Raden Arya Kemuning

(Cerita Rakyat Daerah Banten)

Alkisah, di daerah Parung dahulu ada seorang mandor bernama Dul Kobar. Dia bekerja pada seorang kaya raya pemilik tanah partikelir bernama Babah Hok. Selain sebagai mandor perkebunan Dul Kobar juga diberi tugas sebagai debt collector. Dia akan menarik uang kepada warga penghutang yang telah jatuh tempo. Apabila tidak sanggup membayar maka dia tidak segan-segan akan melakukan kekerasan. Bahkan, apabila si penghutang ternyata memiliki anak gadis, dia akan langsung membawanya sebagai tebusan.

Selain menjadi mandor dan debt collector, Dul Kobar juga mempunyai profesi sampingan yaitu sebagai perampok. Bersama teman-temannya dia kerap melakukan perampokan terhadap pedagang-pedagang yang kebetulan melewati rute menuju Gunung Salak. Hasil rampokan digunakan untuk berfoya-foya mencari kesenangan duniawi.

Berkaitan dengan profesi kedua yaitu sebagai debt collector, suatu hari Dul Kobar berurusan dengan H Sami’in guru mengaji di daerah Rawa Bebek. Oleh karena belum dapat melunasi hutang, Dul Kobar dengan paksa mengambil Aisyah anak gadis Sami’in sebagai tebusannya.

Tanpa basa-basi Dol Kobar mengangkat tubuh gemoy Aisyah di punggungnya. Dia ingin membawa gadis itu ke markasnya untuk dijadikan pelampiasan nafsu. Baginya tubuh gemoy Aisyah sangat menggoda dan pantas untuk dijadikan sebagai pengganti hutang ayahnya.

Namun, belum sampai keluar dari halaman rumah tiba-tiba ada sesosok bayangan melesat menghampiri. Dan tanpa disadari secepat kilat bayangan itu berhasil mengambil tubuh Aisyah yang berada di punggung Dol Kobar. Sang bayangan kemudian berdiri tepat di hadapan Dol Kobar. Dia adalah seorang pendekar tampan dengan ikat kepala berbentuk igel serta berkalung tasbih.

Terkejut kalau Aisyah telah lepas dari genggamannya Dol Kobar menjadi marah. Sambil menghunus golok dia menghardik sang pendekar tampan dan menanyakan tujuan merebut Aisyah. Apakah sang pendekar tampan sudah bosan hidup di dunia hingga berani merebut Aisyah yang sudah menjadi miliknya.

Sang pendekar tampan mengatakan bahwa dia hanyalah seorang musafir yang kebetulan lewat. Dia tidak mengenal Aisyah apalagi Dul Kobar. Tindakannya hanya terpicu karena melihat seorang perempuan berteriak-teriak digendong paksa oleh Dul Kobar. Baginya tindakan itu merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Mendengar penjelasan Sang pendekar tampan Dul Kobar malah lebih tersulut emosinya. Tanpa basa-basi lagi dia langsung meloncat sambil menebaskan goloknya. Perkalahian pun tidak dapat dihindari. Keduanya saling mengeluarkan jurus andalan untuk mengalahkan satu sama lain. Dul Kobar mengerahkan jurus sakti lampah lumpuh guna melumpuhkan Sang pendekar tampan.

Namun jurus itu ternyata tidak mempan. Sang pendekar tampan justru membalikkan keadaan hingga Dul Kobar jatuh tersungkur di tanah. Sambil mengambil golok milik Dul Kobar yang jatuh di tanah dia kemudian meloncat dan hendak menghabisinya.

Di saat tangannya akan mengayunkan golok pada Dul Kobar yang tengah terduduk di tanah tiba-tiba Aisyah berteriak mencegahnya. Dia tidak ingin Sang pendekar tampan membunuh Dul Kobar, sebab masih memiliki tangungan hidup. Anak-anak Dul Kobar masih kecil dan memerlukan tumpuan hidup.

Penjelasan Aisyah tadi mampu melulukan hati Sang pendekar tampan. Dia lalu mengulurkan tangan pada Dul Kobar yang sudah tidak berdaya. Dan, ketika tangan disambut Sang pendekar tampan pun menawarkan bahwa perkelahian harus diakhiri dengan saling memaafkan.

Tawaran itu disambut baik oleh Dul Kobar. Dia yang tadinya pasrah merasa lega karena masih diberi kesempatan hidup. Oleh karena itu dia berjanji pada Sang pendekar tampan untuk merubah sifatnya dan tidak lagi berbuat semena-mena terhadap orang lain, khususnya kaum perempuan.

Setelah berkata demikian Dul Kobar pamit meninggalkan Sang pendekar tampan dan Aisyah. Keduanya lalu memulai percakapan tentang bagaimana Aisyah bisa sampai dibawa Dul Kobar dan sebaliknya bagaimana Sang pendekar tampan tiba-tiba datang menolongnya.

Percakapan keduanya selanjutnya mengarah pada maksud kedatangan Sang pendekar tampan. Rupanya Sang pendekar tampan berasal dari Cirebon yang diutus oleh ayahandanya menemui tetua kampung yang tidak lain adalah Sami’in ayah dari Aisyah sendiri.

Oleh Aisyah Sang pendekar tampan yang bernama Arya Fadhilah diantar ke rumahnya untuk bertemu Sami’in. Saat bertemu dia lalu menyerahkan sebuah buntalan berisi kitab suci, kitab kanuragan beserta doa-doa pilihan. Dia berkata bahwa ini adalah amanat dari orangtuanya yang harus diserahkan pada tetua kampung.

Melihat benda yang dibawa oleh Arya Fadhilah bukanlah sembarangan Sami’in pun teringat pada cerita kakeknya bernama Kai Tua bahwa suatu saat nanti akan kedatangan seorang guru nyaji dan ahli bela diri yang merupakan salah seorang putra Adipati Cirebon. Sang Adipati sendiri merupakan sahabat dari Kai Tua nama lain dari Ki Rebo, seorang ulama setempat yang sangat disegani.

Sami’in lalu mengantarkan Arya Fadhilah menuju kediaman Ki Rebo. Sampai di sana tanpa basa basi Ki Rebo langsung membuka pembicaraan dengan menanyakan kabar dari Ayahanda Arya Fadhilah. Selain itu, dia juga menanyakan apakah Arya Fadhilah membawa amanat yang dahulu pernah dijanjikan Adipati Cirebon kepadanya.

Walau bingung tujuannya telah diketahui Pendekar tampan alias Arya Fadhilah tetap menyerahkan barang yang tadi telah diberikan pada Sami’in. Dia lalu sungkem dan undur ke belakang sejajar dengan Sami’in sebagai rasa hormat pada Ki Rebo.

Setelah melihat dan mengamati benda-benda yang diserahkan, Ki Rebo bertanya lagi apakah masih ada benda lain yang dititipkan oleh Adipati Cirebon. Sebab, menurut penerawangannya, masih ada satu benda lagi titipan Adipati Cirebon yang harus diserahkan oleh Arya Fadhilah.

Pertanyaan tadi membuat Arya Fadhilah mengernyitkan dahi. Setahunya tidak ada barang atau benda lain yang dititipkan Sang ayah untuk diberikan pada Ki Rebo. Namun, setelah berpikir agak lama dia teringat kalau sebelum melangkahkan kaki keluar rumah Sang ayah sempat memberikan sebuah kantung kecil yang diselipkan di saku baju. Dia berpesan agar baru dibuka setelah sampai di tempat tujuan. Kantong kecil itu kemudian diserahkan pada Ki Rebo.

Setelah diterima Ki Rebo membuka kantong itu yang ternyata adalah biji buah kemuning. Dia lalu berkata bahwa ayah Arya Fadhilah telah menepati janji. Dan, sebagai balasannya Arya Fadhilah boleh menetap serta ikut menyebarkan ajaran Islam bersama Ki Rebo. Sementara lokasi biji kemuning ditanam nantinya akan didirikan padepokan guna mensyiarkan ajaran Islam.

Seiring berjalannya waktu padepokan milik Arya Fadhilah mulai dibanjiri orang untuk melajar ilmu agama Islam. Sebagai konsekuensinya, nama Arya Fadhilah menjadi terkenal di mana-mana. Penyebutan namanya kemudian dikaitkan dengan asal mula pohon kemuning yang tubuh di depan padepokannya. Oleh karena itu, namanya pun Raden Arya Kemuning.

Diceritakan kembali oleh gufron

Masjid Jami Al-Ikhlas

Lokasi: Jalan Joglo Raya No.55 1, RT.1/RW.1, Joglo, Kecamatan Kembangan, Kota Jakarta Barat.
Foto: ali gufron
Cara Pasang Tali Layangan agar Manteng di Udara
Topeng Monyet
Pocong Gemoy

Archive