berupa cincin emas).

Akad nikahnya itu sendiri dipimpin oleh Kahdi yang disaksikan oleh dua orang saksi yang berperan tidak hanya semata-mata sebagai saksi suatu pernikahan, tetapi juga sekaligus sebagai pengesah suatu pernikahan. Dengan perkataan lain, jika pengucapan ijab kabul yang dilakukan oleh pengantin laki-laki itu benar, maka kedua orang saksi itulah yang mengesahkannya (maksudnya pengucapannya tidak perlu diulang).

6. Bertepuk Tepung Tawar
Acara selanjutnya, setelah akad nikah, adalah bertepuk tepung tawar. Untuk melaksanakan acara ini diperlukan perlengkapan, seperti: daun gandarusa, rumput sambau, daun puding emas, akar ribu-ribu, dan bahan-bahan yang pada gilirannya akan dijadikan sebagai penyapu atau pencecah, seperti: beras kunyit, beras basuh, bertih, air bedak berlimau, inai cecah dan inai untuk tari7). Pada dasarnya tujuan pelaksanaan bertepuk tepung tawar ini adalah untuk menghilangkan sial- majal atau perasaan duka bagi yang ditepuk- tepung-tawari, sehinga hidupnya akan selamat dan sejahtera.

Perlengkapan, sebagaimana yang telah disebutkan di atas, tidak hanya sekedar sebagai perlengkapan. Akan tetapi, ada makna simbolik yang terkandung di dalamnya. Daun gandarusa misalnya, ia menggambarkan sepasang rusa yang selalu setia. Untuk itu, daun tersebut merupakan simbol kesetiaan. Artinya, pesan yang terkandung dalam simbol itu adalah jadilah pasangan (suami-isteri) yang setia. Kemudian, rumput sambau adalah sejenis tumbuhan yang dapat tumbuh di mana saja. Ini bermakna bahwa rumput sambau merupakan simbol kesuburan. Dengan demikian, pesan yang terkandung di dalamnya adalah sepasang remaja yang telah menjadi suami-isteri itu pada gilirannya akan membuahkan keturunan. Sementara, daun puding emas mengkiaskan sesuatu yang berharga (kenikmatan). Untuk itu, daun ini merupakan simbol kenikmatan. Dan, ribu-ribu adalah suatu tumbuhan yang berakar serabut. Akar tersebut satu dengan lainnya saling membantu (bersatu padu) dalam menopang kehidupannya secara keseluruhan. Makna simbolik yang ada di balik akar ribu-ribu adalah keterpaduan. Artinya, sepasang mempelai harus bahu-membahu (bersatu padu) dalam menjalani kehidupan.

Beras kunyit adalah beras yang direndam dengan air kunyit, sehingga warnanya menjadi kuning. Kuning adalah warna adalah kebanggaan (kebesaran) orang Melayu. Beras kunyit, dengan demikian, merupakan simbol kebesaran. Beras basuh adalah beras yang dicuci sampai bersih sehingga menjadi putih mengkilap. Beras ini merupakan simbol kebersihan hati (kesucian). Bertih.adalah padi yang digongseng sampai isinya mekar (mengembang). Oleh karena itu, bertih merupakan simbol pertumbuhan. Bedak berlimau terbuat dari beras yang ditumbuk halus lalu dicampur dengan air perasan limau nipis atau limau kasturi, sehingga menyerupai bubur. Bedak ini merupakan simbol pembauran. Inai cecah adalah daun inai yang ditumbuk kemudian dicampuri dengan arang merah, sehingga warnanya menjadi merah tua. Inai ini merupakan simbol kemegahan.

Pelaksanaan bertepung tawar diawali dengan penaikkan pengantin perempuan ke pelaminan (peterakne) yang diikuti oleh pengantin laki-laki. Setelah keduanya duduk di pelaminan, seorang kakek atau nenek atau orang yang dituakan dari pihak pengantin perempuan diminta untuk memulainya. Selanjutnya, penepung-tawaran ini dilakukan secara bergantian (berselang- seling). Artinya, jika dari pihak pengantin perempuan sudah melaksanakan, maka selanjutnya adalah giliran pihak keluarga laki-laki. Demikian, seterusnya. Penepukan-tawaran ini tidak boleh dilakukan secara sembarangan, tetapi harus beraturan. Dalam hal ini penepuk yang telah dicelupkan pada air bedak berlimau diteteskan pada dahi kedua pengantin, kemudian bahu kanan dan kirinya, lalu telapak kanan dan kirinya (masing-masing sejumlah 3 kali). Makna simbolik yang terkandung dalam kegiatan ini adalah kesejukan, keselarasan, dan kesejahteraan.

Penepungan-tawaran ini kemudian diikuti dengan penaburan beras kunyit, beras basuh, dan bertih yang telah dicampur menjadi satu ke atas kepala dan bahu kanan-kiri kedua pengantin sebanyak 3 kali. Penaburan ini merupakan simbol kesejahteraan. Diharapkan dengan penaburan tersebut sepasang pengantin diberkati kesenangan, kebaikan, keselamatan, dan terhindar dari sial-majal yang berkepanjangan. Selanjutnya, kedua telapak kedua mempelai dicecah dengan inai yang merupakan simbol kesedekahan. Artinya, rezeki yang diperoleh, sebagian disisihkan untuk sedekah.

Sebagai catatan, acara bertepuk tawar ini biasanya diiringi dengan tarian inai oleh tiga penari laki-laki. Tujuannya adalah agar suasana menjadi semakin meriah dan para tamu terhibur. Kemudian, acara ini ditutup dengan pembacaan doa selamat dan tolak bala. Setelah itu, para tamu dipersilahkan untuk menikmati hidangan yang biasanya berupa juadah.

7. Berinai
Berinai berarti mengolesi kuku jari tangan dan kaki dengan inai. Acara ini dilakukan pada hari berikutnya (setelah acara bertepuk tepung tawar). Dalam hal ini kuku jari tangan dan kaki kedua mempelai diinai. Makna simbolik yang terkandung dalam penginaian ini adalah hidup baru. Artinya, dengan berinai, sepasang muda-mudi telah melangkahkan kakinya (memasuki) kehidupan berumah tangga.

Pelaksanaan inai untuk pengantin laki-laki diawali dengan berbaringnya pengantin di atas tikar yang terbuat dari pandan. Kemudian, kedua telapak tangan dan kaki beserta ujung kuku jari-jarinya diolesi dengan inai8). Sementara, pelaksanaan berinai untuk pengantin perempuan tidaklah seringkas pengantin laki-laki. Banyak hal yang harus disediakan dalam menginai pengantin perempuan. Jadi, tidak hanya inai semata, tetapi ada kelengkapan lain seperti lilin dan selembar kain panjang.

Pelaksanaan inai untuk pengantin perempuan diawali dengan dibaringkannya Sang pengantin di atas kasur yang beralaskan tikar yang terbuat dari pandan. Itu masih ditutupi dengan tabir yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai tabir kelek anak. Tabir ini berfungsi sebagai sebagai pembatas pelaminan dengan ruang tamu atau ruang serambi. Kemudian, Mak Andam menyalakan lilin. Lilin yang mencair diteteskan ke semua kuku jari tangan dan kaki Sang pengantin. Setelah itu, barulah inai dioleskan ke semua kuku jari-jarinya. Selanjutnya, Sang pengantin diselimuti dengan kain panjang yang sekaligus berfungsi sebagai selimut tidur. Pagi harinya (sebelum shalat subuh) Sang pengantin diminta untuk mencuci telapak tangan dan kaki serta jari-jarinya yang ditempeli dengan inai. Dengan demikian, Sang pengantin dapat melakukan shalat dengan sempurna.

8. Berarak dan Bersanding
Berarak adalah acara mengantarkan pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan. Pakaian yang dikenakan oleh pengantin laki-laki pada saat berarak adalah jubah yang dilengkapi dengan selendang dan kopiah yang berbentuk bulat dengan warna putih atau kekuning-kuningan. Acara ini diawali dengan pembacaan Shalawat Nabi Muhammad SAW sebanyak tiga oleh ketua rombongan yang dijawab oleh semua yang hadir. Posisi pengantin dalam perjalanan menuju rumah pengantin perempuan ada di belakang ketua rombongan. Ia diapit oleh dua orang (sebelah kiri dan kanannya). Pengapit-kanan memayungi Sang pengantin, sementara pengapit-kiri membawa tas kulit yang berisi peralatan/pakaian sehari-hari pengantin. Di belakang pengantin adalah barisan orang-orang yang membawa beras kunyit, alat-alat musik (2 buah gendang panjang, 1 buah gong dan 1 buah serunai). Di belakangnya lagi ada pemencak silat dan para wanita yang berpakaian adat Melayu (berkain batik, berbaju kurung dan berselendang).

Dalam perjalanan, setiap 5 atau 10 langkah pengantin9), disertai dengan penaburan beras kunyit, bunga mawar, dan uang logam. Penaburan itu semakin menambah meriahnya rombonngan pengantin karena setiap kali ada penaburan anak-anak kecil berebut untuk memperolehnya, terutama uang logamnya. Makna simbolik dari penaburan itu adalah kesejahteraan. Artinya, Sang pengantin, dalam perjalanannya (berumah tangga) selalu memperolah kesejahteraan. Perjalanan tidak hanya diiringan berbagai taburan, tetapi diiringi dengan musik (gendang silat).

Sesampainya di halaman rumah pengantin perempuan, rombongan disambut dengan pencak silat oleh salah seorang dari pihak pengantin perempuan. Pihak pengantin laki-laki juga menampilkan pemencaknya. Lalu, mereka bertanding. Pertandingan ini bukan sungguhan tetapi hanya “main-main”. Jadi, mereka hanya sekedar menunjukkan jurus-jurus silatnya.

Sebelum rombongan pengantin memasuki rumah pengantin perempuan, tampaknya harus melalui sebuah rintangan karena di depan pintu masuk ada 2 orang yang meregang tali atau kain panjang. Tali dan atau kain panjang penghalang itu oleh masyarakat setempat disebut sebagai tali lelawe. Jadi, untuk dapat masuk, rombongan mesti harus “bertarung” lebih dahulu, yaitu dengan menjual pantun yang dilakukan oleh ketua rombongan. Sementara, pihak tuan rumah (melalui wakilnya) membelinya melalui pantun juga. Dari “jual-beli” pantun itulah akhirnya rombongan pengantin laki-laki dipersilahkan masuk rumah. Untuk itu, ketua rombongan memegang kedua tangan pemegang tali lelawe, kemudian menyerahkan sedikit uang sebagai “harga tebus”.Bersamaan dengan itu, Mak Andam pun mempersilahkan masuk rombongan sambil menaburkan beras kunyit ke arah pengantin laki-laki.

Setibanya di depan pelaminan, pengantin laki-laki tidak boleh langsung duduk bersama pengantin perempuan karena untuk dapat duduk bersama ia mesti menjual pantun. Untuk itu, sekali ”tukang pantun” dari pihak pengantin laki-laki berperan lagi. Dan, terjadilah “jual-beli” pantun antara “tukang pantun” dari pihak pengantin laki-laki dan Mak Andam yang sedang menutupi wajah pengantin perempuan dengan kipas. Untuk dapat naik ke pelaminan, sekali lagi, tukang pantun pihak pengantin laki-laki harus menjual pantunnya kepada Mak Andam. Setelah “jual-beli| pantun selesai, maka Mak Andam menggeser kipasnya dari wajah pengantin perempuan, kemudian mempersilahkan pengantin laki-laki untuk naik ke pelaminan (duduk bersanding dengan pengantin perempuan). Naiknya pengantin laki-laki ke pelaminan juga disertai dengan tebusan yang berupa sejumlah uang.

Setelah kedua pengantin duduk bersama di atas pelaminan, lalu Mak Andam meraih tangan kanan pengantin laki-laki dan menaruh sekepal nasi kuning. Demikian juga, terhadap tangan kanan pengantin perempuan. Selanjutnya, Mak Andam mengangkat tangan kanan pengantin laki-laki yang telah memegang nasi kuning itu, lalu menyuapkannya ke mulut pengantin perempuan, dan sebaliknya.

Selesai acara suap-menyuap, Pak Imam atau Pak Lebai atau yang dituakan diminta untuk meletakkan dua buah pacasode (barang yang menyerupai tusuk konde yang terbuat dari perak) ke pangantin laki-laki dan perempuan (satu buah disisipkan/diletakkan di sorban/songkok pengantin laki-laki dan satunya lagi disisipkan ke sanggul pengantin perempuan). Selanjutnya, Pak Imam atau Pak Lebai membacakan doa selamat dan tolak bala.

Sebagai catatan, pada saat acara bersanding ini, ”tukang pantun” kedua belah pihak tidak henti-hentinya melantunkan pantun nasehat.

9. Mandi-mandi
Setelah acara bersanding selesai, maka pada malam harinya, pengantin laki-laki hanya boleh tidur sendirian di atas pelaminan karena menurut adat (zaman dahulu) kedua pengantin tidak diperbolehkan tidur bersama pada malam pertama (selesai bersanding). Bahkan, sampai kurang lebih selama satu minggu pengantin laki-laki mesti tidur sendirian di atas pelaminan. Masa ini oleh masyarakat setempat disebut “masa belum bertegur”. Untuk mempercepat habisnya masa itu pengantin laki-laki harus bisa menarik perhatian pengantin perempuan. Salah satu caranya adalah dengan meletakkan tempat uang di atas bantal Sang isteri sewaktu dia meninggalkan rumah. Peletakkan itu tentunya akan mudah diketahui oleh Sang isteri, yaitu ketika sedang membersihkan tempat tidurnya. Dan, ini pada gilirannya akan membuat adanya komunikasi, sehingga terwujud tegur-sapa, makan bersama, dan akhirnya tidur bersama. Sebagai catatan, hal seperti itu dewasa ini jarang terjadi.

Setelah bersanding, ada acara yang disebut mandi-mandi. Acara ini dibagi menjadi dua, yakni mandi pelanggi yang dikhususkan bagi kedua pengantin dan mandi bersiram-siram yang dilakukan oleh kaum kerabat kedua pengantin. Perlengkapan yang perlu disediakan oleh Mak Andan dan Mak Inang (pembantu Mak Andam) dalam acara mandi pelanggi adalah: (1) dua buah talam besar yang terbuat dari tembaga (talam ini oleh masyarakat setempat disebut sebagai talam tidak berkelim tepi; (2) sebuah pasu besar atau tempayan besar (tempayan kang) yang berisi air sumur atau air sungai; (3) sebuah pasu kecil berisi air yang bagian lehernya dililit dengan daun kelapa muda yang dianyam dengan bentuk “jari-jari lipan” (4) sebuah cermin; (5) dua batang lilin; (6) sebutir kelapa yang sudah dikupas kulit luarnya dan dibentuk seperti puncak gunung (di tengah-tengah puncaknya dililiti dengan tiga helai benang berwarna putih, hitam dan merah tua; (7) selembar daun kelapa yang tersimpul; dan (8) dua helai kain panjang (sehelai untuk penapis mandi pengantin dan sehelai lagi untuk menyarung kedua pengantin setelah selesai dimandikan).

Untuk mengawali acara ini, Mak Andam menyuruh kedua pengantin yang berkemban berdiri di atas talam. Kemudian, membentangkan kain putih atau kain panjang di atas kepala kedua pengantin, lalu mengambil air dari tempayan besar dan menyiraminya sampai basah kuyup. Dengan cara seperti itu air akan menembus bentangan kain sehingga membasahi kedua pengantin yang ada di bawahnya. Kedua pengantin yang telah basah kuyup itu segera disabuni dan dilangiri. Setelah itu, Mak Inang mengambil air tolak bala dan menyiramkannya ke kedua pengantin sejumlah tiga kali. Kemudian, kedua pengantin diselimuti dengan selembar kain panjang. Selanjutnya, pengantin laki-laki disuruh untuk memegang salah satu ujung daun kelapa yang bersimpul hidup, sementara pengantin perempuan disuruh memegang ujung lainnya. Lalu, mereka disuruh untuk saling menarik sampai simpul hidupnya terlepas. Makna simbolik dari terlepasnya simpul adalah kerja sama. Artinya, sepasang suami-isteri harus ada kerja sama karena dengan kerja sama segala sesuatu dapat diselesaikan dengan relatif mudah. Selanjutnya, dengan dua batang lilin yang menyala, Mak Andam mengelilingi kedua pengantin sejumlah tiga kali. Makna simbolik yang terkandung dalam kegiatan ini adalah kebaikan (jalan yang terang). Artinya, dalam menjalani kehidupan rumah tangganya terhindar dari perbuatan-perbuatan yang tercela. Selanjutnya, Mak Andam menghadapkan cermin ke wajah kedua pengantin, lalu mengitarinya sejumlah tiga kali. Perbuatan ini merupakan simbol kecerahan. Artinya, di kemudian hari rumah tangga dapat membuahkan keturunan (cahaya hati) yang tidak hanya elok paras, tetapi juga tingkah lakunya. Setelah itu, meletakkan sebutir kelapa yang yang dibentuk menyerupai gunung dengan dililiti tiga helai benang di depan kaki kedua pengantin. Lalu, mereka disuruh menendangnya. Ketika mereka sudah melakukannya, maka Mak Inang melingkarkan benangnya dan memasukkannya ke tubuh kedua pengantin (dari kepala sampai kaki). Makna simbolik dari kegiatan ini adalah agar kedua pengantin selalu terhindar dari perbuatan jahat. Kemudian, kedua pengantin dibawa ke kamar masing-masing untuk ganti pakaian (baju kurung). Selanjutnya, mereka didudukkan di paterakne.sambil mengikuti doa yang dibacakan oleh Pak Imam atau Pak Lebai. Begitu doa selesai, kedua pengantin diminta oleh Mak Inang untuk menyalami kedua orang tuanya kepada semua orang yang hadir.

Setelah acara mandi pelanggi selesai, acara dilanjutkan dengan mandi bersiram-siram yang dilakukan oleh kerabat dan handai taulan. Acara ini menjadi semakin meriah karena sisa airnya disiramkan kepada siapa saja yang ada di sekitarnya dan halaman rumah. Oleh karena itu, acara ini biasanya dilakukan di suatu tempat yang tidak menggangu kegiatan dapur, membasahi ruang tengah rumah, serambi depan, dan apalagi tempat bersanding.

10. Berunut
Berunut berari berkunjung ke rumah pihak keluarga pengantin laki-laki. Kegiatan yang dilakukan paling lambat tiga hari setelah mandi penanggi dipimpin oleh Mak Inang. Beliau inilah yang mengajak kedua pengantin dan beberapa kerabatnya untuk berkunjung ke pihak keluarga pengantin laki-laki. Tujuannya adalah semacam silaturahmi sekaligus sembah-sujud kepada orang tua pengantin laki-laki dan kerabatnya. Pakaian yang dikenakan oleh pengantin perempuan pada kesempatan ini adalah: kain batik sarung atau kain batik panjang, baju kurung, dan tudung lingkup10). Sedangkan, pakaian yang dikenakan oleh pengantin laki-laki baju kurung (satu stel), kain songket, dan kopiah yang ada hiasannya (manik-manik).

Perjalanan berunut diiringi dengan musik gendang silat. Kedua pengantin berada di tengah barisan. Di depannya adalah barisan kerabat pengantin perempuan. Sedangkan, di belakangnya adalah barisan kerabat pengantin laki-laki. Selain kerabat, rombongan juga diikuti oleh para tetangga dan handai tolan dari pihak pengantin perempuan yang membaur di barisan kerabat pengantin perempuan. Sedangkan, kerabat pengantin laki-laki (sebagian) dan tetangga serta hantai tolan pihak orang tua pengantin laki-laki menunggu di rumah pengantin laki-laki.

Ketika rombongan sampai di rumah orang tua pengantin laki-laki dan telah diambut dengan baik, maka ketua rombongan (Mak Inang) menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya, yaitu silaturahmi dan sekaligus menghaturkan sembah-sujud kepada orang tua pengantin laki-laki dan para kerabatnya. Setelah itu, kedua pengantin menyalami (mencium tangan) kedua orang tua pengantin laki-laki beserta kerabatnya luarga yang hadir dalam acara berunut ini.

Acara diakhiri dengan penyerahan pakaian atau bahan pakaian dan hiasan kepada pengantin perempuan. Konon, jika ini tidak dilakukan maka segala sesuatu yang diinginkan keluarga baru (anak dan menantunya) selalu tidak terpenuhi (gagal). Namun, sebelumnya ada doa selamat dan tolak bala.

11. Makan di Depan Pelaminan
Kegiatan yang sekaligus merupakan akhir dari proses upacara perkawinan adalah makan di depan pelaminan. Makanan yang disediakan dalam acara ini adalah: berupa nasih putih, sepiring gulai ayam, sepiring gulai ikan (dimasak asam pedas), sepiring telur (direndang) dan sepiring acar. Untuk pencuci mulut, disediakan pula kue bolu, agar-agar bersantan, antakusume dan pisang lemak manis atau pisang ambon. Seluruh hidangan tersebut ditempatkan dalam sebuah tempat yang khusus untuk makan bertiga (pahar besar). Pahar tersebut ditutup dengan penutup yang terbuat dari pandan yang disebut sebagai tudung saji. Tudung tersebut masih ditutup dengan tudung hidang yang terbuat dari kain perca. Tudung hidang ini bentunya empat persegi panjang sama sisi (sisi-sisinya kurang lebih 0,8 meter). Di tengah- tengahnya ada sulam benang emas dan manik-manik.

Ketika acara makan dilakukan, pengantin laki-laki bersama dua orang temannya dilayani oleh Mak Inang. Sementara, pengantin perempuan hanya duduk-duduk di dapur sambil menunggu piring kotor yang nanti akan diantar oleh Mak Inang. Selesai makan bersama, pengantin laki-laki memasukkan/menyelipkan sedikit uang (dalam amplop) ke bawah pahar. Uang itu adalah sebagai ungkapan terima kasih kepada Mak Inang yang telah menyediakan dan melayani mereka makan.

Sebagai catatan, acara makan di depan pelaminan ini biasanya diadakan satu hari satu malam (makan pagi, makan siang, dan makan malam). Dengan berakhirnya acara makan di depan pelaminan in, maka berakhir sudah rangkaian upacara perkawinan pada masyarakat Kepulauan Riau (Singkep, Lingga, dan Senayang).

Nilai Budaya
Perkawinan adalah adalah satu upacara di lingkaran hidup individu. Dalam suatu masyarakat, termasuk masyarakat Melayu-Kepulauan Riau, khususnya Lingga, Singkep dan Senayang, upacara ini mempunyai makna tersendiri karena menyangkut berubahnya status bujangan menjadi seorang suami atau isteri. Dengan perkataan lain, melalui perkawinan sepasang muda-mudi akan menjalani kehidupan baru dalam sebuah rumah tangga. Untuk dapat menjalani kehidupan baru yang selaras, serasi, dan harmonis perlu adanya suatu acuan, baik berupa aturan-aturan, norma-norma maupun nilai-nilai yang ada dalam masyarakatnya. Oleh karena itu, perkawinan tidak hanya sekedar seremonial, tetapi ada pesan-pesan (harapan), simbol-simbol, dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kegotong-royongan, kehati-hatian dan ketelitian, kebijaksanaan (tenggang rasa), keikhlasan, ketulusan, keteguhan hati, kelemah-lembutan, persaudaraan, kemufakatan, kebajikan, kebijaksanaan (tenggang rasa), kemurahan rezeki, kemurahan rezeki, kesetiaan, kesuburan, kenikmatan, persatuan, keseimbangan, kebesaran, kesucian, kesuburan, pembauran, keselamatan, kesedekahan, ketuhanan.

Nilai kegotong-royongan yang berasas timbal-balik tercermin pada proses perkawinan itu sendiri. Dalam hal ini suksesnya suatu upacara perkawinan adalah bukan semata hasil usaha orang tua calon pengantin dan kerabatnya, tetapi juga bantuan, kerjasama, dan pertolongan tetangga dan handai tolan. Nilai kehati-hatian dan ketelitian tercermin dari suatu kegiatan yang disebut merisik karena melalui kegiatan ini apa yang diharapkan (diinginkan), dalam hal ini adalah calon menantu, mesti dicermati atau diselidiki bagaimana wajah dan kepribadiannya (tingkah lakunya), sehingga tidak menyesal di kemudian hari.

Nilai kebijaksanaan (tenggang rasa) tercermin dari peminangan. Dalam hal ini jika satu dan lain hal pihak keluarga perempuan menolak suatu peminangan, maka penolakan itu dilakukan secara arif dan bijaksana sehingga tidak merendahkan martabat pihak yang meminang. keikhlasan, ketulusan, keteguhan hati tercermin dari makna simbolik yang terkandung dalam buah pinang. Nilai kelemah-lembutan tercermin dari makna simbolik yang terkandung dalam barang-barang antaran tande yang berupa tembakau. Nilai persaudaraan tercermin dari makna simbolik yang terkandung dalam barang antaran tande yang berupa daun sirih. Nilai kemufakatan tercermin dari makna simbolik barang antaran tande yang berupa kacip. Nilai kebajikan tercermin dari makna simbolik barang antaran tande yang berupa bunga rampai. Nilai ini juga tercermin tercermin dalam makna simbolik dari pengelilingan dua batang lilin yang menyala sebanyak 3 kali.

Nilai keterikatan tercermin dalam makna simbolik barang antaran tande yang berupa cincin yang terbuat dari emas murni. Nilai keseimbangan tercermin dari makna simbolik barang antaran tande yang khusus ditujukan kepada kakak perempuan Si calon pengantin yang berupa satu pakaian (sebagai pelangkah batang). Nilai keelokan paras dan kemurahan rezeki tercermin dari makna simbolik yang terkandung dalam pengelilingan calon pengantin perempuan oleh Mak Andam sebanyak 3 kali dengan membawa buah kelapa yang dibentuk seperti puncak gunung dan dililit dengan benang lima warna. Nilai kemurahan rezeki tercermin dalam makna simbolik dari benang lima warna yang melilit (diibaratkan sebagai sungai yang airnya selalu mengalir).

Nilai kesetiaan yang tercermin dalam makna simbolik dari daun gandarusa. Nilai kesuburan tercermin dalam makna simbolik dari rumput sambau. Nilai kenikmatan tercermin dalam makna simbolik dari puding emas. Nilai persatuan tercermin dalam makna simbolik dari akar ribu-ribu. Nilai kebesaran tercermin dalam makna simbolik dari beras kunyit. Nilai kesucian yang tercermin dalam makna simbolik dari beras basuh. Nilai pertumbuhan tercermin dalam makna simbolik dari bertih. Nilai pembauran yang tercermin dalam makna simbolik dari bedak berlimau. Nilai kemegahan yang tercermin dalam makna simbolik dari inai. Nilai keselamatan yang tercermin dalam makna simbolik dari penaburan beras kuning, beras basuh, dan bertih. Nilai kesedekahan yang tercermin dalam makna simbolik dari pencecahan kedua telapak mempelai dengan inai. Nilai kesejahteran tercermin dalam makna simbolik dari penaburan beras kunyit, bunga mawar, dan uang logam dalam berarak. Nilai kerjasama tercermin dari makna simbolik yang terkandung dalam penarikan simpul hidup yang terbuat daun kelapa. Negeri. Dan, nilai kemaha-kuasaan (ketuhanan) tercermin dalam mantera-mantera dan atau doa-doa yang dilakukan dalam proses perkawinan.

Sumber:
Mahmud, Abbas. 1999. Adat Istiadat Perkawinan Melayu Lingga, Singkap dan Senayang. Tanjungpinang: Yayasan Payung

1) Dewasa ini kegiatan merisik jarang dilakukan (kalau tidak dapat dikatakan sudah ditinggalkan) karena orang tua tidak lagi berperan dalam penentuan jodoh. Generasi sekarang biasanya telah menentukan sendiri siapa yang akan menjadi pasangannya, sehingga merisik tidak perlu dilakukan atau melibatkan orang lain.

2) Ada persyaratan yang mesti dimiliki oleh tukang perisik, yaitu: ramah (pintar bergaul), teliti, pintar memasang bual (berbicara), dan tidak mudah membuka rahasia orang. Oleh karena itu, mencari seorang tukang perisik terkadang tidak mudah (sulit didapat).

3) Jika daun sirih ini dari pihak keluarga laki-laki, maka susunannya (peletakannya) secara menelungkup. Akan tetapi, jika dari pihak keluarga perempuan, maka susunannya (peletakannya) secara telentang.

4) Mak Andam adalah pembantu Mak Inang atau orang yang membantu memasang pelaminan dan merias pengantin

5) Kahdi adalah istilah setempat untuk menyebut seorang penghulu (pejabat pengesah perkawinan dari Kantor Urusan Agama)

6) Bunta adalah tikar yang terbuat dari daun pandan yang berbentuk empat persegi panjang sama sisi (80x80 cm), berlapis tiga dan pada setiap sudutnya ditutup dengan kain merah atau dengan kain yang bersulam benang emas.

7)Inai tari diletakkan dalam wadah khusus (seperti wadah untuk lilin tetapi dipuncaknya diletakkan setumpuk inai yang dilengketkan pada empulur batang pisang, kemudian dihiasi dengan bunga-bunga pepaya serta dikelilingi oleh lilin-lilin kecil yang ditengahnya terdapat sebatang lilin besar).

8) Inai yang dipakai adalah sisa dari inai yang dipakai penari pada saat acara bertepuk tepung tawar. Sisa nai tersebut yang dibagi dua, sebagian untuk pengantin laki-laki dan sebagian lagi untuk pengantin perempuan.

9) Pada zaman dahulu pengantin laki-laki harus dijulang dan tidak boleh berjalan kaki, karena dikhawatirkan kalau berjalan kaki takut tersandung atau terpijak oleh barang-barang wafak (semacam azimat untuk mencelakakan pengantin) yang diletakkan atau ditanam oleh seseorang yang iri atau sakit hati dengan pengantin.

10) Tudung lingkup adalah penutup kepala (hanya wajahnya saja yang tampak) yang terbuat dari kain batik sarung.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive