Teka-teki Orang Rembong (Flores Barat)

1. Sang dewa meninggal – seluruh dunia berkabung.
Jawab: (Ketika tidur) malam.

2. Semasa kecil berbaju hijau – setelah besar berbaju merah.
Jawab: Lombok.

3. Kita pulang – dia pergi, kita berangkat – dia kembali.
Jawab: Tumit.

4. Bagaikan Dalu Manus tertawa melalui pantat.
Jawab: Buah labu yang sedang bertumbuh..

5. Diraba dekat, dilihat jauh.
Jawab: Telinga.

6. Menyingkapi kainnya – pegang kemaluan (pria)
Jawab: Bila hendak memetik buah terung kecil dengan menyiakkan daun.

7. Kita kembali, dia juga kembali – kita berangkat, dia pun ikut.
Jawab: Rerumputan yang arahnya selalu mengikuti pejalan kaki, (karena rerumputan, terutama alang-alang itu menutupi jalan-jalan menuju kebun dan sebagainya).

8. Rumah kita berkaki (bertiang) dari bawah – rumah orang di seberang sana berkaki (bertiang) dari atas.
Jawab: Sarang tawon.

9. Lempar batu – kena gua.
Jawab: Bagai memakan jagung goreng dan sebagainya satu-persatu dimasukkan ke dalam mulut, seperti melempar.

10. Kakatua segua.
Jawab: Gigi-gigi (dalam mulut).

11. Dibuang berasnya – dimakan bakulnya.
Jawab: Pepaya (biji dibuang, daging buah dimakan).

12. Kuda di pemuda Bar – luka berjejer pada punggungnya.
Jawab: Tangga takik (dari sebatang bambu atau kayu).

13. Kuda si pemuda Bar – bila memasang sela dari bagian bawah perutnya.
Jawab: Laba-laba yang membawa sarang telur-telurnya di bagian perut.

14. Kuda sang pemuda Ba – kotorannya berceceran.
Jawab: Onggokan batang jagung atau rumput siangan di kebon yang berserakan.

15. Ada empat pemuda saling berkejaran keliling – tidak saling berpapasan.
Jawab: Purung lawe (alat pengukur benang).

16. Semasa kecil mengenakan baju – setelah besar telanjang.
Jawab: Rebung dan bambu.

17. Anjing berbulu merah menjilat anjing berbulu hitam.
Jawab: Nyala api – periuk.

18. Alang-alang yang kita temui tumbuh di atas – sedangkan alang-alang orang di seberang sama tumbuh ke bawah.
Jawab: janggut.

19. Kita berjalan – dia juga ikut, kita membelok – dia juga membelok.
Jawab: bayangan.

20. Tidak menghendaki labu merah – namun saya menghendaki sisir tajam.
Jawab: Babi landak (dalam dongeng).

21. Berputar dan berputar – lalu jongkok.
Jawab: Anjing bila hendak tidur.

22. Pedang di atas pohon.
Jawab: buah akar beluru.

23. Sebentar-sebentar di atas pohon – sebentar-sebentar di bawah tanah.
Jawab: kera.
24. Berekor panjang – dan berkepala benjol.
Jawab = kias kera.

Sumber:
Tol, Roger. 1997. Adat-Istiadat Orang Rembong di Flores Barat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Prinsip Bawalaksana Dalam Kepercayaan

Budaya Jawa khususnya khasanah seni sastra Jawa masih sangat banyak pengaruhnya di kalangan masyarakat Jawa. Oleh karena itu khasanah sastra Jawa menjadi sorotan ilmu dan kajian budaya bagi kepentingan perkembangan budaya bangsa Indonesia. Banyak yang perlu digali dan dipelajari kembali. Dari sekian banyak yang perlu dikaji tersebut terdapat titik pandang yang merupakan bagian dari hasil budaya bangsa, khususnya Jawa, yaitu bentuk ungkapan yang bermaksud dan makna luas bagi kehidupan. Terdapat satu ungkapan yang sangat menarik, yaitu “bawalaksana”. Ungkapan tersebut rupanya masih sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Jawa, sehingga menjadi prinsip atau peka pengaruhnya terhadap kehidupan sehari-hari, mengingat makna dan arti yang sangat relevan di dalam kehidupan bermasyarakat dan bangsa Indonesia.

Di dalam kepercayaan Jawa terdapat pengertian bahwa ucapan atau ungkapan seseorang mempunyai daya magis. Maksud daya magis adalah suatu pernyataan atau ungkapan yang mempunyai makna “sebab akibat”. “Sebab” maksudnya suatu ungkapan yang terlontar, tertulis karena ingin memberikan, suatu pengaruh terhadap orang lain. Sedang “akibat” adalah timbul apabila “sebab” yang telah terlontar, tertulis tetapi tidak terbukti, terealisir atau terwujud. Pernyataan atau ungkapan tersebut mempunyai daya magis tak ubahnya seperti perkataan seorang pendeta sakti; apa yang diucapkan jadi. Dalam dunia pewayangan diberitakan contaoh Resi Gotama yang mengucapkan tidak senangnya terhadap isterinya, Dewi Raguwati karena tidak menjawab pertanyaan Resi Gotama. Akibat ungkapan Resi Gotama, maka Dewi Raguwati menjadi tugu. Kembalinya menjadi wanita dalam episode “Anggada Duta”. Demikian perkataan yang berdaya magis tersebut tertuang dalam ungkapan “bawalaksana”. Fenomena-fenomena seperti dalam ungkapan atau dalam ceritera drama menjadi gambaran terhadap perilaku atau kehidupan dalam bertindak, ucapan dan perbuatan, meskipun terdapat pengakuan antara setuju dan tidak. Sehingga kehidupan tak ubahnya seperti sebuah ceritera lakon atau drama dalam dunia pentas.

Bawalaksana mempunyai arti “netepi kang dadi ujare” atau menjalankan sesuai dengan ucapannya atau dapat juga diartikan satunya kata dengan perbuatan. Arti tersebut mempunyai makna luas dan kompleks dalam kehidupan Jawa, seperti terlihat banyaknya konsep ceritera dan kehidupan masyarakat Jawa yang diwarnai atau dipengaruhi oleh ungkapan tersebut. Apabila ungkapan tersebut diperhatikan erat kaitannya dengan ungkapan lain seperti “sabda pandhita ratu” yang erat kaitannya dengan karakteristik tokoh sebagai penderita. Hubungan penderita dengan ungkapan tersebut rupanya suatu keterkaitan antara sebab dan akibat.

Di dalam dunia pewayangan terdapat banyak contoh yang menggambarkan konsep bawalaksana, seperti tokoh Karna dalam ceritera “Baratayuda”. Jika diperhatikan tokoh Karna merupakan kesatria yang sangat tangguh dan tampan, tetapi secara sepintas cukup disayangkan tindakan Karna tersebut. Secara rasio Karna yang berasal dari keluarga baik dan tangguh dalam berperang, tetapi disayangkan karena pembela para Kurawa yang berwatak jahat. Jika diperhatikan alur ceritera, misalnya episode “Banjaran Karna”, yang menceriterakan awal kelahiran Karna sampai kematiannya, terdapat suatu peristiwa yang cukup membingungkan, antara benar dan salah. Bagian tersebut terlihat dalam pertemuan Kunti, Kresna dan Karna. Di satu sisi Kresna dan Kunti membujuk Karna untuk berpihak atau membela Pandawa karena Pandawa adalah adik Karna, di pihak yang benar. Karna, sebagai tokoh yang baik dan berwatak kesatria, secara rasio sepantasnya membela ibu dan adik-adiknya, tetapi Karna justru melontarkan suatu pertanyaan yang sangat berbobot. Karena memberikan pertimbangan bujukan tersebut dengan pertanyaan, “siapa yang membesarkan Karna dan kenapa ibunya sendiri, Kunti justru membuang Karna yang setelah besar akan diraih untuk membela Pandawa dan memusuhi yang membesarkannya selama ini”. Dalam bagian ini akan timbul suatu analog, siapa sebenarnya tang bertindak khianat, Karna atau Kunti dan Kresna. Bagian ini akan memberikan gambaran antara benar dan salah dalam hubungan sebab akibat. Ditinjau dari “sebab” tokoh Karna membela Kurawa karena menempatkan dirinya dengan ungkapan bawalaksana karena yang membesarkan dirinya adalah Kurawa apalagi Karna telah bersumpah akan membela Kurawa sampai kematiannya. Kesanggupan sumpah adalah suatu konsep kesatria yang baik, tetapi di satu sisi apakah Karna melampiaskan dendamnya, karena waktu lahir dibuang oleh ibunya. Hal tersebut rupanya tidak menjadi landasan pemikirannya karena terlihat kesanggupannya untuk mengalah dalam perang dan merelakan kematiannya. Di samping itu Karna bersumpah membela Kurawa karena waktu itu belum tahu bahwa ia anak Kunti. Konsep bawalaksana yang melandasi kepribadiannya memberikan suatu jawaban terhadap akibat dari perbuatannya.

Jika uraian di atas merupakan konsep “sebab” dari bawalaksana, berikut ini dapat dilihat konsep akibat dari konsekwensi bawalaksana. Karna menepati janji menanggung akibat moral pribadi terhadap kenyataan hidupnya. Karna tetap sebagai kesatria sejati meskipun membela Kurawa yang berwatak jahat. Karena berani merelakan kematiannya untuk dikorbankan dalam pembelaannya secara tidak langsung kepada Pandawa. Merelakan kematiannya berarti Karna tidak melestarikan watak Jahat yang dimiliki oleh Kurawa karena kematiannya akan mengikis habis watak jahat, sebagai makna perang Baratayuda yang merupakan hukum sebab akibat. Di satu sisi Karna dalam kematiannya tetap mempunyai nama harum dan mendapat kematian sempurna, sehingga mendapat surga.

Banyak contoh cerita visual yang intinya tetap sama, yaitu “ngunduh wohing pakarti” atau memetik buah perbuatannya. Banyak contoh episode yang membuat konsep bawalaksana, tetapi kiranya satu contoh tersebut cukup mewakili dan sebagai bahan acuan bahwa budaya Jawa banyak menampilkan konsep bawalaksana.

Gambaran dalam dunia pewayangan tersebut kiranya suatu visualisasi kehidupan manusia dalam masyarakat yang penuh dengan problematik. Seandainya tokoh Karna dialami oleh manusia, cukup berat tantangannya, yaitu antara benar dan salah yang masih diikuti penampilan kepribadian, yaitu nilai sosialnya.

Cukup berbobot kiranya konsep bawalaksana bagi seseorang yang telah menjalankannya, tetapi karena beberapa unsur pertimbangan kehidupan dan lain sebagainya kadang-kadang justru merasa riskan dan semakin takut akan kenyataan. Konsep bawalaksana agaknya erat dengan golongan menengah ke atas, meskipun prosentase itu juga kurang tepat, tetapi hendaknya dapat dipertimbangkan. Pertimbangan tersebut muncul dan dapat diambil contoh dalam kehidupan seseorang yang telah tergolong “mampu”, sehingga kadang-kadang sebutan mampu yang luas tersebut akan mempengaruhi kehidupan sosial dalam bermasyarakat. Contoh kemampuan seseorang dari segi harta, ilmu dan lain-lain akan membawa sifat penghargaan terhadap masyarakat lingkungannya. Orang yang mampu atau sering disebut orang terpandang, kalau tidak konsekwen dengan ucapan akan mudah meluas dan banyak orang memandang bahwa dalam kehidupannya dapat dikatakan kurang memenuhi syarat bermasyarakat. Dalam istilah Jawa sering disebut “ora umum” atau tidak setara, tidak sesuai dan lain sebagainya.

Banyaknya “sebab akibat” dari konsep bawalaksana tersebut, membuat seseorang takut akan “hukum sebab akibat”, sehingga seseorang hendaknya berhati-hati dalam bertutur kata demi satunya kata dan perbuatan. Dalam kehidupan orang Jawa tidak sedikit yang beranggapan bahwa kepekaan terhadap hukum sebab akibat, menimbulkan banyak pula ungkapan yang erat dengan bawalaksana, seperti “ajining dihiri mung saka kedaling lathi, mandi marang ucapane dhewe, sabda pandhita ratu” dan lain sebagainya. Semua itu memberi asumsi terhadap bawalaksana. Kiranya dapat dibayangkan bahwa seseorang yang telah terkena ucapannya sendiri. Seperti dalam persidangan, jika seseorang memberikan keterangannya berbelit-belit akan mendapat hukuman yang lebih berat. Dalam dunia pewayangan diberikan banyak contoh, yaitu tokoh Wisrawa yang terkena sumpahnya sendiri dalam Sastrajendra Hayuningrat, Resi Sampani dalam kasus kematian Jayadrata dan masih banyak yang lain.

Seperti juga dalam kehidupan sehari-hari, seseorang yang telah melontarkan ucapan terhadap orang lain maupun bersaksi dalam dirinya sendiri, tentu akan mempunyai rasa atau bahkan kena sangsi akibat dari ucapannya tersebut. Contohnya, seorang ayah telah berjanji kepada anaknya, tentu saja jika tidak ditepati aan kena sangsi berupa kemarahan anaknya, sehingga akan mengurangi kepercayaan anak kepada ayahnya. Ini satu contoh ringan, dalam kehidupan sehari-hari, yang levelnya antar kehidupan keluarga, anak dan ayah. Dapat dibayangkan jika hal seperti ini dialami oleh seorang pemimpin yang mempunyai pengaruh besar dan luas, maka pemimpin tersebut akan kena akibat, yaitu sangsi kurangnya anggapan orang banyak terhadap dirinya.

Timbul pertanyaan, yaitu “ana ngendi dununging bawaleksana..” atau dimana letak konsekwensi dari ucapan tersebut. Bandingkan dengan contoh lakon wayang “Baratayuda” episode “Kresna Duta”, yaitu Buryudana menjilat ucapannya sendiri sewaktu menjawab pertanyaan Kresna. Semula ia bersedia memberikan negara Hastina tanpa syarat, tetapi setelah para dewa pergi, ia meralat ucapannya, yaitu akan memberikan negara Hastina asal dapat mengalahkan dirinya. Akibat dari ucapannya tersebut Duryudana mati dengan cara menyedihkan yang tidak selayaknya bagi seorang raja.

Cerita demi cerita yang terdapat dalam khasanah sastra Jawa tersebut memberikan intuisi atau gambaran kepada masyarakat tentang perikehidupan yang sangat kompleks. Tidak mustahil dalam kepercayaan Jawa timbul anggapan atau pengaruh dari contoh-contoh drama, lakon wayang dan lain sebagainya, sehingga makna konsep bawalaksana dengan segala keterkaitannya dengan ungkapan yang menjadi pegangan.

Perbandingan antara cerita lakon wayang dan kenyataan, khususnya prinsip bawalaksana, kiranya tidak jauh berbeda karena kenyataan prinsip bawalaksana dalam masyarakat menjadi cermin yang sangat baik.

Akibat dari prinsip tersebut di masa sekarang banyak mewarnai kehidupan masyarakat, seperti banyaknya ungkapan jawa dalam pidato, ceramah dan lain-lain, misalnya ungkapan-ungkapan “mulat sarira hangrasa wani, aji mumpung, aja dumeh” dan sebagainya.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1994. Khasanah Budaya Nusantara V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Hikayat Raja Fakir Mahdi

Hikayat Raja Fakir Mahdi merupakan hasil transliterasi sebuah naskah kuna dalam hurub Arab berbahasa Melayu yang dilakukan oleh Putri Minerva Mutiara dan diterbitkan oleh Proyek Pembinaan Buku Sastra Indonesia dan Daerah 1991. Hikayat ini termasuk ke dalam kelompok cerita pelipur lara karena diceritakan oleh “kata yang empunya cerita”. Berdasarkan isinya hikayat ini dapat digolongkan ke dalam karya sastra zaman peralihan. Sebagai buktinya, dapat dikemukakan beberapa hal seperti: (1) adanya unsur sayembara; (2) adanya unsur mukjizat dan pertolongan terhadap tokoh utama; (3) adanya unsur pengembaraan yang dilakukan oleh tokoh utama; (4) adanya ciri-ciri Islam, seperti kata pembuka Wahibi santain ba Allah alaidin dan sedekah serta kadhi; (5) adanya ciri-ciri Hindu seperti penjemaan dewa menjadi manusia atau sebaliknya, serta unsur mimpi.

Pada intinya, Hikayat Raja Fakir Mahdi mengisahkan percintaan, perpisahan dan penderitaan Raja Fakir Mahdi dan Putri Cinta Bakti. Silsilah keturunan Raja Kadis, anak Raja Keindraan yang turun ke dunia demi cintanya kepada Putri Mangandara Kemaladewi. Raja Kadis dan Putri Nangandara Kemaladewi mempunyai seorang putra bernama Raja Kamdi memerintah di Negeri Ujan dan menikah dengan Dewi Sanurat. Dari hasil perkawinan tersebut Raja Kamdi dianugerahi putera yang diberi nama Raja Saat. Setelah dewasa Raja Saat menikah dengan Putri Sinar Bulan dan dianugerahi putera, Raja Fakir Mahdi.

Raja Fakir Mahdi menggantikan kedudukan ayahnya, Raja Saat, memerintah di Negeri Ujan. Ia menikah dengan seorang puteri raja Negeri Gangga Pura bernama Putri Cinta Bakti. Sebagai tanda hormat kepada kedua orangtuanya yang sudah tiada, Raja Fakir Mahdi membangun sebuah mahligai yang indah. Akan tetapi menurut Gagak Tambara, penunggu pintu keindraan mahligai Raja Fakir Mahdi masih kalah indah jika dibandingkan dengan mahligai yang ada di keindraan. Raja Fakir Mahdi penasaran dan pergi ke keindraan. Selama tujuh hari di keindraan, ia mendapat berbagai hadiah, diantaranya sebuah singgasana kesaktian.

Sepulangnya dari keindraan, Raja Fakir Mahdi membagikan derma dan sedekah kepada fakir miskin dan brahmana. Pada suatu hari Raja Fakir Mahdi dihadap oleh celaka dan bahagia yang minta hukuman yang tepat. Raja Fakir Mahdi memutuskan celaka sebagai pihak yang baik. Mulai saat itulah Raja Fakir Mahdi selalu didekati oleh celaka.

Selanjutnya Raja Fakir Mahdi memutuskan untuk meninggalkan kerajaan bersama isterinya. Di perjalanan mereka selalu menemui celaka sehingga keduanya berpisah. Kemudian Raja Fakir Mahdi dan Putri Cinta Bakti masing-masing mengembara. Dalam pengembaraan Raja Fakir Mahdi beralih nama menjadi Bikam dan menikah dengan putri Raja Badarsyah yang bernama Putri Bungsu.

Selanjutnya Raja Fakir Mahdi berhasil bertemu dengan Putri Cinta Bakti yang menyamar dengan nama Jirak dan menjadi hamba sahaya Ganjit, istri Adipati Saudagar, atas pertolongan Tala Betala. Akhirnya Raja Fakir Mahdi dan Putri Cinta Bakti hidup bahagia dan kembali memerintah Negeri Ujan.

Dari hikayat ini dapat dikemukakan suatu episode cerita yang memiliki makna didaktis, yaitu Raja Fakir Mahdi dihadap oleh celaka dan bahagia.

Bermula pada suatu hari Raja Fakir Mahdi pun duduk di atas singgasana kesaktian di adap oleh Mangkubumi dan segala hulubalang menteri sekalian. Maka celaka dan bahagia pun datang ke hadapan Raja Fakir Mahdi katanya, “Hai Raja Besar, hukumlah kami berdua ini. Katakanlah oleh raja, baiklah atau tidakkah bahagian atau baiklah celakakah” (1991: 105).

Sejenak Raja Fakir Mahdi termenung mendapat pertanyaan yang seperti itu, namun kemudian dengan tegas ia memilih dan memutuskan celaka sebagai pihak yang baik. Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa ia akan mengalami celaka dan bahagia dalam hidupnya. Jika memilih bahagia, Raja Fakir Mahdi akan memperoleh kebahagiaan selama 12 tahun kemudian memperoleh celaka. Sebaliknya jika memilih celaka Raja Fakir Mahdi akan memperoleh celaka selama 12 tahun kemudian memperoleh kebahagiaan.

Tampak dalam hal ini bahwa Raja Fakir Mahdi sangat bijaksana dan penuh perhitungan. Ia berkeyakinan bahwa lebih baik celaka selagi muda dan baru mendapat kebahagiaan di hari tua kelak, daripada mendapat kebahagiaan di waktu muda, tetapi menderita di kemudian hari. Tersirat dalam hal ini bahwa keputusan yang seperti ini memang diperlukan bagi seorang raja besar. Sebagai pemimpin ia harus dapat mengayomi rakyatnya dan harus dapat berbuat bijak dan adil demi bahwannya. Dapat dibayangkan apa yang terjadi jika seorang pemimpin dalam memutuskan sesuatu tanpa dipikir masak-masak, apalagi keputusan yang bertalian dengan nasib seseorang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa cerita pelipur lara seperti Hikayat Raja Fakir Mahdi, tidak sekedar berfungsi menghibur, tetapi juga mengandung pesan kehidupan yang dapat dipedomani oleh pembacanya.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1994. Khasanah Budaya Nusantara V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Hikayat Raja Syaif Zulyazan

Hikayat Raja Syaif Zulyazan merupakan hasil transliterasi naskah kuna (W-117) yang ditulis dengan huruf Arab dalam bahasa Melayu. Naskah ini ditransliterasi oleh Jumsari Yusuf dan diterbitkan oleh Proyek Pembinaan Buku Sastra Indonesia dan Daerah-Jakarta, 1991. Hikayat ini dapat digolongkan sebagai karya sastra lama pengaruh Islam, atau lebih tepat disebut cerita fiksi Islam, untuk membedakannya dengan naskah Melayu yang khusus berisi ajaran agama Islam seperti Kitab Tasuf, Kitab Fikh, Tauhid yang di dalamnya termasuk karya-karya Hamzah Fansuri, Nuruddin ar-Raniri serta Syamsuddin an-Samatrani. Perlu diketahui bahwa cerita fiksi Islam berkisar tentang kisah para nabi sebelum Nabi Muhammad, Kisah Nabi Muhammad dan keluarganya, kisah keperkasaan pahlawan-pahlawan Islam dan cerita mukjizat, contohnya Hikayat Nabi Yusuf, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Muhammad Hanfiah, Hikayat Abu Samah, Hikayat Raja Jumjumah dan Hikayat Raja Syaif Zulyazan.

Sebenarnya ada beberapa istilah yang diberikan oleh para pakar untuk membedakan antara fiksi Islam dan naskah yang berisi ajaran agama Islam. Menurut Liaw Yock Fang, dalam bukunya Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik, 1982, cerita fiksi Islam disebut sastra Islam, sedangkan kitab yang berisi ajaran agama Islam disebut sastra keagamaan. Amir Sutaarga, dalam Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat, 1972, mengelompokkan cerita fiksi Islam dalam cerita kenabian, sedangkan kitab berisi ajaran agama Islam dimasukkan dalam kelompok pustaka agama Islam.

Mengenai kapan masuknya cerita fiksi Islam ke Indonesia, Ph. S. Van Ronkel memperkirakan bersamaan dengan masuknya agama Islam melalui terjemahan, baik yang berupa terjemahan langsung dari bahasa Arab maupun melalui terjemahan bahasa lainnya, seperti Persia dan Tamil.

Cerita fiksi Islam dalam masyarakat berfungsi didaktis karena isinya menceritakan keagungan agama Islam serta para nabi dan pahlawan Islam. Diharapkan dengan membaca karya fiksi Islam, pembaca dapat mempertebal keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Pada intinya, Hikayat Raja Syaif Zulyazan menceritakan Raja Syaif Zulyazan yang memerintah di Negeri Medinah Ahmarah. Sebenarnya ia adalah putra Raja Tuba’a Zulyazan dari Yaman dari hasil perkawinannya dengan Komariah, seorang budak Habsyi. Karena khawatir kerajaannya direbut oleh anaknya, Komariah membuang Syaif Zulyazan ketika ia masih berumur 40 hari di hutan. Bayi itu kemudian ditemukan oleh seorang pemburu dan selanjutnya diserahkan kepada Raja Malikul Afrah, bayi itu kemudian diberi nama Wahsa Alfalah. Semula Wazir Sakardiwan menasehati Raja Malikul Afrah karena pada pipi kedua bayi itu ada tanda yang sama, yaitu warna bijau. Akan tetapi Raja Malikul Afrah tidak bersedia menjalankan saran Wazir Sakardiwan. Ia tetap memelihara kedua anak itu itu sampai dewasa.

Menjelang dewasa, Wahsa Alfalah dikirimkan oleh Raja Malikul Afrah berguru ilmu pedang kepada seorang ahli. Kemudian setelah dewasa Wahsa Alfalah melamar Sitti Syamah. Atas nasehat Wazir Sakardiwan, Wahsa Alfalah diminta lebih dahulu membinasakan kepala perampok yang bernama Sa’dun Al Zanji dan mendapat kitab Tarikh Alfalah. Dengan keberanian dan kesaktiannya, Wahsa Alfalah dapat memenuhi semua persyaratan itu. Akhirnya Wahsa Alfalah hidup bahagia dan memerintah di Negeri Median Ahmarah setelah jin Aksah berhasil membunuh Komariah.

Seperti halnya dengan cerita fiksi Islam yang lain, Hikayat Raja Syaif Zulyazan sarat dengan ajaran hidup. Ajaran hidup yang patut diteladani itu, antara lain ketika Raja Malikul Afrah dengan penuh kebijaksanaan tidak menuruti saran Mazir Sakardiwan untuk membunuh kedua bayi itu, yaitu Wahsa Alfalah dan Sitti Syamah. Sebagai seorang raja, yang dapat dianggap sebagai kalifatullah di atas bumi ini, Raja Malikul Afrah mencoba untuk berpikir rasional.

Walaupun pada waktu itu kebiasaan membuang atau membunuh anak lazim dilakukan oleh raja-raja atau pembesar istana Raja Malikul Afrah tidak melakukan perbuatan keji itu. Perbuatannya yang bijak ini juga mencerminkan ketakwaan dan keimanannya kepada Allah SWT. Keputusan yang diambilnya saat itu tidak salah. Wahsa Alfalah setelah dewasa ternyata menjadi seorang pemuda tampan yang baik budi, berani, ulet, dan bertanggung jawab. Syarat yang diajukan oleh Wazir Sakardiwan untuk membunuh kepala perampok Sa’dun al Zanji dan mencuri Tarikh Alfalah dipenuhinya setelah ia berjuang keras dan menghadapi bahaya yang menghadangnya.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1994. Khasanah Budaya Nusantara V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Hikayat Cindabaya

Hikayat Cindabaya merupakan hasil transliterasi dari sebuah naskah yang ditulis dalam huruf Arab (BR 206) oleh Jumsari Jusuf. Hikayat ini dapat digolongkan pada karya sastra masa peralihan, yaitu karya sastra yang ditulis pada masa antara agama Hindu dan masuknya agama Islam. Sebagai karya sastra masa peralihan, Hikayat Cindabaya memiliki ciri sebagai sebrikut: (1) dalam penyebutan nama Tuhan, tidak lagi digunakan kata dewata, melainkan menggunakan kata Allah Tuhan Yang Mahabesar dan Tuhan Robbul Alamin; (2) penggunaan kata brahmana dan pendeta masih dapat ditemukan, selain kata muslim; (3) tokoh utama mendapat kesaktian dari seorang pertama, sehingga ia dapat mengalahkan musuh-musuhnya; (4) jodoh putri raja ditemukan melalui sayembara dengan bantuan para ahli nujum.

Secara ringkas, dapat diceritakan bahwa hikayat ini mengisahkan pemuda miskin bernama Cindabaya. Ia berasal dari Negeri Bentuluk yang diperintah oleh Raja Ajrang. Berdasarkan ramal, Putri Mandusari akan mendapatkan jodoh pemuda kebanyakan. Karena tidak menghendaki putrinya bersuamikan orang kebanyakan, Raja Ajrang menyuruh burung garuda membawa Putri Mandusari ke dasar laut. Sementara itu Cindabaya yang mendengar tentang jodoh Putri Mandusari merasa ketakutan dan menerjunkan diri ke laut. Di dasar laut Cindabaya bertemu dengan Putri Mandusari. Kedua orang itu menjalin hubungan asmara. Dengan terpaksa Raja Ajrang menikahkan Cindabaya dengan Putri Mandusari dan membuang mereka ke suatu pulau. Tidak lama kemudian mereka dikaruniai seorang anak laki-laki, bernama Jayalengkara. Kemudian Putri Mandusari dan Jayalengkara melarikan diri dengan seorang saudagar yang terdampar di pulau itu. Cindabaya berhasil menemukan istri dan anaknya, tetapi ia meninggal dunia. Kemudian Cindabaya bersama Jayalengkara mengembara. Selanjutnya Jayalengkara berhasil menjadi raja besar di Negeri Bujangga Dewa.

Untuk membuktikan bahwa hikayat ini merupakan karya sastra masa peralihan, dapat dikutipkan hal sebagai berikut.

Maka sembah segala perdana menteri, “Hamba tiada berani melarikan orang punya jodo sebab itu jodo sudah ditentukan Tuhan Robbul Alamin (1991: 3).

Tampak pada kutipan itu sudah digunakan kata Tuhan. Kata brahmana dan pendeta yang merupakan ciri ke-Hindu-an juga dapat ditemukan dalam hikayat ini.

Maka dengan kuasa-Nya Tuhan bertemulah kepada pendeta bernama Brahmana. Lagi ia bertapa di dalam gua itu. Maka Raden Mukadam melihat kakek tua serta jenggotan (1991: 4).

Tokoh utama dalam hikayat ini, Jayalengkara, mendapat kesaktian dari seorang pendeta yang bernama Brahmana.

“Ya cucuku, tetapi dari itu cucuku punya kehendak kakek mengetahui dan tetapi cucuku di sini saja barang satu bulan dua bulan nanti kakek ajarkan buat menghadap perang kepada jin kafir itu bernama Jin Ifrik dan kapan cucuku sudah mengetahui suatu ayat ini niscaya jin tiada berani menghadap dengan cucuku.” (1991: 91).

Pengaruh ke-Hindu-an yang lain, yang dapat ditemukan pada hikayat ini ialah nama orang. Misalnya Putri Mandusari, Maharaja Bujangga Dewa, Ismaya Dewi, Naga Pertala, peri, mambang dan raksasa.

Dalam hikayat ini, dapat ditemukan unsur pendidikan. Unsur pendidikan itu tercermin dari perbuatan, sikap dan perilaku yang ditunjukkan oleh Jayalengkara sebagai seorang ksatria. Jayalengkara memegang teguh janji dan menghormati gurunya walaupun harus berpisah dengan istrinya.

Maka berkatalah Naga Pertala seraya katanya, “Hai cucuku Jayalengkara, tetapi eyang berpesan kepada cucuku, tetapi cucuku jangan ajarkan kepada orang yang lain. Kapan cucuku ajarkan (kepada) orang lain niscaya cucuku mati, sebab eyang ajarkan kepada cucuku karena eyang dapat malu, eyang mahu mati, tetapi eyang berpesan poma-poma kepada cucuku. (1991: 68)

Permintaan istrinya untuk diajari kesaktian yang dapat mengetahui bahasa segala binatang tidak dpenuhi oleh Jayalengkara. Akibatnya istri Jayalengkara melakukan pati obong (mati dengan membakar diri).

Ada kemungkinan bahwa salah satu episode dalam Hikayat Cindabaya merupakan versi lain dari cerita Prabu Anglingdarma. Tokoh Jayalengkara dan Prabu Anglingdarma memiliki kesaktian yang sama, yaitu dapat mengetahui bahasa segala binatang yang diperolehnya dari sumber yang sama, yaitu Naga Pertala. Istri Prabu Anglingdarma juga melakukan pati obong seperti yang dilakukan oleh istri Jayalengkara. Jika dirunut, cerita ini dapat dikaitkan dengan Nabi Sulaiman yang mendapat mujizat dapat mengetahui bahasa segala binatang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengarang dalam memunculkan Jayalengkara dan Prabu Anglingdarma diilhami oleh kisah Nabi Sulaiman.

Sumber:
Jusuf, Jumsari. 1991. Hikayat Cindabaya. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1994. Khasanah Budaya Nusantara V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Taman Narmada (Lombok, Nusa Tenggara Barat)


Taman Narmada terletak di Desa Lembuah, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, sekitar 10 kilometer sebelah timur Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Taman yang luasnya sekitar 2 ha ini dibangun pada tahun 1727 oleh Raja Mataram Lombok, Anak Agung Ngurah Karang Asem, sebagai tempat upacara Pakelem yang diselenggarakan setiap purnama kelima tahun Caka (Oktober-November). Selain tempat upacara, Taman Narmada juga digunakan sebagai tempat peristirahatan keluarga raja pada saat musim kemarau.

Nama Narmada diambil dari Narmadanadi, anak Sungai Gangga yang sangat suci di India. Bagi umat Hindu, air merupakan suatu unsur suci yang memberi kehidupan kepada semua makhluk di dunia ini. Air yang memancar dari dalam tanah (mata air) diasosiasikan dengan tirta amerta (air keabadian) yang memancar dari Kensi Sweta Kamandalu. Dahulu kemungkinan nama Narmada digunakan untuk menamai nama mata air yang membentuk beberapa kolam dan sebuah sungai di tempat tersebut. Lama-kelamaan digunakan untuk menyebut pura dan keseluruhan kompleks Taman Narmada.

Taman Narmada yang sekarang ini adalah hasil pembangunan dan serangkaian perbaikan/pemugaran yang berlangsung dari waktu ke waktu. Sewaktu para petugas dari Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala bersama dengan para petugas Kantor Wilayah Depdikbud Nusa Tenggara Barat meneliti dan mengumpulkan data sebagai langkah awal pemugaran, mereka berpendapat bahwa pemugaran secara memuaskan tidak mungkin, karena bahannya kurang dari 50%. Banyak bagian yang telah rusak terutama tebing-tebing kolam, taman, pagar maupun bangunan. Pada tahun 1980 sampai 1988 rekonstruksi Taman Narmada dapat diselesaikan.

Setelah direkonstruksi oleh pemerintah melalui Ditjen Kebudayaan, Direktorat Perlindungan dan pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Taman Narmada dijadikan sebagai kompleks bangunan cagar budaya dengan daftar induk inventarisasi peninggalan sejarah dan purbapakala pusat nomor 1839. Dengan demikian, sesuai dengan peraturan yang berlaku kelestarian Taman Narmada dilindungi oleh pemerintah.

Kompleks Taman Narmada
Kompleks Taman Narmada yang ada di Lombok itu dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu gerbang utama, jabalkap, telaga kembar, gapura gelang/paduraksa, mukedes, telaga padmawangi, balai loji, balai terang, patandaan, bangunan sakapat, balai bancingah, Pura Kelasa dan Pura Lingsar. Berikut ini akan diuraikan bagian-bagian dari Taman Narmada dari gerbang utama.

Gerbang utama yang berbentuk gapura bentar dan berada di sebelah utara. Setelah gerbang utama kita akan memasuki halaman jabalkap, yang di dalamnya terdapat telaga kembar. Di bagian selatan jabalkap terdapat sebuah gapura yang bernama Gapura Gelang atau Paduraksa yang menghubungkan antara halaman jabalkap dengan halaman mukedes. Pada halaman mukedes terdapat beberapa buah bangunan, antara lain Sanggah Pura, Balai Pamerajan dan Balai Loji (salah satu diantara bangunan kediaman raja). Di sebelah tenggara halaman mukedes terdapat gapura yang menuju ke halaman pasarean. Di halaman paseran ini terdapat juga Balai Loji, Telaga Padmawangi, Pawedayan, pawargan, Balai Terang, dan sebuah bangunan baru yang tidak jelas statusnya. Balai Terang adalah sebuah bangunan yang berfungsi sebagai tempat istirahat/tidur raja, berbentuk panggung yang seluruhnya terbuat dari kayu. Bagian atas bangunan yang terbuka dipergunakan untuk menikmati pemandangan ke arah Meru pura di sebelah timurnya. Pintu dan jendela Balai Terang ini bermotif bulan tunggal dan tumbuh-tumbuhan.

Di sebelah timur halaman pasarean terdapat Pura Kelasa atau Pura Narmada. Bentuk arsitekturnya menyerupai punden berundak. Bagian yang paling suci terdapat di halaman tengah pada undak yang paling atas (pura di Bali umumnya halaman paling suci adalah yang paling belakang). Pura ini tergolong pura jagat atau pura umum bagi semua penganut Hindu Dharma dan merupakan salah satu di antara delapan pura tua di Pulau Lombok. Pura Narmada terletak di atas tebing berundak-undak, sedang di bawah lembah tebing terdapat kolam duyung dan telaga segara anak.

Sebelah selatan halaman pasarean terdapat halaman patandaan. Pada halaman patandaan ini terdapat dua bangunan sakapat yaitu sejenis wantilan atau panggung terbuka bertiang empat. Pada halaman inilah sering diselenggarakan berbagai pertunjukan. Sedangkan di sebelah selatan Patandaan terdapat halaman bancingah. Yang tertinggal di halaman ini sekarang hanyalah tembok keliling halaman dengan dua gapura bentar.

Unsur-unsur bangunan yang lain sebenarnya masih banyak, antara lain pancuran sembilan (siwak) yang letaknya di atas Segara Anak. Bentuk bangunannya dorogancet dengan dua bagian terpisah menyerupai bangunan tradisional di Jawa Tengah. Bangunan ini termasuk bangunan sakral baik bagi penganut Hindu Dharma maupun penganut Waktu Tilu.

Selain itu, ada pula Balai Petirtaan yang sumber mata airnya berasal dari Gunung Rinjani. Balai Petirtaan juga merupakan tempat pertemuan tiga sumber air, yakni Suranadi, Lingsar, dan Narmada. Karena mata airnya berasal dari Gunung Rinjai dan tempat pertemuan tiga sumber mata air lainnya, maka air yang ada di Balai Petirtaan dipercaya dapat menjadikan orang yang meminum dan membasuh mukanya dengan air di situ akan awet muda.

Bangunan-bangunan lain di kompleks Taman Narmada dalam wujud pertamanan sudah sulit ditelusuri keasliannya. Menurut peta tahun 1899 taman di kompleks Taman Narmada diantaranya adalah: Taman Bidadari, Taman Anyar, Taman Paresak, dan Taman Kelasa. Taman Anyar dan Taman Kelasa saat ini telah menjadi perkampungan penduduk. Sedangkan Taman Paresak saat ini telah menjadi kebun buah-buahan dengan tanaman utamanya ialah buah manggis. (ali gufron)

Foto: http://parsenibud.lombokbaratkab.go.id
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1991. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://id.wikipedia.org
http://agribisnis.deptan.go.id
http://lombokbarat.go.id
http://www.nebula165.com

Candi Sambisari (Yogyakarta)

Lokasi dan Proses Penemuan
Candi Sambisari terletak di Dusun Sambisari, Desa Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman. Dari pusat Kota Yogyakarta kurang lebih jaraknya 12 kilometer. Candi ini baru ditemukan pada tahun 1966. Oleh karena itu, belum banyak yang mengetahuinya. Lokasinya berdekatan dengan Candi Prambanan, Candi Kalasan, dan Candi Sari. Jika seseorang ingin berkunjung ke sana, maka ia dapat menggunakan jasa angkutan umum yang berupa bus jurusan Yogyakarta-Solo, kemudian turun di kilometer 10 dan diteruskan dengan ojek atau dokar dengan jarak kurang lebih 2 kilometer.

Candi Sambisari ditemukan oleh seorang petani yang bernama Karyoinangun pada bulan Juni 1966 di ladangnya. Waktu itu, ketika sedang berladang, mata cangkulnya membentur batu yang keras. Setelah diperhatikan dan digali lebih dalam ternyata batu tersebut berukir dan tidak hanya satu. Menindaklanjuti penemuan tersebut, maka Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN) di Prambanan pun melakukan penelitian dan penggalian. Hasilnya menunjukkan bahwa tempat tersebut merupakan sebuah situs dari peninggalan masa lalu yang berupa kompleks percandian. Oleh karena itu, dilestarikan keberadaannya (dilindungi, dikembangkan, dan dimanfaatkan).

Penelitian Pra Pemugaran
Langkah awal yang dilakukan oleh cabang LPPN yang ada di Prambanan adalah membebaskan tanah yang merupakan kompleks peninggalan masa lalu itu (seluas 16.900 meter persegi) secara berangsur-angsur. Kemudian, sejak 1 September 1966 ekskavasi (penggalian) dengan bantuan tenaga mahasiswa. Peralatan yang digunakan dalam ekskavasi tersebut berupa cangkul, linggis, sekop, cetok, sudip bambu, pengki, keranjang, sandat, pikulan, gerobak dorong, waterpas, kompas, theodoleit, lot, roll meter serta tekel berkemampuan satu ton. Pasir yang bercampur dengan abu yang terangkat dalam kegiatan penggalian ini mencapai 55.912 m3. Pasir dan abu yang berlapis-lapis itu diperkirakan merupakan endapan perairan dan letusan gunung Merapi1.
Dari penggalian tersebut terkumpul data bangunan yang terletak pada kedalaman 6-6,50 meter di bawah permukaan tanah sekarang2. Bangunan ini dikelilingi oleh dua lapis tembok yang di dalamnya terdapat empat buah candi yang terdiri dari satu candi induk dan tiga candi perwara (candi pengiring yang lebih kecil). Selain itu, ditemukan pula benda-benda lepas seperti arca, lingga, yoni, umpak kotak peripih, tembikar, cermin logam, prasasti lempengan emas, dan perhiasan.

Berdasarkan arca-arca yang ditemukan seperti Durga, Agastya, Ganesha. dan longga-yoni membuktikan bahwa candi ini dibangun dengan konsepsi agama Hindu. Hal ini diperkuat dengan temuan tulisan Jawa kuno pada lempengan logam yang berbunyi “Om siwastana.../.../...” yang berarti tempat bagi Dewa Siwa. Bentuk atau gaya tulisan ini menurut beberapa ahli (Boechari dan Soediman) menunjuk ke sekitar permulaan abad ke-9 Masehi yang masih ada hubungannya dengan pemerintahan Rakai Garung (Raja Kerajaan Mataram Hindu).

Rekonstruksi
Setelah mengetahui letak candi dan sisa-sisa bangunannya, akhiranya pada tahun 1975 diputuskan untuk membangun kembali kompleks candi di tempat aslinya, yakni pada kedalaman 6,50 meter di bawah permukaan tanah sekarang. Rekonstruksi tersebut dilaksanakan dengan anggaran pembangunan Direktorat Sejarah dan Purbakala (DSP) melalui Program Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala.

Rekonstruksi dimulai dari candi induk, candi-candi lainnya, pagar kelililing, talut, dan akhirnya candi perwara. Pagar keliling dibuat dalam rangka pengeringan, kemudian talut dibuat sebagai penguat tebing untuk menahan agar tanah pasir di sekeliling candi tidak longsor dan menimbun halaman candi. Sedangkan, untuk pembuangan air yang menggenang dibuat saluran berkeliling dan disalurkan ke sungai terdekat yang lebih rendah. Selain itu, untuk memperindah kompleks Candi Sambisari, juga dibuat taman dan rumah jaga.

Pada tahun 1987 pemugaran dan rekontruksi ulang terhadap kompleks Candi Sambisari dapat diselesaikan sebagian dengan tetap mempertahankan posisi candi pada kedalaman 6,5 meter dari permukaan tanah. Oleh karena posisinya yang demikian, maka candi ini sering dijuluki sebagai candi bawah tanah.

Data Bangunan
Kompleks Candi Sambisari berdiri pada sebuah lahan persegi empat yang berukuran 50 x 48 meter dengan empat buah bangunan candi. Seluruh halaman candi dikelilingi oleh pagar yang terbuat dari batu putih, sedangkan candi-candinya berbahan batu andesit. Pintu masuk ke dalam kompleks Candi Sambisari terdapat di keempat sisinya. Diperkirakan kompleks candi bisa lebih luas jika diadakan penggalian lebih lanjut, namun dikhawatirkan tidak dapat menyalurkan air untuk dibuang karena posisinya lebih rendah daripada sungai yang ada di sebelah baratnya.

Seperti candi-candi yang lain, setiap candi di kompleks Candi Sambisari terdiri atas tiga bagian, yaitu: kaki, badan dan atap. Pada bangunan candi utama (terbesar) berbentuk bujur sangkar yang berukuran 15,65 x 13,65 meter dengan tinggi 7,5 meter. Sedangkan, badan candi berukuran 5 x 5 meter. Apabila diamati secara seksama, memperlihatkan bahwa alas dan kaki candi utama ini menjadi satu bagian (tidak mempunyai kaki candi sebenarnya dan hanya bertumpu pada alas yang sekaligus berfungsi sebagai kaki candi). Hal ini mengakibatkan bangunan tampak gemuk dan pendek, dan relung-relung pada tubuh candi terletak hampir rata dengan lantai selasar. Pintu masuk Candi Sambisari menghadap ke arah barat. Tangga untuk masuk dilengkapi dengan sayap yang di setiap ujungnya terdapat relief yang disangga oleh dua belah tangan makhluk kate.

Pada bagian luar badan candi terdapat relung-relung untuk menaruh patung. Yang masih ada kini adalah patung Durga di sebelah utara, patung Ganesha di sisi timur, dan patung Agastya di bagian selatan. Dua relung lain yang ada di kanan dan kiri pintu sudah kosong. Diperkirakan untuk patung dewa penjaga pintu, yaitu Mahakala dan Nadisywara. Sedangkan, pada bilik di dalam badan candi terdapat patung Siwa, Yoni dan Lingga berukuran besar. Selain itu, di depan candi induk (sekitar 8 meter) ada 3 buah candi perwara atau candi pendamping. Ukuran dasarnya 4,8 x 4,8 meter, dengan tinggi 5 meter. Namun candi-candi perwara itu belum direkonstruksi ulang secara sempurna. Sedangkan di seputar candi terdapat pagar tembok batu putih berukuran 50 m x 48 m. Saat ini saluran pembuangan air telah selesai dibangun, sehingga selama musim hujan candi tidak tergenang air. (gufron)

Foto:
http://www.eljohn.net

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1991. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://candidiy.tripod.com
http://www.tourism-info.jogja.com
http://www.wisatanet.com
http://www.jogja.com

1 Letak Candi Sambisari yang tidak begitu jauh dari Gunung Merapi, membuat lokasi ini sangat berdebu dan panas pada musim kering. Namun, pada musim hujan akan tergenang air, sebab letaknya yang berada di bawah tanah.
2 Berdasarkan penelitian geologis terhadap batuan candi dan tanah yang telah menimbunnya selama ini, candi setinggi 6 meter ini telah terbenam oleh material Gunung Merapi dalam letusan yang hebat pada tahun 1006 Masehi.

Suku Bangsa Abui (NTT)

Orang Abui adalah kelompok sosial yang berdiam di wilayah Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Mereka ini berdiam dalam wilayah bernama Likuwatang, Malaikawata, Kelaisi, Tafuikadeli, Atimelang dan Motang. Jumlah anggota kelompok ini relatif kecil, namun mereka mempunyai bahasa sendiri, yaitu bahasa Abui. Orang Abui merupakan salah satu dari puluhan kelompok kecil lainnya yang tergolonga penduduk asal di wilayah kabupaten ini.

Sumber:
Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Geguritan Udiatmika Carita

Kesusasteraan bercorak Panji sukar ditentukan kapan tercipta dan penyebarannya. Poerbatjaraka memberikan bukti dari segi bahasa bahwa dalam cerita-cerita Panji bahasa yang digunakan bukanlah bahasa Jawa kuno (seperti yang dikatakan oleh C.C. Berg), melainkan bahasa Jawa tengahan. Poerbatjaraka menunjukkan bukti bahwa dalam keseluruhan cerita Panji yang dikarang sekarang, baik yang ada di Jawa maupun yang ada di Bali, memakai tembang macapat (macapat verse) atau tembang tengahan (tengahan verse). Hal ini menunjukkan bahwa, ketika ditulis cerita Panji yang pertama, orang tidak lagi menggunakan wirama India yang tradisional itu.

Poerbatjaraka menyatakan bahwa berdasarkan isi dalam cerita Panji, nama tempat yang disebutkan mempunyai persamaan dengan yang ada dalam kitab Pararaton. Nama para pelaku dalam cerita Panji juga menampakkan persamaan dengan kitab Pararaton. Sebagai bukti, dinyatakan bahwa dalam cerita-cerita Panji dapat ditemukan nama-nama seperti lembu (sapi), kebo (kerbau), jaran, undahan, kuda (semuanya berarti kuda) yang hal ini dapat pula ditemukan pada piagam Hayam Wuruk dan Negara Kertagama.

Pernyataan Poerbatjaraka tersebut saling mendukung dengan pernyataan Th. Pegeaud yang menempatkan kesusastraan Panji ke dalam zaman Jawa Bali, yaitu hasil kesusastraan antara tahun 1500, Berdasarkan sejarah tradisi Jawa, pada tarikh itu, Raja Majapahit yang terakhir telah melarikan diri ke Bali karena terdesak oleh pemeluk agama Islam. Oleh karena itu, kesusastraan yang mereka bawa ke Bali mendapat tempat dan dapat berkembang dengan baik.

Geguritan Udiatmika Carita atau Geguritan Jae Jekuh merupakan geguritan bertema Panji yang berasal dari Bali. Dalam geguritan ini ditemukan pengembaraan Raden Mantri atau Raden Darmika yang ditinggalkan oleh isterinya, Dyah Udiatmika. Keperdian Dyah Udiatmika disebabkan oleh fitnah Dyah Gerong, istri Raden Darmika. Selama pengembaraannya, Raden Mantri atau Raden Darmika mengalami penderitaan, di antaranya disiksa oleh penduduk kampung karena disangka pencuri. Raden Darmika dalam upaya mencari istrinya banyak mendapat kesaktiak dari Pendeta Subudi. Selanjutnya sampailah Raden Darmika ke Negeri Mayura. Di tempat ini ia bertemu dengan Dyah Udiatmika. Akhirnya, setelah melalui perjuangan melawan tentara raksasa yang menyerang Negeri Mayura, Raden Darmika berhasil memboyong kembali Dyah Darmika dan sekaligus menikahi Dyah Smaratajun.

Berdasarkan isi cerita, dapat diketahui bahwa Geguritan Udiatmika Carita bertemakan ajaran hidup bagi seorang putra mahkota agar kelak bijaksana dalam memegang dan mengendalikan tampuk pemerintahan. Untuk lebih jelas, dapat disimak kutipan berikut ini.

Raden Mantri lalu rebah,
Setiap orang yang datang menyepaknya,
Ia telentang di tanah,
Dan orang-orang yang menyiksa itu lalu
Memaki-maki (1991: 148)

Dari kutipan tersebut dapat dihayati betapa besari penderitaan yang dialami oleh Raden Darmika dalam upaya mencari istrinya. Penduduk desa mengira bahwa ia adalah pencuri yang selama ini meresahkan penduduk tersebut. Di samping mengalami penderitaan dan cobaan yang lain, Raden Darmika dan pengiringnya, Pagag dan Pageg menyamar menjadi dukun dan penjual bunga.

Jangan kurang berhati-hati Tuanku,
Setelah sampai maupun selama di perjalanan,
Jalannya sebagai penyamar,
Pagag Pageg agar mengiringkannya,
Yang lain menjual bunga,
Berpakaian sebagai seorang wanita,
Agar Tuanku tidak dikenal,
Sebagai dukun sampai di istana itu,
Sambil Tuanku menjual bunga,
Pasti beliau akan dilihat,
Tuanku putri beliau sakit,
Mengenangkan bagian raja (1991: 275)

Dengan penyamaran tersebut mereka berharap dapat bertemu dengan Dyah Udiatmika, istri Raden Darmika, yang saat ini sedang berada di istana raja siluman bernama Durgasmala. Motif penyamaran dalam rangka menemukan istri yang dilakukan oleh Raden Darmika dan penyamaran untuk menemukan suami yang dilakukan oleh Dyah Udiatmika merupakan salah satu ciri khas dalam pola cerita Panji. Dalam upayanya melepaskan diri dari cengkeraman raja siluman Durgarmala, Udiatmika dengan pertolongan Candrasih menyamar menjasi deorang laki-laki.

Candrasih kembali berkata: “Carilah jalan
Dengan menyamar, tidak akan salah anak
Cantik, sekarang pikirkanlah ptung ini
Agar orang yang mengerjakannya tertarik.” (1991:310).

Penyamaran tersebut berhasil menipudaya Raja Durgasmala, yang kemudian justru terpesona kepada patung yang ditinggalkan oleh Udiatmika, sehingga Udiatmika dapat melarikan diri dengan menaiki kuda putih yang sudah dipersiapkan oleh Raden Darmika. Akhirnya Raden Darmika dan Dyah Udiatmika dapat berkumpul kembali dengan bahagia.

Sumber:
Bagus, I Gusti Ngurah. 1991. Geguritan Udiatmika Carita. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1994. Khasanah Budaya Nusantara V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Abung Bunga Mayang (Sumatera Selatan)

Abung Bunga Mayang yang biasanya disebut orang Abung, adalah salah satu kelompok asli di Provinsi Sumatera Selatan. Daerah asalnya di Kecamatan Kayuagung dan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Pada tahun 1988 penduduk Kecamatan Kayuagung berjumlah 105.536 dan penduduk Kecamatan Mesuji berjumlah 73.041 jiwa. Dari jumlah tersebut tidak diketahui secara pasti jumlah orang Abung, hanya dapat diperkirakan sekitar 30.000 jiwa lebih. Bahasa Abung masih termasuk rumpun bahasa Melayu.

Mata pencaharian pokoknya bertani di sawah dan ladang, serta berdagang. Di kalangan masyarakat berkembang pula seni kerajinan tembikar. Dari bahan-bahan yang terdapat di sekitar mereka, seperti rotan dan pandan, penduduk mengembangkan industri kerajinan membuat anyaman.

Pada dasarnya penarikan garis keturunannya cenderung bersifat bilateral, yaitu dari pihak ayah dan dari pihak ibu. Akan tetapi keluarga-keluarga batih yang terbentuk kebanyakan bersifat matrilokal atau tinggal di sekitar kediaman pihak istri. Kini umumnya pasangan pengantin langsung menempati kediaman yang sama sekali baru (neolokal), tanpa harus menetap sementara di kediaman pihak istri.

Sistem kemasyarakatannya dipengaruhi oleh adat Simbur Cahaya. Pengaruh agama Islam juga terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Nafas keagamaan serta unsur kebudayaan Melayu terlihat dalam bentuk-bentuk kesanian yang berkembang.

Sumber:
Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Suku Bangsa Alune (Maluku)

Alune yang biasa juga disebut duku bangsa Alifuru, dan kata alifuru itu berarti “manusia awal”. Itulah sebabnya orang Alune dan juga orang Wemale dianggap sebagai penduduk asli Pulau Seram dan dari sanalah kemudian menyebar ke pulau-pulau sekitarnya terutama di Maluku Tengah. Orang Alune atau Alifuru ini biasa juga disebut sebagai orang Seram sesuai dengan nama pulau ini. Sumber tertentu, seperti Nelly Tobing (Ed.) dalam Sistem Kesatuan Setempat Daerah Maluku (1980/1981) menyatakan orang Alune umumnya berdiam di daerah pantai. Akan tetapi pihak Departemen Sosial mengkategorikan kelompok ini sebagai “masyarakat terasing”, dan berdiam di bagian pedalaman seperti yang pernah diteliti di bagian pedalaman wilayah Kecamatan Kairatu di Pulau Seram tadi (Lihat Rusmaniar, “Masyarakat Terasing Suku Alune”, Profil Masyarakat Terasing di Indonesia 1988: 33-40).

Pada tahun 1985 penduduk kecamatan tersebut berjumlah 37.765 jiwa, di antaranya adalah orang Alune yang berjumlah 523 iwa yang tergabung dalam 117 KK. Dilihat dari ciri-ciri fisik, mereka termasuk ras Mongoloid dengan rambut hitam kejur, kulit sawo matang, tinggi sekitar 155-165 cm. Bahasanya adalah bahasa Alune yang termasuk golongan bahasa Melayu. Mereka tergolong orang yang mempunyai sikap ramah, terbuka, suka menghormati orang lain, meskipun sering berkelahi dalam pertemuan-pertemuan adat. Menurut Tobing, Ed. (1980/1981: 65) ciri budaya orang Alune di masa lalu mempunyai kebiasaan menghitamkan gigi, para wanitanya memakai kain kanune yaitu kain yang terbuat dari kulit kayu, dan nasi sebagai makanan pokoknya.

Orang alune dikenal sebagai “manusia Nunusaku”, di mana Nunusaku adalah nama sebuah tempat berupa danau di puncak sebuah gunung di Pulau Seram. Danau sumber mata air dari beberapa batang sungai itu dianggap suci dan keramat. Tempat inilah yang dipercayai sebagai tempat asal usul manusia asli Pulau Seram, yang kemudian menyebar ke pulau-pulau sekitarnya.

Mata pencaharian mereka adalah berladang berpindah dengan sistem tebang-bakar *slash and burn) dan meramu sagu. Tanaman utama di ladang itu ialah ubi rambat, talas, pisang, sayur-sayuran. Kebun yang sudah ditinggalkan ditanami cengkeh dan buah-buahan. Mata pencaharian sambilan adalah menyadap getah damar dan berburu binatang. Makanan pokok mereka adalah talas, ubi kayu, dan sagu.

Penarikan garis keturunan dalam sisitem kekerabatannya bersifat patrilineal, dengan adat menetap nikah yang patrilokal. Kedudukan anak laki-laki dipandang lebih tinggi daripada anak perempuan. Hubungan dan pergaulan antara remaja laki-laki dan remaja perempuan tidak bebas. Suatu perkawinan dilalui dengan peminangan, meskipun antara mereka juga mengenal kawin lari karena pinangan tadi ditolak oleh pihak perempuan. Mereka juga mengenal adat mas kawin.

Pada masa terakhir ini mereka sudah mulai mengenal agama tertentu terutama agama Kristen. Namun kepercayaan asli nenek moyang seperti roh-roh leluhur masih kuat dipercayai sebagai pelindung dan memberi keselamatan kepada kehidupan mereka. Mereka pun percaya kepada makhluk-makhluk jahat yang bisa mendatangkan panyakit.

Sumber:
Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Cara Merawat Laptop

Cara merawat dan memperpanjang umur pemakaian laptop
01. Jauhkan laptop dari medan magnet yang kuat, bahan cair dan sumber panas/dingin atau perubahan suhu yang ekstrim.

02. Hindari sinar matahari langsung dan pastikan laptop selalu diletakkan pada permukaan yang rata.

03. Menurut survei, kerusakan laptop yang paling umum terjadi pada harddisk dan LCD display/layar. Kerusakan harddisk diakibatkan benturan atau terjatuh. Kerusakan LCD biasanya karena terpapar sinar matahari dan tekanan fisik.

04. Rapikanlah kabel-kabel adaptor atau kabel lain yang sedang terhubung dengan laptop, jangan sampai membuat orang lain tersandung.

05. Selain kerusakan harddisk dan LCD, tumpahan cairan adalah penyebab kerusakan laptop yang paling umum, atau pakai selembar film-transparan yang disebut ‘keyboard protector’.

06. Getaran adalah musuh laptop yang lain. Jauhkan laptop dari alat pengeras suara, misalnya loudspeaker, mesin/kendaraan berat, dan sumber getaran lainnya.

07. Hindarkan laptop dari sinar x-ray di airport.

08. Jaga kebersihan laptop, lap dengan kain bersih agar bebas debu.

09. Lindungi modem laptop. Gunakan modem yang mempunyai fitur digital-line guard. Karena fitur ini akan menjaga modem dari kerusakan jika secara tidak sengaja mencolokkan kabel modem ke jack telpon digital PABX atau jalur ISDN. Dan berhati-hatilah ketika akan mencolokkan kabel telepon ke laptop karena kawat logam dalam konektor modem laptop sangat tipis dan mudah bengkok.

10. Dalam iklim Asia, suhu yang lembab bisa jadi masalah besar untuk laptop yang dirancang di Amerika Serikat. Untuk mengurangi kemungkinan masalah, pastikan laptop tersimpan di tempat yang kering dan sejuk. Jika laptop tidak digunakan untuk waktu yang lama, simpanlah laptop dalam wadah yang rapat dan masukkan silica gel . Silica gel ini seperti halnya yang terdapat dalam botol obat, kemasan barang2 elektronik (bungkusan kecil bertuliskan ‘Dessicant Silica Gel’). Atau bisa dibeli di toko bahan kimia. Silica gel ini merupakan bahan kimia yg bersifat Higroskopis (menyerap uap air / kelembaban).

11. Listrik padam dan gangguan tegangan dapat terjadi sewaktu-waktu, di rumah, di kamar hotel atau di kantor. Jika memungkinkan, gunakanlah ’surge-protector’ jika sedang menggunakan AC outlet. Dan jangan lupa membuat back-up data secara rutin.

12. Gunakanlah selalu tas laptop ketika sedang bepergian.

13. Jika ingin membungkus laptop untuk dikirim atau untuk keperluan lain, gunakanlah kotak pelindung yang kuat, dan bungkuslah dengan busa atau spons yang dapat menyerap getaran.

14. Jangan sekali-sekali meletakkan benda berat di atas laptop.

15. Jika laptop bermasalah, jangan mencoba untuk membongkar sendiri. Sebaiknya serahkan ke teknisi atau service-center terdekat. Karena mungkin saja kerusakan malah akan menjadi semakin berat. Khusus untuk laptop yang masih dalam masa garansi - membongkar laptop dapat merusak sticker garansi (warranty seal) yang masih melekat pada laptop.

16. Ketika akan mengangkat laptop yang sedang terbuka, jangan mengangkatnya sambil memegang pada bagian display/layar, angkatlah pada bagian bawah/keyboard.

17. Jangan memasukkan disket pada bagian sudutnya. Memasukkan disket setengah-setengah dapat merusak disk-drive. Begitu juga ketika membuka atau menutup tray drive CD-ROM/DVD-ROM untuk memasukkan atau mengeluarkan disk. Jangan menyentuh lensa pada tray CD-ROM. Peganglah compact-disc pada bagian pinggir, bukan pada permukaan disk.

18. Jangan mencolokkan kabel modem laptop pada PBX (private branch exchange) atau saluran telpon digital. Laptop hanya dapat menggunakan saluran PSTN (public-switched telephone network). Penggunaan saluran telpon selain PSTN dapat merusak modem laptop.

19. Jauhkan laptop dari anak kecil.

20. Rawatlah baterai laptop, jangan sampai bocor karena dapat merusak slot baterai.

Sumber:
http://febri.wordpress.com/

Suku Bangsa Abal (Kalimantan Selatan)

Abad adalah salah setu kelompok orang Dayak yang berdiam di Desa Halong Dalam, Desa Aong, dan Desa Suput. Ketiga desa ini merupakan bagian wilayah administratif Kecamatan Haruai, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan. Kecamatan Haruai yang luasnya 861,27 km2 pada tahun 1990 berpenduduk 21.948 jiwa, namun tidak tersedia data jumlah orang Dayak Abal di antara jumlah tersebut. Orang Abal ini mempunyai bahasa sendiri yakni bahasa Abal. Antara sesamanya mereka menggunakan bahasa Abal sebagai bahasa ibu, namun dengan orang luar misalnya dengan orang Banjar, atau Dayak Maanyan, Dayak Dusun Deyah yang penduduk asal di kabupaten ini, mereka menggunakan bahasa Banjar sebagai bahasa pengantar. Pengaruh orang Banjar menyebabkan mereka telah lama memeluk agama Islam, dan asimilasi dengan orang Banjar ini terjadi sedemikian rupa sehingga budaya lama mereka sendiri sudah hampir-hampir punah. Seperti penduduka Kabupaten Tabalong umumnya, mereka hidup dari sektor pertanian dan hasil hutan.

Sumber:
Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sistem Kepercayaan Orang Mentawai

Mayoritas orang Mentawai memeluk agama Katolik dan sebagian beragama Protestan, Islam atau Bahai. Walaupun demikian sebagian besar orang Mentawai tetap memegang teguh religinya yang asli, ialah Arat Bulungan. Arat berarti “adat” dan bulungan berasal dari kata bulu (= daun).

Dalam religinya, bukan hanya manusia yang mempunyai jiwa, tetapi juga hewan, tumbuh-tumbuhan, batu, air terjun sampai pelangi, dan juga kerangka suatu benda. Selain dari jiwa, ada berbagai macam ruh yang menempati seluruh alam semesta, yakni di laut, udara, dan hutan belantara.

Menurut keyakinan orang Mentawai, jiwa manusia atau magere terletak di ubun-ubun kapala. Jiwa itu suka berpetualang di luar jasmani saat orangnya tidur, yang merupakan mimpinya.

Bila jiwa keluar dari tubuh bisa terjadi bahwa jiwa itu bertemu dengan ruh jahat. Akibatnya tubuh akan sakit, dan bila jiwa dalam keadaan itu mencari perlindungan pada ruh nenek-moyang, maka tubuh mungkin akan meninggal. Jiwa tak akan kembali lagi ke tubuh dan menjadi ketsat (ruh).

Tubuh orang yang telah ditinggalkan magere atau jiwanya menjadi ketsat atau ruh, atau dengan lain kata, orang tersebut telah meninggal. Tubuh yang ditinggalkan berwujud daging dan tulang itu dianggap masih ada jiwanya, yang disebut pitok. Pitok inilah yang amat ditakuti oleh manusia, karena substansi itu akan berupaya mencari tubuh manusia lain, agar bisa tetap berada di dunia yang fana ini. Untuk menghindarinya pitok ini diusir dari rumah orang yang meninggal maupun dari uma dengan upacara karena di tempat itu pitok itu juga bisa bersembunyi mencari mangsanya.

Seperti dalam banyak sistem religi di dunia, religi asli orang Mentawai juga mempunyai masa nyepi, atau menghentikan aktivitas hidup untuk sementara, yatu masa lia dan punen yang dianggap suci. Lia adalah menghentikan aktivitas hidup dalam rangka keluarga inti, dan biasanya menyangkut masa-masa yang penting sepanjang hidup, seperti membangun lalep, atau rumah tangga inti, kelahiran, perkawinan, masa ada anggota keluarga sakit, kematian, dan membuat perahu. Punen adalah nyepi dalam rangka masyarakat dewa sebagai keseluruhan dan biasanya menyangkut masa sebelum dan sesudah membangun uma, kecelakaan, saat berjangkitnya wabah penyakit menular, dan pada waktu terjadi kecelakaan atau karena pembunuhan, yang mengakibatkan banyak orang mati.

Apabila anggota suatu keluarga menjalankan lia atau punen, mereka tak boleh bekerja. Bahkan seperti telah tersebut di atas, kalau pada masa lia atau punen terjadi kematian, jenazah tak boleh diurus dulu tetapi dibiarkan saja dan hanya ditutup daun.

Walaupun semua aktivitas berhenti, untuk waktu yang lama kadang-kadang sampai berminggu-minggu, orang diperbolehkan makan dan minum seperti biasa. Karena itu lia dan punen itu tidak merupakan puasa.

Punen yang berlangsung lama adalah punen untuk pengukuhan rimata dan sikere, yaitu pemimpin dan dukun. Upacara yang menyertai punen bisa berlangsung sekitar dua bulan.

Erat kaitannya dengan konsep lia dan punen adalah konsep pantangan atau keikei, yaitu melanggar pantangan, terutama dalam masa-masa yang suci (atau dalam rangka upacara-upacara yang suci) dan pelanggarannya akan dihukum dengan hukuman gaib. Hukuman gaib itu harus dihilangkan dengan denda-adat atau tulon tersebut di atas.

Untuk menempatkan benda-benda baru ke dalam uma, harus diadakan upacara terlebih dahulu, dan benda baru tersebut harus diletakkan di samping benda yang lama. Tujuannya adalah agar supaya bajou dari benda yang lama tidak marah dan agar “mereka” dapat berkenalan. Tanpa upacara akan terjadi sesuatu di dalam uma yang bersangkutan. Begitu juga dengan kedatangan orang dari kelompok kerabat lain ke dalam uma, seperti misalnya dalam perkawinan, disertai upacara yang gunanya untuk menetralisir pengaruh bajou. Bajou dapat membawa penyakit panas dan demam, karena itu benda-benda yang ada di dalam uma harus diperciki air yang bermantera.

Benda-benda Perantara Antara Dunia Gaib dan Nyata
Serupa dengan di semua sistem kepercayaan atau religi lokal di dunia, arat sabulungan orang Mentawai juga mengenal ilmu gaib yang berdasarkan dua keyakinan, ialah (1) keyakinan akan adanya hubungan gaib antara hal-hal yang walaupun berbeda fungsinya, mirip wujud, warna, sebutan atau bunyinya; dan (2) keyakinan akan adanya kekuatan gaib yang sakti tetapi tak berkemauan atau bajou dalam alam sekitar manusia.

Baik segala macam ilmu gaib produktif yang merupakan bagian dari upacara kesuburan tanah misalnya, atau ilmu gaib protektif yang juga sangat penting dalam ilmu obat-obatan dan penyembuhan penyakit secara tradisional, maupun segala macam ilmu gaib destruktif yang antara lain dipergunakan dalam ilmu sihir dan guna-guna, semuanya bisa dikembalikan kepada kedua keyakinan tersebut di atas. Ilmu gaib produktif dan protektif yang biasanya merupakan ilmu gaib putih atau baik, dilakukan oleh sikerei, sedang ilmu gaib destruktif yang biasanya merupakan ilmu gaib hitam atau jahat dilakukan oleh pananae. Seperti juga dalam banyak sistem kepercayaan dan religi lokal di dunia, kekuatan sakti yang tak berkemauan (bajou), dalam sistem kepercayaan orang Mentawai juga dianggap beradal dalam segala hal yang luar biasa dan dalam benda-benda keramat, serta dalam uma (sebagai rumah umum yang keramat). Benda-benda itu, yang seperti telah tersebut di atas adalah amat simagere, batu kerebau buluat, orat simagere, dan tudukut, serta dapat ditambah lagi dengan sejumlah daun-daunan dan akar-akar kering dari tumbuh-tumbuhan berkhasiat yang disebut bakkat katsaila, berfungsi sebagai jimat (tae) penolak bahaya gaib atau sebagai benda untuk mengundang ruh yang baik.

Sumber:
Koentjaraningrat, dkk. 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Perahu Pinisi

Asal Usul
Bugis adalah salah satu sukubangsa yang ada di daerah Sulawesi Selatan. Sukubangsa ini sejak dahulu telah memiliki catatan tersendiri dalam sejarah bahari Indonesia. Banyak bukti yang menunjukkan kepiawaian mereka dalam mengarungi lautan. Hal itu disebabkan karena dalam berdagang (memasarkan hasil buminya), mereka tidak hanya mengarungi daerah-daerah di sekitar mereka, tetapi juga daerah lain di Indonesia, bahkan mancanegara. Oleh karena itu, mereka tidak hanya mengarungi perairan wilayah Indonesia, tetapi juga di perairan-perairan negara lain seperti: Malaysia, Philipina, Australia hingga ke Madagaskar (Afrika Selatan). Alat transpotasi yang digunakan adalah berbagai jenis perahu tradisional yang ada di kalangan orang Bugis-Makassar, seperti: pinisi, lambo’ (palari), lambo’ calabai, jarangka’, soppe’, dan pajala. Namun demikan, yang paling populer hingga saat ini adalah pinisi. Kepopuleran inilah yang kemudian membuahkan sebutan “perahu bugis” karena yang menggunakannya kebanyakan orang Bugis atau setidaknya bisa berbahasa Bugis.

Ada beberapa versi mengenai asal usul perahu pinisi. Versi yang pertama mengatakan bahwa perahu pinisi adalah buatan bangsa Prancis dan Jerman. Hal ini diperkuat oleh adanya tulisan dari peneliti asing mengenai seseorang yang berketurunan Prancis-Jerman yang bernama Martin Perrot yang melarikan diri ke Kuala Trengganu. Di sana ia menikahi seorang gadis Melayu. Di sana ia bekerja sebagai tukang kayu. Pada suatu hari, Raja Trengganu, Sultan Baginda Omar, memerintahkan untuk membuat sebuah perahu yang menyerupai perahu dari negeri Barat. Mendapat perintah itu, ia pun membuat perahu layar yang bertiang dua. Dan, itu mirip dengan perahu pinisi yang ada sekarang.

Versi lainnya, khususnya dari daerah Sulawesi Selatan, mengatakan bahwa perahu pinisi sudah ada sekitar abad ke-14 atau 16 Masehi. Orang yang pertama membuatnya adalah putera mahkota kerajaan Luwu yang bernama Sawerigading. Tokoh ini merupakan tokoh legendaris yang ada dalam Lontarak I babad La Galigo. Dalam babad tersebut diceritakan bahwa suatu hari, ketika Sawerigading pulang dari pengembaraannya, ia melihat saudara kembarnya (Watenri Abeng) dan jatuh hati kepadanya. Tentu saja hal ini membuat marah ayahnya (Raja Luwu). Untuk menghibur hati Sawerigading, Watenri Abeng menyuruhnya untuk pergi ke negeri Tiongkok, karena di sana konon ada seorang puteri yang wajahnya mirip dengannya. Puteri Tiongkok tersebut bernama We Cudai. Namun, untuk dapat pergi ke sana diperlukan perahu yang tangguh dan kuat. Sementara, Sawerigading tidak memilikinya. Padahal, untuk membuatnya diperlukan kayu yang berasal dari pohon welengreng atau pohon dewata yang adanya di daerah Mangkutu. Celakanya, pohon tersebut dianggap keramat, sehingga tidak ada orang yang berani menebangnya. Untuk itu, diadakanlah upacara besar-besaran yang bertujuan agar penunggu pohon bersedia pindah ke tempat atau pohon lain. Upacara tersebut dipimpin langsung oleh neneknya yang benama La Toge Langi (Batara Guru). Konon, setelah pohon welengreng tumbang, pembuatan perahu dibantu oleh neneknya dan dilakukan secara magis di dalam perut bumi. Ketika perahu sudah jadi, Sawerigading pun berangkat ke negeri Tiongkok. Ia bersumpah tidak akan kembali ke Luwu.

Singkat ceritera, Sawerigading berhasil mempersunting Puteri We Cundai dan tinggal di negeri Tiongkok. Setelah lama di sana, ia rindu pada tanah kelahirannya. Dan, suatu hari ia berlayar menuju Luwu. Namun, ketika perahu hendak berlabuh di pantai Luwu, tiba-tiba ada gelombang besar yang menghantamnya, sehingga pecah. Kepingan-kepingannya terdampar di beberapa tempat. Sebagian badannya terdampar di pantai Ara, tali temali dan layar perahu terdampar di daerah Tanjung Bira, dan lunas perahu terdampar di daerah Lemo-Lemo. Dan, oleh orang-orang yang tinggal di ketiga daerah tersebut, kepingan-kepingan tadi disusun kembali, sehingga ada kepercayaan bahwa nenek moyang merekalah yang merekonstruksi perahu milik Sawewigading yang kemudian dikenal sebagai pinisi. Demikianlah, sehingga keturunannya mewarisi keahlian-keahlian tertentu dalam pembuatan, bahkan mengemudi pinisi. Dalam konteks ini, orang Ara ahli dalam membuat tubuh dan bentuk perahu; orang Lemo-lemo ahli dalam finishing perahu; dan orang Tanjung Bira ahli mengemudi perahu (nahkoda dan awal perahu). Kekhasan-kekhasan itulah yang kemudian memunculkan ungkapan yang berbunyi:"Panre patangan'na Bira, Paingkolo tu Arayya, Pabingkung tu Lemo Lemoa", artinya "ahli melihat dari Bira, ahli memakai singkolo (alat untuk merapatkan papan) dari Ara, dan ahli menghaluskan dari Tana Lemo". Berdasarkan ungkapan itu, maka banyak orang yang meyakini, khususnya orang Bugis-Makassar, bahwa perahu pinisi yang bagus (sempurna) adalah pinisi yang dibuat oleh orang Ara dan Tana Lemo.

Proses Pembuatan Pinisi
Pembuatan pinisi dilakukan di sebuah galangan kapal sederhana yang disebut sebagai bantilang, dengan teknik ruling1). Orang yang sangat berperan dalam pembuatan pinisi adalah punggawa (kepala tukang atau tukang ahli). Ia dibantu oleh para sawi (tukang-tukang lainnya) dan calon-calon sawi. Selain itu, dibantu juga oleh tenaga-tenaga yang lain, sehingga secara keseluruhan melibatkan puluhan orang. Sebagai suatu proses, tentunya pembuatan pinisi dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Berikut ini adalah tahap-tahap yang mesti dilakukan dalam pembuatan sebuah perahu yang oleh orang Bugis disebut pinisi.

Pencarian dan Penebangan Pohon
Pohon yang dicari adalah welengreng atau dewata karena kedua jenis pohon tersebut disamping kuat, juga tahan air. Pencariannya pun tidak dilakukan pada sembarang hari, tetapi pada hari-hari tertentu, yaitu hari kelima dan ketujuh pada bulan dimulainya pembuatan perahu. Ini ada kaitannya dengan kepercayaan bahwa angka 5 (naparilimai dalle’na) oleh orang Tana Beru dianggap sebagai angka yang baik karena mempunyai arti “rezeki sudah di tangan”. Sedangkan, angka 7 (natujuangngi dalle’na) berarti “selalu mendapat rezeki”. Setelah pohon yang memenuhi persyaratan ditemukan, maka penebangan pun dilakukan. Akan tetapi, sebelumnya diadakan semacam upacara persembahan karena jenis pohon itu dipercayai ada “penunggunya”. Dalam upacara ini, yang dijadikan sebagai korban adalah seekor ayam. Tujuannya adalah agar penunggu pohon tersebut tidak marah dan pindah ke tempat lain, sehingga segala sesuatu yang tidak diinginkan tidak terjadi. Dengan perkataan lain, penebangan dapat berjalan lancar dan selamat. Pohon yang telah ditebang itu kemudian dibawa ke bantilang.

Pengeringan dan Pemotongan Kayu
Sebelum pohon (kayu) dipotong-potong sesuai dengan keinginan, ketika peletakan balok lunas, ada semacam ritual. Dalam konteks ini, balok lunas diletakkan di bawah kayu yang akan dijadikan bahan pembuatan pinisi dan salah satu ujungnya diarahkan (dihadapkan) ke Timur Laut. Ujung balok lunas yang mengarah ke Timur Laut ini merupakan simbol laki-laki. Sedangkan, ujung yang satu lagi yang arahnya berlawanan merupakan simbol perempuan. Sebelum dipotong-potong sesuai dengan keinginan, maka bahan (kayu-kayu) tersebut dikeringkan. Kemudian, kayu yang akan dipotong ditandai dengan pahatan disertai pembacaan doa dengan tujuan agar kayu tersebut dapat berfungsi dengan baik ketika telah menjadi perahu.

Satu hal yang perlu diperhatikan dalam pemotongan adalah mata kampak atau gergaji harus tepat pada arah urat kayu. Selain itu, pemotongan harus sampai selesai (tidak boleh berhenti sebelum kayu terpotong). Dengan cara seperti itu kekuatan kayu tetap terjamin. Sebagai catatan, pemotongan kayu dimulai pada bagian ujung-ujungnya. Salah satu potongan ujungnya dibuang ke laut sebagai penolak bala dan sekaligus sebagai simbol peran laki-laki (suami) yang mencari nafkah di laut. Sedangkan, ujung yang satunya disimpan di rumah sebagai simbol peran perempuan (isteri) yang menunggu suami pulang.

Perakitan
Setelah lunas terbentuk dan dihaluskan, maka langkah berikutnya adalah pemasangan papan pengapit lunas (soting). Pemasangan ini disertai dengan suatu upacara yang disebut kalebiseang. Kemudian disusul dengan pemasangan papan yang ukurannya berbeda-beda (dari bawah ke atas). Papan yang kecil ada di bagian bawah, sedang papan yang besar ada di bagian atas. Keseluruhannya berjumlah 126 buah. Sebagai catatan, sebelum pemasangan dilakukan, ada upacara yang disebut anjerreki, yaitu upacara yang bertujuan untuk memperkuat lunas. Setelah papan tersusun, pekerjaan diteruskan dengan pemasangan buritan dan tempat kemudi bagian bawah. Selanjutnya, badan perahu yang telah terbentuk tetapi masih belum sempurna karena masih banyak sela-selanya, khususnya antarpapan yang satu dengan lainnya, maka sela-sela tersebut perlu ditutup dengan majun. Pekerjaan ini, oleh masyarakat setempat disebut sebagai “a’panisi”. Kemudian, agar sambungan antar papan dapat merekat dengan kuat, maka sambungan-sambungan tersebut diberi perekat yang terbuat dari sejenis kulit pohon barruk.

Setelah papan merekat kuat, pekerjaan selanjutnya adalah “allepa” atau mendempul. Bahannya adalah campuran kapur dan minyak kelapa. Campuran tersebut diaduk oleh sedikitnya enam orang selama sekitar 12 jam. Banyaknya dempul yang diperlukan bergantung dari besar-kecilnya perahu yang dibuat. Untuk perahu yang bobotnya mencapai 100 ton, maka dempul yang diperlukan sekitar 20 kilogram. Selanjutnya, badan perahu yang telah dilapisi dengan dempul itu dihaluskan dengan kulit buah pepaya.

Penggunaan bahan-bahan sebagaimana disebut di atas (kulit pohon barruk dan kulit buah pepaya), ada kaitannya dengan mitos penciptaan pinisi yang menggunakan kekuatan magis. Mengacu kepada mitos itu, orang-orang di Tana Beru merasa bahwa komunitas mereka sebagai mikrokosmos, yaitu bagian dari jagad raya (makrokosmos). Hubungan antara kedua kosmos ini diatur oleh tata tertib abadi, sakral, dan telah dilembagakan oleh nenek moyang mereka sebagai adat istiadat. Kedua kosmos ini dijaga harmoninya, sehingga ada kecenderungan mempertahankan yang lama dan menolak atau mencurigai yang baru. Inilah yang kemudian menjadi penyebab mengapa mereka tidak begitu terpengaruh dengan teknologi modern.

Pandangan di atas juga berpengaruh pada aktivitas di galangan perahu (bantilang), yang prosesnya diibaratkan bayi dalam kandungan. Hal ini terlihat, misalnya, dalam upacara pemotongan lunas perahu (anatra kalebeseang). Pemotongan dan penyambungan balok-balok yang melambangkan perkawinan (persetubuhan) antara jantan dan betina sebagai “janin perahu”, kemudian menjadi “bayi perahu”. Selain itu, ada juga upacara pemberian pusat perahu (pamossi) yang melambangkan saat kelahiran (bayi) perahu ke laut lepas, seperti kelahiran manusia ke dunia dari kandungan ibunya. Dalam hal ini punggawa berperan sebagai ibu dan sekaligus sebagai “bidan”.

Sesuai dengan pandangan kosmos mereka, segala sesuatu dilihat dari segi totalitas yang berkaitan secara organik, sehingga pelanggaran terhadap “sebuah pantangan” akan berakibat fatal kepada keseluruhan (bayi) perahu yang akan dilahirkan. Pantangan terberat adalah apabila pihak sombali menyakiti hati punggawa. Kalau hal ini terjadi, perahu yang telah dibuat “tidak mau bergerak” ketika didorong ke laut. Ini disebabkan punggawa (sebagai ibu) tidak rela apabila “bayi” perahunya diserahkan kepada orang yang telah menyakiti hatinya. Oleh sebab itu, sombalu yang arif akan segera menghubungi sang punggawa untuk melakukan “perdamaian”. Apabila perahu diluncurkan secara paksa, perahu tersebut akan cacat sesudah sampai di laut. Jadi, ketangguhan perahu di laut bukan saja karena faktor teknis, tetapi juga karena faktor magis (gaib).

Pemasangan Tiang Layar
Setelah badan dan kerangka perahu selesai, maka pekerjaan selanjutnya adalah memasang tiang dan layar. Perahu pinisi biasanya menggunakan dua layar besar yang disebut sombala. Layar yang satu terpasang di bagian depan. Layar ini berukuran sekitar 200 meter persegi. Sedangkan, layar yang lainnya terletak lebih ke belakang dengan ukuran sekitar 125 meter persegi. Di atas setiap layar besar itu terdapat sebuah layar berbentuk segi tiga yang disebut tanpasere. Selain layar utama, pada bagian haluan dilengkapi tiga layar pembantu yang juga berbentuk segi tiga. Layar ini masing-masing disebut cocoro pantara (di bagian depan), cocoro tangnga (di tengah), dan tarengke (di bekalangnya). Sebagai catatan, pemasangan layar baru dilakukan setelah perahu sudah mengapung di laut.

Peluncuran Pinisi
Sebelum penisi diluncurkan ke laut, ada upacara yang dipimpin oleh punggawa. Jika pinisi yang akan diluncurkan bobotnya kurang dari 100 ton, maka binatang yang dijadikan korban adalah seekor kambing. Akan tetapi, jika bobotnya lebih dari 100 ton, maka yang dijadikan korban adalah seekor sapi. Adapun doa yang diucapkan sebagai berikut: “Bismillahir Rahmanir Rahim Bulu-bulunnako buttaya, patimbonako bosiya, kayunnako mukmamulhakim, laku sareang Nabi Haidir” (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Kau adalah bulu-bulunya tanah, tumbuh karena hujan, kayu dari kekayuan dari Mukma-nul Hakim saya percaya Nabi Haidir untuk menjagamu).
Setelah upacara selesai, perahu ditarik oleh para sahi dan calon sahi menuju ke laut.

Peluncuran biasanya dilakukan pada saat air laut sedang pasang (tengah hari). Lamanya bisa berhari-hari (biasanya sampai 3 hari). Pemasangan layar dilakukan ketika perahu sudah mengapung di laut. Dan, dengan mengapungnya perahu di laut dan terpasangnya layar, maka punggawa dan para sahinya yang selama sekitar enam bulan membuatnya, berakhir. Sebagai catatan, setiap perahu pinisi mempunyai nama tersendiri, seperti: Pajjala, Banggo, dan Sadek.

Nilai Budaya
Pinisi, sebagai salah satu identitas Orang Bugis, jika dicermati secara saksama, khususnya dalam proses pembuatannya, mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu, antara lain: kerjasama, kerja keras, ketelitian, keindahan, dan religius.

Nilai kerjasama tercermin dalam hubungan antara punggawa (kepala tukang atau tukang ahli), para sawi (tukang-tukang lainnya) dan calon-calon sawi serta tenaga-tenaga yang lainnya. Masing-masing mempunyai tugas tersendiri. Tanpa kerjasama yang baik antar mereka, perahu tidak dapat terwujud dengan baik. Bahkan, bukan hal yang mustahil perahu tidak pernah terwujud.

Nilai kerja keras tercermin dalam pencarian dan penebangan kayu welengreng atau dewata yang tidak mudah karena tidak setiap tempat ada. Penebangannya pun juga diperlukan kerja keras karena masih menggunakan peralatan tradisional (bukan gergaji mesin). Nilai ini juga tercermin dalam pemotongannya yang tidak boleh berhenti sebelum selesai (terpotong) dan pemasangan atau perakitannya yang membutuhkan kerja keras. Selain itu, nilai ini juga tercermin dalam pendempulan dan peluncuran karena untuk memindahkan perahu dari galangan bukan merupakan hal yang mudah atau ringan, tetapi diperlukan kerja keras yang membutuhkan waktu beberapa hari (sekitar 3 hari atau lebih).

Nilai ketelitian tercermin dalam pemotongan kayu yang harus tepat (mata kampak atau gergaji harus tepat pada arah urat kayu). Nilai keindahan dari bentuknya yang bentuknya yang sedemikian rupa, sehingga tampak kuat, gagah, dan indah.

Nilai religius tercermin dalam pemotongan pohon yang disertai dengan upacara agar “penunggunya” tidak marah dan pindah ke tempat lain, sehingga segala sesuatu yang tidak diinginkan tidak terjadi. Nilai ini juga tercermin dalam doa ketika perahu akan diluncurkan ke laut (“Bismillahir Rahmanir Rahim Bulu-bulunnako buttaya, patimbonako bosiya, kayunnako mukmamulhakim, laku sareang Nabi Haidir”) (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Kau adalah bulu-bulunya tanah, tumbuh karena hujan, kayu dari kekayuan dari Mukma-nul Hakim saya percaya Nabi Haidir untuk menjagamu). (gufron)

Foto:

Sumber:
Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

www.akurini.blogspot.com

www.buginese.blogspot.com

www.id.shvoong.com

www.liputan6.com

www.sinarharapan.co.id

1) Teknik yang oleh orang Bugis, khususnya warga Tana Beru disebut ruling ini sebenarnya merupakan suatu peraturan mengenai cara membuat perahu yang telah dibukukan dalam buku “Jaya Langkara”. Konon, buku tersebut dipinjam oleh seseorang yang berkebangsaan Belanda dan hingga kini belum dikembalikan. Ruling sebenarnya tidak hanya menjelaskan mengenai cara membuat perahu, tetapi juga pemilihan bahan dan peluncurannya ke laut lepas.

Pepatah Orang Rembong (Flores Barat)

1. Ubi manis bertuan, berpancang sembarang pancang
Dikatakan kepada seorang suami, yang tidak mampu memberikan nafkah batik kepada sang isteri.

2. Bertemanlah sesama hidup, (kalau) mati berkalang tanah.
Mengajak semua orang, supaya hidup lebih banyak berteman dan berdamai terhadap satu sama lain, karena di dalam liang kubur tak ada kedamaian atau persahabatan.

3. Rambut tampak mengkilap, mengkilap (karena) disiram minyam (rambut).
Berdandan berlebihan, supaya menarik perhatian pemuda atau pria.

4. Tabunganmu yang kotor (= mulut), tutupannya (= bibir) tak juga dibuka.
Dikatakan kepada orang yang sama sekali tidak pernah mengeluarkan suara, terlebih ketika welaqng gendang (yang berlangsung) semalam suntuk, dan sebagainya.

5. Sebelum kaki ditarik, lumpur serata pinggang.
(Akibat yang) tidak dapat dielak lagi, karena telah melakukan hal-hal buruk; sudah terlanjur.

6. Lemas karena kehausan, mati karena kelaparan.
Seorang yang ditimpa bencana dan tak dapat berdaya lagi.

7. Air telah memenuhi gembung, kayu telah menumpuki tenda.
Seorang perempuan yang telah mengandung, tanpa suami yang jelas.

8. Api telah berkobar, air telah membanjir.
Sedang dalam keadaan yang sulit terbendung lagi.

9. Pipi mengembung, muka merengut.
Merasa kesal dan kecewa.

10. Air mata belum berhenti, ingus pun belum kering.
Sedang berbelasungkawa atau sedang berduka.

11. Air sedang jernih, jangan menimbanya dengan mengaduk-aduk.
Keadaan sedang damai dan tenteram, jangan sekali-kali membuat resah.

12. Jagung dipotong, ubi dibelah.
Memperoleh rezeki sekecil apa pun, selali dibagi merata.

13. Saudari dan ipar di dalam rantai emas, dan bagai emas terlepas dari pegangan.
Saudarai dan ipar telah terlanjur perkara.

14. Kami berkepala untuk menjunjung, dan berpunggung untuk memikul.
Bersedia memikul dan menanggung beban yang diberi (oleh Anak Rana, hal jujur).

15. Tanah sudah diratakan, jangan dibuat tebing.
Situasi telah damai, jangan menimbulkan keretakan baru.

16. Anak-anak biasa membuat kesalahan, orang tua menjari jalan.
Kalau ada keretakan atau kesalahan yang dilakukan kedua belah pihak, jangan dibiarkan berlarut-larut dan orang tua harus mencari jalan damai.

17. Ditaruh pas di tanah, diletakkan persis di batu.
Tindakan yang mengena pada sasarannya.

18. Terlalu mengharapkan tempuling, padahal tombak tersalah tikam.
Terlalu berharap, tertiarap; akhirnya menemui kekecewaan.

19. Kepala belum terbentuk, ekor tidak tercipta.
Suatu masalah yang tidak berujung pangkal, atau sesuatu yang belum remi.

20. Menimbar air, sendiri yang meminumnya. Mengambil kayu, sendiri pula yang membakarnya hingga habis.
Seorang pria (suami) yang menetap di rumah (isteri), sampai akhir hayatnya.
Anak keturunan menjadi hak pihak Anak Rana.

21. Tidak menyentuh jantung, tidak mengena di hati.
Segala (sesuatu) tindakan atau perbuatan atau pemberian yang belum pantas.

22. Lempar batu, sembunyi tangan.
Seseorang yang bersembunyi di balik kesalahan seseorang.

23. Jangan sekali-kali percaya akan lemparan batu, dan kurasan tanah.
Jangan cepat percaya akan kabar burung sebelum menyelidikinya.

24. Maju kena, mundur kena.
Terpaksa harus menerima kenyataan (sudah tak ada jalan lagi).

25. Si tua yang sedang beraksi, bersolek di ambang pintu kubur.
Dikatakan kepada seseorang yang berusia lanjut, namun masih bertingkah supaya diminati gadis-gadis.

26. Sirih berdaun layu, akarnya perlu disiram.
Seorang wanita kesepian, yang memerlukan belaian seorang pria.

27. Kunjungan sang elang, ayam-ayam pada liar.
Kedatangan pemuda berandal, gadis-gadis pada menjauh.

28. Surat almarhumah, tertinggal setelah ditulis.
Orang mati meninggalkan pesan.

29. Orang yang berhati lembut, dan berperut lebar.
Orang yang sabar dan bijaksana.

30. Orang yang berperut lembut, dan berhati lebar.
Orang yang bijaksana dan sabar.

31. Serani di dahi, Rosario di leher.
Iman seseorang yang tidak didukung oleh kewajiban.

32. Meteran ada pemiliknya, kakus ada tuannya.
Suatu kasus yang diketahui penanggung jawabnya.

33. Seolah-olah ditahan tonggak, bagai ditadah cagak.
Seseorang yang selalu menantang, apa saja yang dilontarkan kepadanya.

34. Sepandai-pandai menyembunyikan tumit, tetapi kelihatan celah-celah jari.
Biar pandai menyembunyikan kesalahan, pasti akan diketahui umum.

35. Pasti sang jantan berada di sana, ketika sang betina akan kembali.
Pasti telah terjadi drama percintaan antara kedua muda mudi itu.

36. Berdiri sama sebaris, tegak sama sejajar.
Secara bersama-sama menghadapi (Wina-wai Rana-laki dsb).

37. Banjir memenuhi kali, ke mana harus lewat.
Menemui jalan buntu.

38. Gadis di sebuah pendopo, tampak bertampang lebar.
Menyindir seorang gadis bermuka lebar yang sedang duduk di sebuah pendopo (supaya diminati para pengunjung suatu keramaian).

39. Ayam di bubung situ, mengamati ayam (betina) di bubung sana.
Menyindir seorang pemuda yang sedang mengamati terus salah seorang gadis (biasanya pada keramaian).

40. Cepat-cepat berlari ke depan, tiba-tiba jatuh bagai dibanting.
Orang yang terlalu terburu-buru hendak mendapatkan sesuatu, akhirnya celaka bagi dirinya sendiri.

41. Walaupun menguntit, kami berpendirian.
Si gadis yang mempunyai pendirian sendiri, walaupun dibuntuti oleh sang pria.

42. Meninggalkan tikar, melepasi bantal.
Meninggalkan isteri atau suami (oleh suatu percekcokan, dsb) tanpa perundingan (dan bila bersatu kembali harus diganjar dengan denda babi atau kuda).

43. Penghubung mulut Anda, penyambung lidah kalian.
Hanya sebagai perantara atau pelaksana di balik si penanggung jawab.

44. Engkau yang menjatuhkannya, engkau pula yang menggulingkannya.
Engkau yang bertanggungjawab penuh atas kematian ini (tentang pembunuhan).

45. Dari sebuah lereng, memperhatikan ke arah dataran.
Seseorang yang sedang mengamati sesuatu dengan leluasa dari tempat stretegis.

46. Kapan janji kita, menanti petik jali.
Sepasang insan yang menjanjikan pernikahan di musim potong jadi.

47. Orang yang melahirkan pada saat bulan gelap.
Dikatakan kepada orang yang bodoh.

48. Orang yang melahirkan di waktu bulan purnama.
Dikatakan kepada orang yang pandai.

49. Elang menyimpan dendam, karena ayam memasuki rumah.
Seorang pemuda yang merasa dendam, karena sang gadis idaman menolak cintanya.

50. Nasi telah membasi, sayur telah membau.
(Anak-wina) telah melanggar janji sehingga pihak Anak-rana dirugikan atas persiapan makanan (Anak-wina didenda setinggi-tingginya seekor kuda).

51. Ada pantas orang itu berkepala dua.
Dikatakan kepada seseorang yang berperilaku seperti orang gila atau sinting.

52. Ke situ hiruk-pikuk, ke sana huru-hara.
Hanya mengakibatkan kericuhan.

53. Supaya kampung halaman menjadi semarak, rawatlah dengan baik.

54. Kepala-kepala bersatu, kaki-kaki berlunjur.
Menggalang persatuan dan kesatuan dalam menghadapi problem apa pun.

55. Tangan tergenggam, mata terkatup.
Dikiaskan kepada orang yang meninggal.

56. Membungkus tebal, menggali dalam.
Ikut melayat dan berbelasungkawa atas kematian seseorang disertai pemberian kain hitam untuk membungkus mayat termasuk penguburan.

57. Bergayalah selama masih hidup, kalau mati pun akan menjadi tanah.
Boleh bersenang-senang selama masih hidup, karena tak akan menikmatinya lagi bila telah mati.

58. Bermulut kepiting, berahang katak.
Orang yang pandai bersilat lidah, atau memutarbalikkan keadaan.

59. Tajak tajam, tanah merah.
Sang pria yang hendak menikahi seorang janda, terdahulu harus menyediakan seekor kuda pelepas janda (sebagai perestu).

60. Sang nenek di dalam kamar, sedang mengap memakan ubi (rebus).
Menyindir seseorang yang egois, misalnya, makan sesuatu dengan sembunyi-sembunyi.

61. Kelenjar (bengkak) memenuhi ketiak, kudis memenuhi paha.
Dikatakan kepada seseorang yang lamban, malas, pengecut, dan lain sebagainya.

62. Terpotong di ujung jari, membengkak di ketiak.
Menjelekkan orang lain, namun menutupi kesalahan sendiri.

63. Orang yang melahirkan kaki ke bawah.
Orang yang melakukan perbuatan janggal atau berlawanan.

64. Pisang peram, tebu tebangan (yang telah menua).
Suatu problem yang sudah saatnya terungkap.

65. Engkau telah bermanis pisang, kau pun telah bermanis madu.
Membujuki seseorang untuk mengikutinya (yang sebenarnya orang itu bukan haknya) sehingga si pembujuk dituding.

66. Menjadi dua, karena engkau – menjadi tiga, engkau penyebabnya.
Anda sebagai biang keladinya atau sebagai penghasut (pemberi jalan berlawanan).

67. Berangan-angan tak terbayang, menggapai-gapai pun tak tersampai (terjangkau).
Menemui jalan buntu, tak tercapai apa yang diinginkan.

68. Tidak mengenal malam, tak (dapat) membedakan siang.
Melaksanakan suatu kegiatan tak henti-henti baik siang maupun malam.

69. Berbicara, harus ada baranya, ada pula nyalanya.
Menanggapi atau menyimpulkan sesuatu perlu kelunakan di samping kekerasan.

70. Berkebun kongsi, berpondok gabung.
Dikatakan kepada seorang isteri yang mempunyai kekasih gelap.

71. Menjadi bapak untuk semalam, dan menjadi ibu untuk sehari.
Menjadi pimpinan marga (dan sebagainya) hanya untuk sementara.

72. Berpondok di pinggir hutan ada tujuannya.
Seseorang yang membuat pondok di pinggir hutan dinilai gampang menyembunyikan kesalahan.

73. Di malam hari tampak tampang berminyak, di siang hari kelihatan jelek.
Dikatakan kepada seorang gadis yang bersolek di waktu malam sehingga kelihatan menarik, ternyata setelah dilihat pada siang hari berwajah jelek. (Sindiran di waktu keramaian yang dilangsungkan malam dan siang).

74. Meminum kencing anak, memakan kotoran isteri.
Dikatakan kepada orang yang pengecut dan tidak menunjukkan kejantanannya.

75. Salah memasang tambak, belut laut pun lolos.
Seorang wanita yang mengharapkan kehadiran seorang laki-laki, namun akhirnya dia dikecewakan. Sudah salah langkah pasti tak akan berhasil.

76. Mulut seumpama bubu, lidah bagaikan pelangi.
Dikatakan kepada orang yang sombong dan besar hati lagi pongah.

77. Engkaulah pangkal pahanya, juga penyakit dan yang ditaburkan.
Engkau pokok pangkalnya, engkau pula penanggung jawabnya.

Sumber:
Tol, Roger. 1997. Adat-Istiadat Orang Rembong di Flores Barat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Keraton Surosowan

Archive